Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Referensi menyusul |
Tidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 46:
Dewan Perwakilan Daerah merupakan bentuk perwujudan lembaga perwakilan daerah di Indonesia. Lembaga perwakilan daerah, atau biasa disebut majelis tinggi (upper house) secara internasional, telah ada sejak lama di Indonesia. Sebelum DPD dibentuk, telah terdapat lembaga Senat RIS, yang mewakili 16 negara bagian RIS. Pada saat yang bersamaan, di Negara Indonesia Timur, terdapat pula Senat Sementara NIT yang mewakili 13 provinsi dalam NIT. Setelah RIS dan NIT dibubarkan, Senat pun ditiadakan, sehingga tidak ada lagi majelis tinggi/lembaga yang merepresentasikan kepentingan daerah di Indonesia. Kemudian, pada tahun 1959, setelah diberlakukannya dekrit presiden dan kembalinya Indonesia pada UUD 1945, Presiden Soekarno membentuk lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, yang didalamnya terdapat kelompok Utusan Daerah. Kelompok ini terdiri dari wakil-wakil provinsi yang dipilih oleh DPRD Provinsi. Kelompok Utusan Daerah akan tetap bertahan hingga tahun 2004, hingga digantikan oleh DPD.
=== Senat RIS (1950) ===
Senat Republik Indonesia Serikat merupakan majelis tinggi yang terdapat pada sistem parlemen Republik Indonesia Serikat. Senat RIS dibentuk pada tanggal 15 Februari 1950 dengan dasar hukum Konstitusi RIS. Senat RIS terdiri dari 32 anggota, dengan 2 anggota yang mewakili tiap negara bagian RIS. Anggota senat ditunjuk oleh tiap negara bagian dalam RIS. Calon-calon anggota senat dari tiap negara bagian diajukan oleh parlemen dari negara bagian yang bersangkutan (Pasal 81 Konstitusi RIS). Calon diterima sebagai anggota senat apabila surat-surat kepercayaannya dari negara bagian yang bersangkutan telah diverifikasi (Pasal 7 Tata Tertib Senat RIS).
Sidang pertama Senat RIS dilaksanakan pada tanggal 17 Februari 1950. Sidang ini dilaksanakan untuk membahas mengenai posisi ketua dan wakil ketua Senat RIS. Sidang ini berhasil memilih Pellaupessy (NIT) sebagai Ketua dan Teuku Mohammad Hasan sebagai Wakil Ketua.
Tata Tertib Senat RIS, yang dibuat dan disahkan oleh Panitia Tata Tertib Senat RIS pada tanggal 22 Februari 1950, berisi mengenai pemeriksaan surat-surat kepercayaan, pemeriksaan persiapan, usul dan saran kepada Senat. Berdasarkan tata tertib tersebut, terdapat lima badan khusus yang berfungsi untuk membantu Senat dalam melaksanakan tugas-tugasnya: Panitia Pemeriksa Surat-Surat Kepercayaan, Panitia Permusyawaratan, Panitia Rumah Tangga, Panitia Permohonan, dan Majelis Persiapan.
Selama
=== Senat Sementara Negara Indonesia Timur ===
Baris 59 ⟶ 61:
=== Utusan Daerah (F-UD) di Majelis Permusyawaratan Rakyat ===
Setelah pembubaran Senat RIS, maka secara praktis tidak ada lagi organisasi/fraksi yang mewakili kepentingan daerah di dalam parlemen Indonesia, kecuali fraksi Kesatuan yang mewakili Papua. Kepentingan daerah baru kembali terakomodasi melalui fraksi Utusan Daerah dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang dibentuk melalui Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 dan anggotanya dilantik pada tanggal 15 September 1960. Susunan MPRS — sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Presiden No. 12 tahun 1959 — terdiri atas anggota DPR Gotong Royong (DPR-GR), utusan daerah, dan golongan karya (Pasal 1).
Komposisi keanggotaan tiap provinsi dalam fraksi Utusan Daerah (F-UD) diambil berdasarkan jumlah penduduk dari tiap provinsi. Untuk provinsi yang berpenduduk lebih dari 3 juta akan memperoleh 5 orang wakil dalam F-UD, untuk provinsi yang memiliki penduduk antara 1 sampai 3 juta orang akan memperoleh 4 orang wakil dalam F-UD, sedangkan untuk provinsi yang memiliki penduduk kurang dari 1 juta orang akan memperoleh 3 orang wakil dalam F-UD (Pasal 2 Penjelasan Perpres). Calon wakil untuk F-UD dicalonkan oleh DPRD provinsi yang bersangkutan, dengan jumlah calon maksimal dua kali jatah yang telah ditetapkan oleh Perpres. Presiden kemudian akan memilih wakil untuk F-UD dari tiap provinsi.
Dari peraturan tersebut maka diperoleh jumlah keseluruhan anggota F-UD sebanyak 94 orang anggota. Jumlah ini jauh lebih sedikit dibandingan dengan golongan karya yang memiliki 200 orang anggota, ataupun DPR-GR yang memiliki 257 orang anggota.
Setelah Soekarno digantikan oleh Soeharto, undang-undang baru dibuat untuk mengubah susunan parlemen Indonesia. Susunan MPR yang sebelumnya ditetapkan oleh Perpres No. 12 Tahun 1959 digantikan oleh UU No. 16 Tahun 1969. Berdasarkan UU ini, jumlah anggota F-UD memperoleh kenaikan dari 94 menjadi 110 anggota. Penambahan anggota ini diakibatkan oleh peningkatan jumlah wakil-wakil dari setiap provinsi (Pasal 8 Ayat 1), dan penunjukan gubernur (Pasal 8 Ayat 2), Panglima Kodam, dan Komandan Korem (Keppres No. 83/M Tahun 1972), sebagai anggota ex officio dari F-UD. Akibatnya, jumlah anggota utusan daerah meningkat lagi menjadi 130 orang pada MPR periode 1972-1977, dan pada periode-periode selanjutnya tidak ada peningkatan yang signifikan dalam jumlah anggota.
Baris 75 ⟶ 79:
Setelah reformasi bergulir, perubahan-perubahan dasar ketatanegaraan pun dilangsungkan. Dalam kurun waktu 1999 hingga 2002, telah terjadi empat kali amandemen terhadap UUD 1945. Salah satu bagian yang diamandemen adalah mengenai susunan lembaga legislatif di Indonesia. MPR yang sebelumnya bersifat unikameral, berubah menjadi bikameral dengan keberadaan DPD.
Pembahasan mengenai pembentukan DPD dilaksanakan pada Sidang Tahunan MPR 2001 dan pada Rapat Paripurna ke-5, hari Minggu, 4 November 2001. Pada rapat ini, hampir seluruh fraksi dalam MPR menyetujui pembentukan DPD, terkecuali F-PDU (Persatuan Daulat Ummah) yang tidak memberikan tanggapan apapun mengenai pembentukan DPD.
|