Jasawidagda: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
kTidak ada ringkasan suntingan
k bentuk baku
Baris 40:
}}
 
'''Jasawidagda''', yang bergelar '''Raden Tumenggung''' (lahir pada tanggal [[1 April]] [[1886]], di Pradan, [[Manisrenggo, Klaten|Manisrenggo]], [[Kabupaten Klaten|Klaten]], [[Jawa Tengah]] - meninggal di Klaten, [[Indonesia]], [[7 Februari]] [[1958]] pada usia 76 tahun) merupakan seorang Sastrawan Jawa <ref>{{Cite book|title=Ensiklopedi Sastra Jawa|last=Prabowo|first=D. P.|last2=Widati|first2=Sri|last3=Rahayu|first3=Prapti|publisher=Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta|year=2015|isbn=978-979-185-235-7|location=Yogyakarta|pages=237-239|url-status=live}}</ref>. Jasawidagda memiliki nama kecil '''Raden Rahardi Jasawidagda''', yang merupakan putra dari Raden Ngabei Mangoenkarjasa, seorang Asisten Wedana di Manisrengga, Klaten. Jasawidagda menikah dengan R. A. Arjaeni dan dikaruniai oleh 4 orang anak. Setelah istrinya meninggal, dirinya lantas menikah lagi dengan istri kedua yang disebut dengan R. A. Jasawidagda dan dikaruniai oleh sebanyak 3 orang anak. Jasawidagda merupakan putra ke-3 dari 9 bersaudara. Dirinya meninggal pada tanggal 7 Februari 1958, saat usianya menginjak 76 tahun di Klaten. Dilihat dari latar belakang keluarganya, Jasawidagda berasal dari keluarga priyayi. Bahkan, dirinya sendiri hidup sebagai seorang priyayi. Akan tetapi, ia seringkalisering kali menolak untuk bergaya hidup seperti tersebut yang menurutnya sudah tak lagi sesuai dengan tuntutan di era modern.
 
== Karir ==
Jasawidagda memulai karir pendidikannya di Sekolah Rakyat yang ada di Klaten. Baru beberapa tahun, dirinya pindah ke Surakarta. Setelah lulus dari Sekolah Rakyat, dirinya memilih untuk melanjutkan ke [[Kweekschool]] atau Sekolah Guru yang ada di [[Daerah Istimewa Yogyakarta|Yogyakarta]] pada tahun 1920 hingga 1925. Setelah itu, dirinya mengabdikan diri untuk menjadi guru di beberapa daerah, sebelum akhirnya dirinya kembali ke [[Kota Surakarta|Surakarta]] dan bekerja di berbagai posisi di kota tersebut. Berbekal pendidikan guru tersebut sebagai latar belakangnya, Jasawidagda aktif dalam berbagai macam kegiatan sosial politik, diantaranya menjadi seorang aktivis di organisasi [[Budi Utomo]] dan [[Persatuan Guru Republik Indonesia|Persatuan Guru Indonesia]] yang kala itu bernama Persatuan Guru Hindia-Belanda.
 
Sebagai seorang guru, Jasawidagda seringkalisering kali berpindah tugas dari daerah satu ke daerah yang lain. Pada awalnya, di tahun 1905, dirinya mengajar di ''Inslandse School Surakarta'' dan selanjutnya di tahun 1907 pindah ke Kabupaten Kendal. 3 tahun selanjutnya, menjadi seorang Kepala Sekolah di [[Ngrambe, Ngawi|Ngrambe]], [[Kabupaten Ngawi|Ngawi]], [[Jawa Timur]]. Semenjak tahun 1912, dirinya diangkat menjadi Guru Kepala di Sekolah Tingkat I Siswa Mangkoenegaran di Surakarta. Di tahun 1914, dirinya diangkat sebagai Kepala ''Normaal School'' di Surakarta. Selanjutnya, di tahun 1915, dirinya menjabat sebagai guru di ''Inslandse Onderwyzer'' atau Sekolah Guru Pribumi. Karena sangat dekat dengan Mangkoenegaran, dirinya diangkat sebagai Kepala Asrama Hapsara, yaitu asrama untuk siswa ''Algemeene Middelbar School'' (AMS) yang setaraf SMA sekarang. Bahkan, berkat kepandaiannya tersebut, dirinya diangkat menjadi Bupati Mandrapura, yaitu Kepala Rumah Tangga Pura Mangkoenegaran Surakarta (1937) dan baru pensiun dari tugas kedinasan di tahun 1939.
 
=== Aktif dalam Organisasi ===
Baris 55:
Jasawidagda termasuk ke dalam sosok pengarang Jawa yang produktif. Selama masa kepengarangannya tersebut, dirinya berhasil menghasilkan sebanyak 15 karya, baik itu novel ataupun buku pelajaran bahasa dan sastra Jawa. Dirinya mulai menulis sejak tahun 1913 hingga Indonesia merdeka. Sebagian besar novelnya tersebut diterbitkan oleh [[Balai Pustaka]]. Karya-karya yang dihasilkan olehnya cenderung berlatar tradisional, misalnya terlihat dalam ''Mitradarma'', ''Jarot'' (Jilid I dan Jilid II), ''Keraton Powan'', ''Purasani'', ''Bocah Mangkoenegaran'', ''Pethi Wasiat'', dan ''Cariyos Lelampahanipun Peksi Glathik''.
 
Selain itu, profesinya sebagai guru juga telah membawa dirinya berhasil memberikan pencerahan pemikiran terhadap generasi bangsanya. Dirinya seringkalisering kali mendobrak budaya tradisional yang tak sejalan dengan pemikiran modern. Dirinya tidak sependapat dengan orientasi masyarakat Jawa terhadap dunia priyayi. Hal tersebut ditunjukkan dalam novel berjudul ''Kirti Njunjung Drajat'' (1924) yang mengangkat pertentangan pandangan yang terjadi antara generasi muda yang diwakili oleh Darba dan generasi tua yang merupakan kelompok priyayi tradisional yang diwakili oleh orang tua Darba. Dalam novel ''Ni Wungkuk ing Bendha Growong'' (Balai Pustaka), Jasawidagda berhasil mengemukakan penolakannya terhadap budaya kawin paksa yang lazim dilakukan oleh kalangan priyayi. Berbeda dengan kedua novel tersebut, dirinya juga mengangkat kisah petualangan atau pengembaraan seorang pemuda bernama Jarot dalam novel berjudul ''Jarot'' (Balai Pustaka, 1992).
 
Sebagai seorang guru yang juga aktif dalam dunia penerbitan atau jurnalistik, Jasawidagda juga menulis cerita dengan gaya jurnalistik, seperti dalam ''Bocah Mangkoenegaran'' (1930). Dalam novel tersebut, dirinya kuat dalam mengangkat dunia jurnalistik, sehingga orang-orang cenderung melihat dirinya sebagai kumpulan karya jurnalistik. Sebagai lulusan sekolah guru, dirinya tidak mampu meninggalkan hal yang menjadi kewajiban, yakni sebagai seorang pendidik. Maka dari itu, dirinya tidak pernah ketinggalan untuk menyelipkan nasihat-nasihat didaktis dalam setiap karyanya.