Jibakutai: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 7:
Sukarno menyerahkan pesan yang diterimanya kepada Jenderal Harada, panglima Tentara ke-16, yang kemudian mengirimkan kepal stafnya, Jenderal Yamamoto (kepala pemerintahan militer) ke Madiun untuk menyampaikan pidato kepada anggota barisan. Teks tersebut kemudian mengatakan, “Sejauh ini orang  mengira barisan bunuh diri hanya ada di Jepang, tetapi yang sangat mengejutkan kini seluruh dunia tahu bahwa bangsa Indonesia terinspirasi dengan antusiasme yang sama.” Ia berharap antusiasme itu akan tersebar di seluruh Jawa. Pada kenyataannya, baik pers maupun radio di Jawa kemudian memberikan banyak perhatian kepada pembentukan barisan bunuh diri itu, di mana sumbangan dana khusus diadakan untuk mendukungnya. Setelah penyerahan Jepang, sebuah laporan yang diberikan oleh Tentara ke-16 kepada  Laksamana Pattersson menyatakan bahwa ada sekitar 50.000 orang anggota Jibakutai. Empat hari sebelum penyerahan, ''Asia Raya'' membuat laporan tentang kamp pelatihan barisan itu yang dibentuk di Madiun: “Anak laki-laki dan perempuan dilatih di sini, di mana mereka belajar menggunakan senapan serta berlatih menyerang garis pertahanan musuh … para gadis juga diajarkan berbagai hal, termasuk berkuda.” (11 Agustus 1945)  
 
Menurut sejarawan L. de Jong, angka 50.000 orang anggota Jibakutai dapat dikatakan merupakan jumlah yang terlalu dibesar-besarkan oleh para pejabat Indonesia yang ingin mengesankan atasan Jepang mereka. Penguasa pendudukan Jepang sendiri menerima angka yang di-''mark up'' itu demi alasan propaganda di Jawa maupun untuk memberikan kesan baik mengenai keberhasilan mereka di mata atasannya di Tokyo. Di mata orang Jawa sendiri, militansi dan kefanatikan para anggota Jibakutai yang digembargemborkan propaganda Jepang dinilai tidak masuk akal dan tidak banyak mengesankan mereka. Cara berperang seperti itu (melancarkan serangan bunuh diri) dianggap tidak modern dan sia-sia. Selain itu, sejak tahun 1943, semua pengumuman Jepang di Jawa dipandang skeptis. Bahkan contoh ideal dari Barisan Jibakutai, yaitu sosok Heiho Amat yang dikatakan propaganda Jepang melakukan jibaku di medan perang Kalimantan entah di Balikpapan atau Tarakan tidak dihiraukan oleh masyarakat. Mereka paham bahwa Heiho Amat hanyalah tokoh rekaan bukan sosok nyata karena, demikian kata Hario Kecik, mustahil ada orang Indonesia bersedia mati demi Jepang apabila melihat kebijakan sewenang-wenangnya maupun wabah kelaparan serta kekurangan sandang yang parah di Jawa pada tahun-tahun terakhir perang. Keraguan militansi anggota Jibakutai sendiri semakin mencuat apabila melihat mayoritas pendaftarnya, sebagaimana didata di Bali oleh sejarawan Geoffrey Robinson, adalah guru sekolah dan redaktur media massa—anggotamassa anggota kelompok menengah ke atas. Sebagai bagian dari aparat pemerintahan pendudukan, nama-nama mereka mudah didaftarkan sebagai formalitas sebagai anggota Jibakutai demi alasan propaganda. Namun, tidak seperti sukarelawan murni, sangat diragukan apabila orang-orang berpendidikan dan cenderung lebih rasional seperti mereka akan bersedia melakukan tindakan irasional seperti serangan bunuh diri demi membela Jepang.    
 
Pendeknya, tidak seperti Peta, Heiho, Seinendan, Barisan Pelopor atau Keibodan, boleh dikatakan bahwa Barisan Jibakutai lebih merupakan sebuah bahan propaganda Jepang dibandingkan organisasi nyata yang bersifat militer atau semimiliter. Atau, meminjam kata-kata sejarawan Nugroho Notosusanto, jibakutai tidak lebih dari ungkapan tekad pemuda Indonesia untuk mempertahankan tanah airnya dari ancaman musuh. Kalaupun barisan itu memang ada secara organisasi, jumlah rekrutannya lebih kecil daripada angka yang dipropagandakan dan tidak terlatih mengingat pendiriannya dikatakan pada bulan Desember 1944 sementara, dalam kasus di Bali, pelatihannya dimulai pada bulan Maret 1945. Propaganda mengenai sebuah barisan berani mati Indonesia sendiri merupakan upaya terakhir Jepang untuk memperlihatkan/mendorong bangsa Indonesia mendukung Perang Asia Timur Raya suatu hal yang meragukan mengingat semakin banyaknya pembangkangan dalam barisan Peta/Gyugun dan Heiho serta meningkatnya ketidapuasan penduduk Indonesia terhadap Jepang termasuk pecahnya sejumlah pemberontakan rakyat.