Sahal Mahfudh: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Borgxbot (bicara | kontrib)
k Robot: Cosmetic changes
Anthonian (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 1:
{{rapikan}}
Sosoknya sangat bersahaja. Bicaranya tenang, lugas, tidak berpretensi mengajari. Padahal KH Muhammad Achmad Sahal Mahfudz sangat disegani. Dia dua periode menjabat Rais Aam Syuriah Pengurus Besar [[Nahdlatul Ulama]] (1999-2009) dan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) masa bakti 2000-2010.
 
Pada Musyawarah Nasional (Munas) MUI VII (28/7/2005) [[Rais Aam]] [[Syuriah]] [[Pengurus Besar Nahdlatul Ulama]] (NU), itu terpilih kembali untuk periode kedua menjabat Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) masa bakti 2005-2010.
 
Pada Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) di [[Donohudan]], [[Boyolali]], [[Jateng]]., Minggu (28/11-2/12/2004), dia pun dipilih untuk periode kedua 2004-2009 menjadi Rais Aam Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU).
 
Pada 26 November 1999, untuk pertama kalinya dia dipercaya menjadi Rais Aam Syuriah PB NU, mengetuai lembaga yang menentukan arah dan kebijaksanaan organisasi kemasyarakatan yang beranggotakan lebih 30-an juta orang itu.
 
KH Sahal yang sebelumnya selama 10 tahun memimpin [[Majelis Ulama Indonesia]] (MUI) Provinsi Jawa Tengah, juga didaulat menjadi Ketua Umum Dewan Pimpinan MUI pada Juni 2000 sampai tahun 2005.
 
Di luar itu, KH Sahal adalah pemimpin Pondok Pesantren (Ponpes) Maslakul Huda sejak tahun 1963. Ponpes di Kajen Margoyoso, [[Pati]], Jawa Tengah, ini didirikan ayahnya, KH Mahfudz Salam, tahun 1910.
 
Dalam Muktamar NU ke-31 di Bayolali itu, pemilihan Rois Aam dan Ketua Umum, sesuai tata tertib syogianya dilakukan dalam dua tahap, yakni tahap pencalonan dan tahap pemilihan. Calon Rais Aam dan Ketua Umum dianggap sah apabila mendapat dukungan minimal 99 suara dari 465 suara muktamirin. Apabila hanya ada satu calon yang mencapai minimal 99 suara, calon tersebut bisa disahkan secara bulat atau aklamasi.
 
Dalam tahap pencalonan Rais Aam pada Muktamar NU ke-31, ini peserta muktamar mengajukan tujuh nama. Setelah dilakukan pemungutan dan penghitungan suara, KH Sahal Mahfudh mendapat 363 suara, [[KH Abdurrahman Wahid]] 75 suara, [[KH Hasyim Muzadi]] 5 suara, [[Said Agil Siradj]] 1 suara, [[Alwi Shihab]] 2 suara, [[KH Mustofa Bisri]] 3 suara, dan [[Rahman S]] 1 suara. Satu suara abstain dan satu suara tidak sah. Sehingga sesuai tata tertib, peserta muktamar secara aklamasi menerima Sahal Mahfudh sebagai Rais Aam.
 
Pertama kali, KH Sahal Mahfudz terpilih sebagai Ketua Rais Aam dalam Muktamar XXX NU di [[Lirboyo]], [[Kediri]], [[26 November]] [[1999]]. Ketika itu KH Sahal antara lain mengatakan, sejak awal berdirinya NU, warga NU yang merupakan bagian dari masyarakat madani berada pada kutub yang berseberangan dengan negara, dan KH Sahal mencoba mempertahankan tradisi tersebut. Saat itu, konteksnya adalah naiknya KH Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI.
 
Pemimpin Ponpes Maslakul Huda, Rais Aam PB NU dan Ketua Umum MUI, KH Sahal dikenal sebagai pendobrak pemikiran tradisional di kalangan NU yang mayoritas berasal dari kalangan akar rumput. Dia juga tidak sependapat dengan adanya keinginan sebagian orang untuk menghidupkan kembali Piagam Jakarta. Menurutnya, hal itu tidak perlu. Sebab, mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim, tidak berarti perlu piagam. “Argumentasi itu malah ironis. Karena mayoritas sudah Muslim, maka mayoritas sudah akan melaksanakan syariat Islam sendiri-sendiri. Bila memang harus diatur pemerintah, yang kena aturan itu hanya orang Islam saja,” katanya.
Baris 22:
Dia pun menyatakan pemerintah tidak perlu ikut campur dalam hal agama. Menurutnya, pemerintah sebagai pengayom memang bertanggung jawab, berhak, dan berkewajiban membina, memberi fasilitas untuk semua agama, tetapi jangan intervensi terlalu jauh sebab itu hubungan manusia dengan Tuhan. Alasannya, katanya, agama itu tidak berorientasi pada kekuasaan, tidak ingin agama lebih dominan dari agama, tetapi juga negara jangan lebih dominan dari agama, memakai agama sebagai justifikasi. Agama itu harus mandiri.
 
Sementara perihal [[Pancasila]], dia menyatakan itu bukan ciri, tetapi visi. “Identitas artinya ciri intrinsik yang melekat pada sesuatu yang dicirikan. Identitas bangsa banyak dibicarakan orang, tetapi tidak banyak dikupas. Bila identitas bangsa sudah ditetapkan, daerah boleh memiliki ciri khasnya dengan koridornya tetap identitas bangsa.
 
Dia mencontohkan daerah yang mayoritasnya [[Muslim]] yang ingin menerapkan ciri khas Islam, itu tidak mudah. Hal itu, menurutnya, perlu persiapan panjang karena setelah syariat semuanya harus tunduk pada syariat Islam. Sebab, bagaimana dengan penduduk yang bukan Muslim? Apa hukum yang dipakai untuk mereka? Bila hal ini tidak jelas, akan menimbulkan konflik, ada isolasi karena perbedaan agama. Menurutnya, ini tidak boleh, karena keragaman agama itu juga dibenarkan oleh Islam.
 
Begitu pula soal globalisasi. Menurutnya, hal itu keniscayaan. “Siapa bisa menolak?’ tanyanya. Globalisasi , jelasnya, akan menimbulkan perubahan sikap hidup dan peri laku masyarakat. Sementara, di Indonesia sekarang yang menonjol konsumtivisme. Ini, antara lain, dampak iklan. Dalam hal ini, serunya, mental secara ekonomis harus ditanamkan. Mental ekonomis yang bagus itu seperti mental singkek, pedagang Cina yang ulet. Dia sama sekali tidak konsumtif melainkan hemat, dari nol, setelah kaya pun tidak menyombongkan kekayaannya, ulet.
 
KH Sahal dilahirkan di Pati 17 Desember 1937. Hampir seluruh hidupnya dijalani di pesantren, mulai dari belajar, mengajar dan mengelolanya. KH Sahal hanya pernah menjalani kursus ilmu umum antara 1951-1953, sebelum mondok di Pesantren Bendo, Kediri (JAtimJatim), [[Sarang]], [[Rembang]] (Jateng), lalu tinggal di [[Mekkah]] selama tiga tahun.
 
Sikap demokratisnya menonjol dan dia mendorong kemandirian dengan memajukan kehidupan masyarakat di sekitar pesantrennya melalui pengembangan pendidikan, ekonomi dan kesehatan.
Selain memiliki 500-an santri, Ponpes Maslakul Huda juga punya sekolah madrasah ibtidaiyah sampai madrasah aliyah dengan 2.500-an murid, Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Arta Huda Abadi yang lima tahun lalu berdiri, koperasi, rumah sakit (RS) umum kelas C RS Islam Pati, memberi kredit tanpa bunga kelompok usaha mikro dengan dana bergulir, mengajar masyarakat membuat “asuransi” kesehatan dengan menabung setiap rumah tangga tiap bulan di kelompoknya, dan banyak lagi.
 
KH Sahal yang menikah dengan Dra Hj [[Nafisah Sahal]] dan berputra Abdul Ghofar Rozin (23), dilahirkan di Kajen, Pati, pada tanggal [[17 Desember]] [[1937]]. KH Sahal juga seorang [[intelektual]] yang ditunjukkan melalui tulisannya antara lain buku-buku [[Al Faroidlu Al Ajibah]] (1959), Intifakhu Al Wadajaini Fie Munadohorot Ulamai Al Hajain (1959), Faidhu Al Hijai (1962), Ensiklopedi Ijma’ (1985), Pesantren Mencari Makna, Nuansa Fiqih Sosial, dan Kitab Usul Fiqih (berbahasa Arab), selain masih menulis kolom Dialog dengan Kiai Sahal di harian [[Duta Masyarakat]] yang isinya menjawab pertanyaan masyarakat.
 
KH Sahal yang punya koleksi 1.800-an buku di rumahnya di [[Kajen]], sudah lebih 10 tahun menjadi Rektor [[Institut Islam NU]] di [[Jepara]].
 
'''BPR Arta Huda Abadi'''
Baris 50:
Tahun 2002 asetnya sudah lebih dari Rp 10 milyar, dan terus berkembang. Sudah punya kas pembantu di Kota Juwana, Kota Pati, dan daerah perbatasan Jepara-Pati. Kantor pusatnya di Kajen, di dekat pesantren Maslakul Huda.
 
Pesantren juga punya koperasi yang sudah lima bulan mengembangkan Unit Simpan-Pinjam Syariah yang sistem simpan-pinjamnya bagi hasil. Di daerah sekitar Pati, ini adalah koperasi syariah pertama. Modalnya juga berbentuk saham milik pesantren, staf koperasi, dan [[alumni]]. Wartel pun sahamnya kami bagi-bagi, tidak cuma pesantren. Prinsipnya, rezeki itu jangan dipek (dihaki) sendiri.
 
Ketika ada program Jaring Pengaman Sosial saat krisis ekonomi tahun 1997-1998, ada bantuan beras dari Jepang. Pesantren [[Maslakul Huda]] termasuk yang kebagian jatah membagi beras untuk orang miskin. Ia terima, dengan syarat tidak mau hanya membagi. Bila hanya membagi akan membuat mereka jadi lebih tergantung.
 
Maka ia meminta mereka membentuk kelompok, tiap sepuluh keluarga jadi satu kelompok. Ada kira-kira 176 kelompok. Setiap keluarga dalam kelompok diminta menabung setiap hari, besarnya terserah kesepakatan anggota kelompok. Rata-rata per keluarga bisa menabung Rp 1.000 per hari. Itu tabungan milik mereka, mereka urus sendiri, dan setor sendiri ke [[BPR]] atas nama kelompok.
Setelah proyek selesai dalam tiga bulan, masing-masing kelompok rata-rata punya tabungan Rp 900.000. Ini lalu dipakai modal usaha kelompok. Jumlahnya ratusan kelompok, kebanyakan ibu-ibu.
 
Ketika pihak Jepang dilapori, mereka terkejut. Lalu mereka bertanya, apa keinginannya selanjutnya. Ia katakan, ingin mereka dibina sebagai kelompok usaha. Pihak Jepang bersedia membantu biaya pelatihan Rp 500.000 per kelompok. Pelatihan disesuaikan kebutuhan kelompok, tetapi rata-rata minta pelatihan pembukuan keuangan karena akan berhubungan dengan bank nantinya.
 
Selesai dilatih, pihak [[Jepang]] masih menambah bantuan Rp 500.000 per kelompok untuk modal. Jadi, tiap kelompok rata-rata punya Rp 1,4 juta, kalau dipakai untuk kulakan bayam uangnya sudah bisa bergulir.
 
Ada kelompok perkebunan, ada kelompok [[rambutan]] [[binjai]]. Di sana rambutan binjai tumbuh bagus dan sudah panen berkali-kali. Ada kelompok tani [[kacang tanah]] yang memasok ke [[Kacang Garuda]] karena kami punya kerja sama. Lalu ada kelompok tani [[singkong]] [[tepung tapioka]].
 
Pesantren hanya memotivasi dan membimbing, tetapi untuk yang teknis pesantren memanggil ahlinya. Misalnya, untuk pengolahan [[limbah]] [[cair]] [[tapioka]], mengundang [[Universitas Diponegoro]].
Dalam membina petani tersebut, pesantren menggunakan pendekatan dari bawah. Ditelusuri apa kebutuhan dasar mereka dengan bertemu dengan tokoh masyarakat, dan mencari tahu apa kesulitan mereka. Lalu dicarikan solusi, kemudian didiskusikan dengan [[masyarakat]]. Pendekatannya begitu. Ia mau masyarakat berdiskusi terbuka, dan mereka juga menyampaikan pikirannya. Tidak cuma inggih-inggih.
 
Ia memang tidak hanya mengurusi pesantren. Tetapi juga sangat peduli kepada kepentingan masyarakat luas di luar pesantren. Menurutnya, hal itu aplikasi ajaran Islam bahwa manusia yang terbaik adalah yang banyak memberikan manfaat untuk orang lain. Selain itu, kegiatan semacam ini otomatis memberi [[laboratorium]] sosial bagi santri. Mereka langsung berinteraksi dengan masyarakat.
 
Sebenarnya pesantren dari dulu tidak pernah ada jarak dengan masyarakat, selalu menyatu, dalam bidang dakwah. Bidang dakwah ini selalu terfokus pada ritual. Bidang-bidang di luar ritual belum banyak disentuh. Bukankah harus ada keseimbangan antara ritual dan material? Cobalah bidang di luar ritual itu juga disentuh sebagai bagian dari aplikasi ajaran, dan karena kita dianjurkan untuk juga berikhtiar. Tidak hanya mengharapkan (bantuan), tangan di bawah. Lalu ia mencoba, ia kumpulkan teman-teman, dan mereka setuju. ? Dari berbagai sumber, di antaranya PB NU dan [[Kompas]] *** TokohIndonesiaTokoh DotComIndonesia Dot Com (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
 
'''Pimpin MUI Lagi'''
 
KH Muhammad Achmad Sahal Mahfudz terpilih kembali menjadi Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) periode 2005-2010 dalam Munas MUI VII di [[Jakarta]] (28/7/2005). Dia didampingi Wakil Ketua Umum [[Din Syamsuddin]] dan sebelas ketua yakni [[Umar Shihab]], [[Asmuni Abdurrahim]], [[Ma’ruf Amin]], [[Sukri Ghazali]], [[Nazri Adlani]], [[Amidhan]], [[Yunahar Ilyas]], [[Kholil Ridwan]], [[Huzaimah Y Tanggo]], [[Tuty Alawiyah]] dan Amir.
 
Sekretaris Umum dijabat Ichwan Syam menggantikan Din Syamsuddin, didampingi empat sekretaris yakni Amrullah Achmad, Anwar Abbas, Yanuar Tauhid, dan Wilia Safitri.
 
Sementara, Bendahara Umum dipercayakan kepada [[Syurech]] didampingi tiga bendahara yakni [[Maftuh Ichsan]], [[Yuniwati]] dan [[Fahmi Darmansyah]].
 
'''Dipilih Formatur'''
 
Pengurus MUI 2005-2010 itu dipilih oleh13oleh 13 formatur yang terdiri dari seorang Dewan Penasihat yakni [[Tholhah Hasan]], dua pengurus harian yang lama yakni Ketua Umum Sahal Mahfudh dan Sekretaris Umum [[Din Syamsuddin]], empat anggota dari ormas Islam yakni dari DewanppDewan Dakwah Islamiyah Indonesia]] (DDII) [[Cholil Ridwan]], dari [[Muhammadiyah]] [[Yunahar Ilyas]], dari [[Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia]] (ICMI) [[Fuad Anshari]] dan dari [[Syarikat Islam]] [[Amrullah Ahmad]].
Lima orang dari Pimpinan MUI Wilayah, yakni wilayah I (meliputi seluruh propvinsi di [[Sumatera]] kecuali [[Lampung]]) yakni [[Nasrun Hanan]], wilayah II ([[Lampung]], [[Jabar]], [[Banten]], [[Jakarta]], Yokyakarta[[Yogyakarta]], dan [[Jawa tengahtenga]]h) yakni [[Hafiz Usman]].
 
Dari wilayah III ([[Jawa Timur]], [[Bali]], [[NTB]] dan [[NTT]]) [[Abdul Kadir Makarim]], wilayah IV ([[Kalimantan]]) yakni [[Mujtafa Ismail]] dan wilayah V ([[Sulawesi]] dan [[Indonesia Timur]]) [[Fauzi Nurani]] serta perwakilan dari Perguruan Tinggi dan [[pesantren]] [[Abdullah Sukri Zarkasyi]].(bn,ant-17)