La Maddukelleng: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Swarabakti (bicara | kontrib)
Tag: Suntingan visualeditor-wikitext
Swarabakti (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan visualeditor-wikitext
Baris 12:
Lontaraʼ Sukkuʼna Wajoʼ mengisahkan bahwa sebelum La Maddukelleng berangkat merantau, sang arung matoa menanyakan padanya bekal apa yang ia bawa untuk merantau. La Maddukelleng menjawab bahwa bekalnya ialah kelemahlembutan lidahnya, ketajaman pedangnya, dan ujung kemaluannya.{{sfnp|Wellen|2014|p=88}}{{sfnp|Abidin|2017|p=283–284}} Ketiga hal ini lazim disebut sebagai ''tellu cappaʼ'' ("tiga ujung") dalam falsafah Bugis, dan masing-masingnya merupakan kiasan bagi diplomasi, kekuatan militer, serta jalinan pernikahan, yang dianggap sebagai kekuatan utama seorang perantau. Sepanjang kariernya di perantauan, ketiga-tiganya dimanfaatkan oleh La Maddukelleng untuk memenuhi ambisi politiknya.{{sfnp|Wellen|2014|p=88, 95}}
 
Pada masa pemerintahan ''Arung Matoa'' La Salewangeng (menjabat 1715–1736), perdagangan Wajo berkembang pesat dengan dukungan dari komunitas rantaunya di seluruh Nusantara.{{sfnp|Wellen|2009|p=82–83}} Ketika La Maddukelleng meninggalkan Wajo, ia kemungkinan mengunjungi komunitas-komunitas rantau ini sebelum akhirnya menetap di [[Kesultanan Paser|Paser]], Kalimantan Timur. Di sana, ia tidak butuh waktu lama untuk menjadi salah satu orang paling berpengaruh dalam perniagaan dan politik setempat, hingga mampu menikahi putri dari penguasa PasirPaser. Namun, perselisihan yang terjadi kemudian antara La Maddukelleng dan keluarga bangsawan PasirPaser pecah menjadi perang pada pertengahan 1720-an. Penguasa PasirPaser dipaksa turun dari takhtanya, dan La Maddukelleng mendaulat dirinya sendiri sebagai Sultan PasirPaser.{{sfnp|Wellen|2014|p=95, 139}} Ia lalu menyerang Kutai karena penguasanya menolak menyerahkan orang-orang PasirPaser yang melarikan diri ke sana. Orang-orang Kutai yang ketakutan melarikan diri ke gunung, sementara yang tersisa di kota ditawan, dan kota mereka dibakar habis oleh La Maddukelleng.{{sfnp|Abidin|2017|p=286–287}}{{sfnp|Wellen|2014|p=139}}
 
Selain membuat persekutuan berdasarkan pernikahan dengan penguasa setempat, La Maddukelleng juga bergiat menyokong komunitas-komunitas rantau Wajo di Kalimantan Timur. Menurut satu tradisi, La Maddukelleng merupakan pendiri kampung Bugis [[Samarinda]] di tepi wilayah muara Sungai Mahakam yang strategis. Dari Sultan Kutai, ia memperoleh hak monopoli atas barang-barang ekspor dari pedalaman (seperti [[emas]], [[kapur barus]], [[damar]], [[rotan]], hingga [[lilin lebah]]) dan hasil laut seperti cangkang penyu, [[agar-agar]] dan [[teripang]]. Komunitas Bugis Samarinda juga memperoleh hak monopoli atas impor [[beras]], [[natrium klorida|garam]], [[rempah]], [[kopi]], [[tembakau]], [[opium]], [[tekstil]], [[besi]], [[senjata api]], hingga [[budak]].{{sfnp|Pelras|1996|p=321–322}} Masyarakat Wajo di Kutai bahkan diperbolehkan memiliki [[pemerintahan sendiri]], dengan seorang pemimpin yang digelari ''pua adu''{{sfnp|Wellen|2014|p=52}} serta sebuah dewan perwakilan yang beranggotakan para nakhoda dan pedagang kaya-raya.{{sfnp|Pelras|1996|p=322}}
 
La Maddukelleng memiliki adik bergelar Daeng Matekko yang juga merupakan seorang perantau. Daeng Matekko awalnya menetap di Matan, Kalimantan Barat, sebelum kemudian berpindah ke kawasan Selat Melaka dan turut serta dalam konflik kekuasaan antara orang-orang Melayu, komunitas Bugis Riau, serta Raja Kecik dari Minangkabau. Pada tahun 1731, Daeng Matekko diserang oleh To Passarai (paman Arumpone Batari Toja) di Selangor, tetapi serbuan balasan yang ia lakukan dengan bantuan Raja Kecik memaksa To Passarai mundur dan melarikan diri ke Kalimantan.{{sfnp|Wellen|2014|p=98–100, 191}} Sebagai balasan lebih lanjut atas penyerangan yang dilakukan To Passarai kepada adiknya, La Maddukelleng pun menyergap pasukan To Passarai di Tabonio, Kalimantan Selatan.{{sfnp|Noorduyn|1955|p=129}}{{efn|Sebagian catatan lontara menyebutkan bahwa La Maddukelleng membunuh To Passarai, tetapi ada pula yang menyebut bahwa ia hanya menyergap dan merampas harta To Passarai.}} Menurut Wellen, kolaborasi kedua kakak-beradik ini tidak hanya menunjukkan rekatnya persaudaraan mereka, tetapi juga sentimen permusuhan mereka terhadap Bone, yang tetap bertahan bahkan dalam perantauan sekalipun.{{sfnp|Wellen|2014|p=101–102}}
 
=== Kembali ke Sulawesi Selatan ===
Melemahnya hegemoni Bone di Sulawesi Selatan pada awal abad ke-18 membuat Wajo mampu memperluas jaringan perdagangannya tanpa halangan yang berarti.{{sfnp|Wellen|2014|pp=30, 69}} Hubungan antara komunitas rantau Wajo dan tanah airnya pun tumbuh semakin erat, dan mencapai puncaknya sewaktu La Maddukelleng pulang kembali ke Wajo pada tahun 1730-an.{{sfnp|Wellen|2014|p=137}} ''Lontaraʼ Sukkuʼna Wajoʼ'' secara khusus menyebut bahwa ''Arung Matoa'' La Salewangeng sendiri yang mengirimkan utusan ke PasirPaser untuk meminta La Maddukelleng pulang, karena Wajo sudah siap baik secara finansial maupun militer bila mesti menghadapi Bone.{{sfnp|Wellen|2014|p=140}}{{sfnp|Abidin|2017|p=289}} Walaupun begitu, beberapa riwayat menyebut bahwa La Maddukelleng pulang atas keinginan sendiri.{{sfnp|Wellen|2018|p=55}}
<!--
 
Baris 36:
Terlepas dari itu, kenyataan bahwa kisah La Maddukelleng dapat ditemukan dalam sejumlah besar catatan sejarah Bugis menunjukkan bahwa ia merupakan seorang tokoh yang sangat berpengaruh dalam imaji orang-orang dari daerahnya.{{sfnp|Noorduyn|1953|p=144}} Bagi orang-orang Wajo, La Maddukelleng berjasa dalam memerdekakan negeri mereka dari kekangan Bone dan Belanda.{{sfnp|Noorduyn|1972|p=61–63}} Tradisi Wajo amat menjunjung tinggi nilai kemerdekaan, termasuk di antaranya [[kebebasan berpendapat|kemerdekaan berpendapat]], [[kebebasan bergerak|kemerdekaan bepergian]], dan kemerdekaan dari hukuman yang tidak adil; hak-hak yang tidak dapat terpenuhi dengan sempurna setelah kekalahan Wajo dalam Perang Makassar. Karena itu, orang-orang Wajo memandang "pembebasan" tanah air mereka dari dominasi Bone yang diprakarsai oleh La Maddukelleng sebagai penegakan kembali atas hak-hak kemerdekaan ini.{{sfnp|Reid|1998|p=147–148}} Namun, begitu pula sebaliknya, ketika La Maddukelleng mulai bersikap arogan dengan tidak mengindahkan pendapat rakyatnya, ia dianggap sebagai ancaman bagi kemerdekaan orang-orang Wajo.{{sfnp|Wellen|2014|p=158}}
 
Di Kalimantan Timur, tradisi sejarah setempat menekankan persekutuan melalui ikatan kekerabatan antara La Maddukelleng dan bangsawan PasirPaser alih-alih mengingat konflik yang melibatkan kedua pihak. Tradisi lokal juga menempatkan La Maddukelleng sebagai leluhur bagi para penguasa di Kalimantan, termasuk [[Aji Muhammad Muslihuddin|Aji Imbut]] yang kelak menjadi Sultan Kutai. Walaupun sebagian detail dari tradisi-tradisi ini tidak bersesuaian dengan sumber-sumber Bugis maupun Belanda, tradisi-tradisi ini setidaknya dapat menggambarkan besarnya pengaruh perantau Wajo seperti La Maddukelleng pada masyarakat di kawasan tersebut.{{sfnp|Wellen|2014|p=96–97, 132–134}}
 
== Keterangan ==
Baris 59:
 
{{kotak mulai}}
{{kotak suksesi|jabatan=[[Raja PasirPaser]]|tahun=1726—1736|pendahulu=[[Sultan Aji Muhammad Alamsyah]]|pengganti=[[Sultan Sepuh I Alamsyah]]}}
{{kotak selesai}}
 
Baris 71:
 
{{DEFAULTSORT:Maddukelleng, La}}
[[Kategori:Sultan PasirPaser]]
[[Kategori:Sultan Wajo]]
[[Kategori:Pahlawan nasional Indonesia]]