La Maddukelleng: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Swarabakti (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan visualeditor-wikitext
Swarabakti (bicara | kontrib)
Tag: Suntingan visualeditor-wikitext
Baris 5:
Pada akhir abad ke-17, Wajo sedang dalam kondisi terpuruk akibat kekalahannya (sebagai sekutu Gowa-Tallo) pada aliansi [[Kesultanan Bone|Bone]] dan [[VOC]] dalam [[Perang Makassar]]. Penindasan yang dilakukan oleh penguasa-penguasa Bone memaksa orang-orang Wajo untuk meninggalkan negerinya dan pergi merantau ke Makassar, Kalimantan, Nusa Tenggara, kawasan Selat Melaka, serta bagian Nusantara lainnya. Namun, sejak awal abad ke-18, Wajo mulai bangkit secara perlahan dengan memanfaatkan jaringan komunitas rantaunya yang saat itu sudah tersebar ke seluruh Nusantara.{{sfnp|Wellen|2009|pp=81–82}}
 
La Maddukelleng sendiri lahir pada sekitar tahun 1700 dari kalangan bangsawan Wajo.{{sfnp|Noorduyn|1972|p=61}} Menurut sumber [[lontara]]''lontaraʼ'' yang ditelusuri oleh [[Andi Zainal Abidin]] (ahli hukum dan sejarawan Sulsel), ayah La Maddukelleng yang bernama La Mataesso atau La Raunglangiʼ merupakan ''Arung'' (penguasa) Peneki, sementara ibunya yang bernama We Tenriampaʼ atau We Tenriangka merupakan ''Arung'' Singkang yang juga merangkap jabatan sebagai ''Patola'' (salah satu dari [[Kerajaan Wajo#Pemerintahan pusat dan daerah|tiga panglima besar Wajo]]).{{sfnp|Abidin|2017|p=281, 283, 301}}
 
Sedikit sekali detail mengenai kehidupan awal La Maddukelleng yang tercatat dalam sumber-sumber Wajo.{{sfnp|Wellen|2014|p=138}}{{sfnp|Noorduyn|1955|p=127}} Sebuah riwayat dari ''Lontaraʼ Sukkuʼna Wajoʼ'' (''Sejarah Lengkap Wajo'') menyebutkan bahwa ia pernah menjadi pembawa [[puan]] (tempat sirih) bagi ''Arung Matoa'' (pemimpin tertinggi Wajo) La Salewangeng To Tenrirua saat menghadiri upacara pelubangan telinga putri ''Arumpone'' (penguasa tertinggi Bone) La Patauʼ di Cenrana, Bone.{{efn|Menurut sejarawan Kathryn Anderson Wellen, bagian kisah ini sedikit janggal, karena masa pemerintahan La Patauʼ dan La Salewangeng sebetulnya tidak beririsan; La Patauʼ mangkat pada tahun 1714, sementara La Salewangeng baru menjabat sebagai arung matoa pada tahun 1715.{{sfnp|Wellen|2014|p=138}} Namun, Abidin berpendapat bahwa La Salewangeng memerintah dari tahun 1712.{{sfnp|Abidin|2017|p=279}}}} Ketika itu La Maddukelleng kemungkinan masih remaja (usia 13–14 menurut perkiraan Abidin), sebab ia baru saja selesai di[[khitan]]. Dalam acara tersebut juga diadakan perburuan rusa dan pesta sabung ayam.{{sfnp|Abidin|2017|p=281}} Saat pertandingan sabung ayam sedang berlangsung, seorang dari Bone melemparkan kepala ayam yang sudah mati hingga mengenai kepala ''Arung Matoa'' Wajo. La Maddukelleng yang merasa sangat tersinggung dengan kejadian ini sontak menikam pelaku pelemparan, dan memicu perkelahian yang menewaskan 19 orang Bone dan 15 orang Wajo. Akibat kejadian ini, rombongan Wajo pun bergegas meninggalkan Cenrana dan berlayar menyusuri sungai kembali ke Wajo.{{sfnp|Wellen|2014|p=138}} Sesampainya di [[Tosora, Majauleng, Wajo|Tosora]] (ibu kota Wajo), datanglah utusan dari Bone yang meminta agar Wajo menyerahkan pelaku penikaman orang-orang Bone di Cenrana untuk diadili, tetapi sang ''arung matoa'' melindungi La Maddukelleng dengan berkilah bahwa sang pelaku sudah tidak ada di Wajo.{{sfnp|Wellen|2014|p=138}} Sang ''arung matoa'' lalu mengingatkan bahwa sesuai perjanjian [[Persekutuan Tellumpoccoe]] di [[Timurung, Ajangale, Bone|Timurung]] pada tahun 1582 antara Bone, Wajo dan Soppeng, mereka tak seharusnya meragukan perkataan satu sama lain.{{sfnp|Abidin|2017|p=283}} Khawatir bahwa Bone akan menyerang Wajo hanya demi mencari dirinya, La Maddukelleng pun memutuskan untuk meninggalkan Wajo.{{sfnp|Wellen|2014|p=138}}