Jibakutai: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 9:
Menurut sejarawan L. de Jong, angka 50.000 orang anggota Jibakutai dapat dikatakan merupakan jumlah yang terlalu dibesar-besarkan oleh para pejabat Indonesia yang ingin mengesankan atasan Jepang mereka. Penguasa pendudukan Jepang sendiri menerima angka yang di-''mark up'' itu demi alasan propaganda di Jawa maupun untuk memberikan kesan baik mengenai keberhasilan mereka di mata atasannya di [[Tokyo]]. Di mata orang Jawa sendiri, militansi dan kefanatikan para anggota Jibakutai yang digembargemborkan propaganda Jepang dinilai tidak masuk akal dan tidak banyak mengesankan mereka. Cara berperang seperti itu (melancarkan serangan bunuh diri) dianggap tidak [[modern]] dan sia-sia. Selain itu, sejak tahun 1943, semua pengumuman Jepang di Jawa dipandang skeptis. Bahkan contoh ideal dari Barisan Jibakutai, yaitu sosok Heiho Amat yang dikatakan propaganda Jepang melakukan jibaku di medan perang [[Kalimantan]] entah di [[Balikpapan]] atau [[Tarakan]] tidak dihiraukan oleh masyarakat. Mereka paham bahwa Heiho hanya tokoh rekaan bukan sosok nyata, mustahil ada orang Indonesia bersedia mati demi Jepang apabila melihat kebijakan sewenang-wenangnya maupun wabah kelaparan serta kekurangan sandang yang parah di Jawa pada tahun-tahun terakhir perang. Keraguan militansi anggota Jibakutai sendiri semakin mencuat apabila melihat mayoritas pendaftarnya, sebagaimana didata di [[Bali]] oleh sejarawan Geoffrey Robinson, adalah guru sekolah dan redaktur media massa anggota kelompok menengah ke atas. Sebagai bagian dari aparat pemerintahan pendudukan, nama-nama mereka mudah didaftarkan sebagai formalitas sebagai anggota Jibakutai demi alasan propaganda. Namun, tidak seperti sukarelawan murni, sangat diragukan apabila orang-orang berpendidikan dan cenderung lebih rasional seperti mereka akan bersedia melakukan tindakan irasional seperti serangan bunuh diri demi membela Jepang.    
 
Pendeknya, tidak seperti Peta, Heiho, Seinendan, Barisan Pelopor atau Keibodan, boleh dikatakan bahwa Barisan Jibakutai lebih merupakan sebuah bahan propaganda Jepang dibandingkan organisasi nyata yang bersifat militer atau semimiliter. Atau, meminjam kata-kata sejarawan Nugroho Notosusanto, jibakutai tidak lebih dari ungkapan tekad pemuda Indonesia untuk mempertahankan tanah airnya dari ancaman musuh. Kalaupun barisan itu memang ada secara organisasi, jumlah rekrutannya lebih kecil daripada angka yang dipropagandakan dan tidak terlatih mengingat pendiriannya dikatakan pada bulan Desember 1944 sementara, dalam kasus di Bali, pelatihannya dimulai pada bulan [[Maret]] 1945. Propaganda mengenai sebuah barisan berani mati Indonesia sendiri merupakan upaya terakhir Jepang untuk memperlihatkan/mendorong bangsa Indonesia mendukung Perang Asia Timur Raya suatu hal yang meragukan mengingat semakin banyaknya pembangkangan dalam barisan Peta/Gyugun dan Heiho serta meningkatnya ketidapuasan penduduk Indonesia terhadap Jepang termasuk pecahnya sejumlah pemberontakan rakyat.<ref>{{Cite  book|last=Oktorino|first=Nino|date=2013-12-20|url=https://books.google.co.id/books/about/Ensiklopedi_pendudukan_Jepang_di_Indones.html?id=eYdKDwAAQBAJ&source=kp_book_description&redir_esc=y|title=Konflik Bersejarah - Ensiklopedi Pendudukan Jepang di Indonesia|publisher=Elex Media Komputindo|isbn=978-602-02-2872-3|language=id}}</ref>
 
Catatan-catatan dalam Perang Kemerdekaan juga tidak menunjukkan pengaruh signifikan pelatihan Jibakutai dalam menghadapi Sekutu. Bahkan serangan-serangan berani mati, atau bunuh diri, yang dilancarkan oleh beberapa pejuang Indonesia tidak banyak dikaitkan dengan keanggotaan mereka dalam barisan Jibakutai atau pelatihan mereka dalam barisan tersebut. Misalnya, Mohammad Toha, sosok pelaku serangan bunuh diri paling terkenal dalam Perang Kemerdekan, adalah seorang bekas anggota Seinendan bukan Jibakutai. Faktanya, orang Indonesia bahkan di antara orang-orang yang dilatih secara militer oleh Jepang dalam Peta dan heiho, yang juga diindoktrinasi dengan ''seishin'' (semangat rela berkorban), yang secara tersirat juga mendorong kecenderungan berani mati lewat serangan bunuh diri menganggap jibakutai bukanlah cara berperang yang modern dan efektif. Kendati sempat mengejutkan pasukan Inggris, bahkan dalam pertempuran di Surabaya, Barisan Berani Mati yang kerap kali dihubungkan dengan Jibakutai tidak memperlihatkan efektivitas dalam pertempuran. Pada kenyataannya, kebanyakan serangan berani mati atau bersifat bunuh diri di Surabaya cenderung diambil oleh massa tidak terlatih, yang melakukannya bukan karena pelatihan atau dorongan semangat jibakutai, tetapi oleh antusiasme dan spontanitas''mob''yang mengamuk. Kendati memiliki nilai propaganda yang amat besar, serangan semacam ini tidak pernah lagi dianjurkan oleh para pemimpin militer Indonesia setelah pertempuran Surabaya karena besarnya jumlah korban yang diderita tanpa hasil militer yang signifikan.<ref>{{Cite book|last=Oktorino|first=Nino|date=2016-06-16|url=https://books.google.co.id/books?redir_esc=y&id=bhqTnQAACAAJ&q=Jibakutai#v=onepage&q=Barisan%20Berani%20Mati&f=false|title=Di Bawah Matahari Terbit|publisher=Elex Media Komputindo|isbn=978-602-02-8811-6|language=id}}</ref>
Baris 17:
 
== Eksistensi ==
Dalam dunia kemiliteran pada saat itu, Jibakutai tidak pernah memiliki eksistensi nyata sebagai organisasi [[monolitis]]. Barisan ini tidak lebih hanya ungkapan tekad pemuda Indonesia untuk mempertahankan tanah air dari gangguan musuh atau sekutu. Setelah Indonesia merdeka, Pasukan Peta dan [[Heiho]] jadi cikal bakal tentara Republik Indonesia. Tapi, Jibakutai malah dipandang sebelah mata dan mengubah nama organisasinya menjadi Barisan Berani Mati (BBM). Aksi heroik barisan ini ditunjukkan pada saat perang melawan Sekutu di [[Surabaya]] pada tanggal 10 November 1945. Banyak jenis kendaraan perang berlapis [[baja]] seperti ''brencarrier'', panser dan tank meledak karena ulah pasukan ini. Anggota Barisan Berani Mati beroperasi berdasarkan beberapa kelompok kecil. Masing-masing perwakilan kelompok menjinjing bom, kemudian di antara mereka menabrakkan diri ke kendaraan perang musuh untuk menghancurkan benteng-benteng pertahanan perang berjalan berjalan tersebut. Tindakan pemberani ini terus dilakukan sampai hari ketiga perang. Keberanian itu membuat berbagai kalangan pejuang dan pihak musuh kagum. Tentara [[Inggris]] pun sampai terperanga dan menuduh Indonesia menggunakan jasa orang Jepang untuk melakukan serangan bom bunuh diri, karena pada saait itu hanya orang Jepang yang dianggap berani berbuat seperti itu. Hal itu dilakukan sebagai pembuktian bahwa Barisan Berani Mati memiliki keberanian untuk membela tanah air, bukan hanya pasukan bangsa Jepang dengan Kamikazenya saja yang berani menabrakan pesawat terbang ke kapal perang Sekutu.<ref>{{Cite web|title=Pasukan Bunuh Diri Indonesia dalam Perang Kemerdekaan|url=https://historia.id/militer/articles/pasukan-bunuh-diri-indonesia-dalam-perang-kemerdekaan-v543J|website=Historia - Majalah Sejarah Populer Pertama di Indonesia|language=id-ID|access-date=2020-08-10}}</ref>
 
== Referensi ==