Linguistik forensik: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
menambah sub judul
menambah contoh penerapan lingfor di Indonesia
Baris 14:
 
== Sejarah ==
Frase ''linguistik forensik'' pertama kali digunakan oleh Jan Svartvik, seorang profesor linguistik, dalam laporannya, “''The Evans Statement: A Case for Forensic Linguistics''” di tahun 1968. Svartvik melakukan analisis terhadap kesaksian Timothy John Evans, seorang sopir truk yang divonis hukuman gantung oleh pengadilan Inggris karena terbukti membunuh Geraldine Evans, seorang bayi berusia 13 bulan yang merupakan anak perempuannya sendiri. Svartvik menganalisis kesaksian Evans di kantor polisi Merthyr Tydfil pada 30 November 1949 dan di Notting Hill pada 2 Desember 1949. Svartvik menemukan perbedaan kesaksian Evans yang disampaikan di dua kantor polisi itu. Secara lebih rinci, Svartvik menjelaskan kesaksian lisan Evans, jika dituliskan, akan menghasilkan dua pernyataan tertulis berbeda, tak hanya pada tataran tanda baca, penyebutan benda tunggal, dan kontraksi kalimat, tetapi juga unit bahasa lebih luas seperti pembagian kalimat. Pada tahun 1950, Evans diganjar hukuman gantung.<ref name=":1" /><ref name=":2" />
 
== Ahli Bahasa di Persidangan ==
Baris 21:
Argumen lain yang dapat digunakan terhadap linguistik forensik adalah bahwa beberapa masalah yang mungkin timbul akibat penggunaan ahli linguistik adalah ketidaktahuan sistem hukum terhadap apa yang dapat dilakukan linguistik forensik dalam kaitannya dengan penyelidikan kasus pidana, dan metode yang valid dan reliabel belum dikembangkan oleh komunitas forensik. Solan (2010) menyatakan bahwa sistem hukum cenderung mengabaikan kemanfaatan ilmu-ilmu lain dan menganggap ahli bahasa forensik belum mengembangkan metode yang dapat diandalkan. Hal ini pada prinsipnya karena analisis yang dilakukan oleh ahli bahasa forensik adalah soal analisis interpretatif. Selain itu, ahli bahasa forensik cenderung direkrut sebagai ahli konsultan. Gray (2010) berpendapat bahwa ketidaktahuan mendasar dalam komunitas hukum terkait dengan pekerjaan lain yang sepenuhnya menyangkut penggunaan bahasa dalam sistem hukum. Situasi ini disebut pedang bermata dua karena di satu sisi pengacara menyadari kebutuhan atas ahli bahasa; di sisi lain, mereka tidak mempercayai para ahli dan kualifikasi mereka, seperti halnya para ahli medis atau ahli lainnya.<ref name=":2" />
 
Faktanya, mempekerjakan ahli bahasa forensik sebagai saksi ahli memainkan peran penting dalam menyelesaikan kasus pidana, seperti yang digambarkan dalam kasus [https://www.fbi.gov/history/famous-cases/unabomber Unabomber]. Pemboman berantai terjadi antara tahun 1978 dan 1995 di beberapa negara bagian di AS, yaitu Illinois, Washington DC, Utah, Tennessee, California, Connecticut, dan New Jersey. Kasus ini diselesaikan oleh James Fitzgerald, seorang pensiunan anggota FBI, pada tahun 1996. Pelaku ditemukan setelah analisis berbasis linguistik dilakukan pada serangkaian surat. Analisis tersebut mencakup sintaksis, diksi, dan fitur linguistik lainnya seperti transposisi kata kerja.<ref>{{Cite web|title=Language Log: Forensic linguistics, the Unabomber, and the etymological fallacy|url=http://itre.cis.upenn.edu/~myl/languagelog/archives/002762.html|website=itre.cis.upenn.edu|access-date=2020-08-23}}</ref><ref name=":2" />
 
Di Indonesia, linguistik forensik pernah diterapkan dalam kasus Akseyna, seorang mahasiswa jurusan biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam UI angkatan 2013, yang jasadnya ditemukan di Danau Kenanga, Universitas Indonesia. Pemeriksaan awal oleh Polresta Depok: Akseyna diduga bunuh diri lantaran depresi. Polisi mengacu fakta cerita kekecewaan yang diutarakan Akseyna kepada ibunya dan memo bunuh diri yang ditemukan di kamar kos. Kesimpulan Polresta Depok bahwa Akseyna bunuh diri karena depresi dapat dibantah dengan analisis linguistik dengan pendekatan ''authorship analysis'' atau analisis kepengarangan untuk memeriksa keaslian memo bunuh diri yang ditemukan sebagai barang bukti. Hasilnya, setelah membandingkan memo dalam kasus Akseyna dengan korpus memo bunuh diri dan beberapa hasil penelitian sebelumnya, ditemukan beberapa fakta bahwa memo bunuh diri Akseyna adalah memo bunuh diri palsu.<ref>{{Cite web|last=Jazilah|first=Nur Inda|title=Memo Bunuh Diri Akseyna dalam Perspektif Linguistik Forensik|url=https://tirto.id/memo-bunuh-diri-akseyna-dalam-perspektif-linguistik-forensik-eA1x|website=tirto.id|language=id|access-date=2020-08-23}}</ref>
 
Beberapa uraian di atas merupakan urgensi pelibatan ahli bahasa (linguis), atau secara khusus linguis forensik, dalam proses persidangan terutama untuk menyelesaikan kasus-kasus kriminal yang barang buktinya adalah bahasa.
 
== Bidang Kajian ==