Aksara Lontara: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 271:
Aksara Lontara Bugis-Makassar secara tradisional tidak memiliki diakritik pemati ([[virama]]) atau penanda sejenis yang mematikan vokal aksara dasar, sehingga lumrah ditemukan kata-kata yang tidak sepenuhnya dieja mengikuti pelafalan kata yang bersangkutan. Tidak adanya diakritik pemati asli merupakan salah satu alasan utama banyaknya kerancuan dalam teks Lontara standar. Namun begitu, varian aksara Lontara yang digunakan untuk menulis bahasa Bima di Sumbawa timur dan Ende di Flores diketahui memiliki diakritik pemati asli yang telah digunakan dalam tradisi tulis Bima-Ende sejak masa pra-kemerdekaan.<ref name="uni2"/><ref name="miller">{{cite journal|url=https://www.semanticscholar.org/paper/Indonesian-and-Philippine-Scripts-and-extensions-or-Miller/dbf4e3c96e78bed654429ef532885bc8567b59df|first=Christopher|last=Miller|title=Indonesian and Philippine Scripts and extensions not yet encoded or proposed for encoding in Unicode|publisher=UC Berkeley Script Encoding Initiative|date=2011-03-11}}</ref> Diakritik pemati Bima-Ende ini tidak diserap balik ke dalam penulisan Bugis-Makassar sehingga Lontara standar Bugis-Makassar tetap tidak memiliki diakritik pemati hingga masa modern.<ref name="miller" />
 
Lontara Bugis-Makassar baru bereksperimen dengan rekaan diakritik pemati pada abad 21 M, umumnya sebagai upaya untuk memudahkan pengajaran aksara Lontara dalam kurikulum muatan lokal dan untuk memudahkan penulisan tepat [[bahasa Indonesia]] serta istilah asing. Pada tahun 2003, penulis Djirong Basang tercatat menyarankan tiga diakritik baru untuk aksara Lontara: diakritik pemati (virama), hentian glottal, dan nasal.<ref name="uni"/> Sejak itu, Anshuman Pandey mencatat adanya tiga macam alternatif virama yang pernah diusulkan dalam sejumlah publikasi mengenai Lontara Bugis-Makassar hingga tahun 2016.<ref name="uni2"/> Namun begitu, tidak semua pihak menyetujui usulan penambahan diakritik pemati dalam aksara Lontara. Pakar sastra Bugis seperti Nurhayati Rahman menilai bahwa perombakan ortografi seperti menambah diakritik pemati untuk bahasa Bugis-Makassar merupakan usaha yang salahlebih kaprahmenunjukkan karenaadanya justrurasa inferioritas dengan 'memaksakan' aksara Lontara untuk mengikuti norma penulisan huruf Latin. Hal ini juga dikhawatirkan malah menjauhkan generasi baru dari praktek penulisan dalam naskah-naskah dan warisan sastra riil.<ref>{{cite book|url=https://books.google.co.id/books/about/Suara_suara_dalam_lokalitas.html?id=KyzKoQEACAAJ&source=kp_book_description&redir_esc=y|title=Suara-suara dalam lokalitasLokalitas|publisher=La Galigo Press|isbn=9799911559|year=2012|first=Nurhayati|last=Rahman|page=124}}</ref>

Hingga 20192018, usulan inidiakritik tambahan tidak memiliki status resmi maupun konsensus umum sehingga bentuk diakritik antar pihak bisa jadi kontradiktif.<ref name="uni2">{{cite journal|url=http://www.unicode.org/L2/L2016/16075-buginese-virama-signs.pdf|first=Anshuman|last=Pandey|title=Proposal to encode VIRAMA signs for Buginese|journal=ISO/IEC JTC1/SC2/WG2|issue=L2/16-075|date=2016-04-28 |publisher=Unicode}}</ref><ref>{{cite book|url=https://ojs.unm.ac.id/semnaslemlit/article/viewFile/8151/4694|first=Abd. Aziz|last=Ahmad|title=Prosiding Seminar Nasional Lembaga Penelitian Universitas Negeri Makassar: Pengembangan tanda baca aksara Lontara|page=40-53|isbn=978-602-5554-71-1|year=2018}}</ref>{{sfn|Jukes|2014|pp=7–8}} Satu hal yang pasti ialah diakritik pemati tidak pernah muncul dalam konteks penggunaan tradisional dan naskah historis nyata Bugis-Makassar.{{sfn|Tol|1996|pp=216–217}}
 
{| class="wikitable"