Organisasi Perdagangan Dunia: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k Melindungi "Organisasi Perdagangan Dunia": Perlindungan semi bawaan untuk AP. ([Sunting=Hanya untuk pengguna terdaftar otomatis] (selamanya))
k bentuk baku
Baris 22:
Pendahulu Organisasi Perdagangan Dunia adalah [[Perjanjian Umum Tarif dan Perdagangan]] yang ditetapkan pada tahun 1947. Setelah upaya untuk mendirikan [[Organisasi Perdagangan Internasional]] kandas akibat penolakan [[Kongres Amerika Serikat]] untuk meratifikasi [[Piagam Havana]], perjanjian tersebut menjadi semacam lembaga ''[[ad hoc]]'' dan berlaku "sementara" selama 47 tahun. Organisasi Perdagangan Dunia menggantikan perjanjian ini setelah diberlakukannya [[Persetujuan Marrakesh]] yang juga melampirkan perjanjian-perjanjian utama yang mengatur perdagangan internasional, termasuk Perjanjian Umum Tarif dan Perdagangan 1994 yang menggantikan perjanjian tahun 1947.
 
WTO bermarkas di [[Jenewa]], [[Swiss]]. Pada tahun 2016, organisasi ini beranggotakan 164 negara dan [[wilayah kepabeanan]] yang mewakili 99,5% populasi dunia dan 98% perdagangan dunia. Seluruh anggota WTO diharuskan mengikuti aturan-aturan dasar yang ditetapkan melalui Persetujuan Marrakesh. Salah satu aturan tersebut adalah "[[perlakuan yang sama untuk semua anggota]]", yang berarti bahwa keistimewaan yang diberikan oleh suatu anggota WTO kepada anggota WTO lainnya juga harus diberikan kepada seluruh anggota WTO. Selain itu, berdasarkan aturan "perlakuan nasional", anggota WTO harus memperlakukan produk asing yang telah memasuki pasar domestiknya sebagaimana [[barang sejenis|produk "sejenis"]] diperlakukan di negaranya. Sementara itu, dua badan pengambilan keputusan utama di WTO adalah Konferensi Tingkat Menteri dan Dewan Umum. Para anggota WTO mengambil keputusan berdasarkan konsensus, tetapi jika konsensus tidak tercapai, keputusan akan diambil melalui pemungutan suara. Organisasi Perdagangan Dunia juga memiliki sistem penyelesaian sengketa yang mengikat secara hukum. Perkara dagang antar anggota pertama-tama akan dibawa ke Panel yang dibentuk khusus untuk perkara tersebut. Pihak yang tidak puas dengan keputusan Panel dapat membawanya ke [[Badan Banding]].
 
Keberadaan WTO berhasil mengurangi tarif dan hambatan perdagangan lainnya, dan keberhasilan ini dikatakan telah meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mengurangi angka kemiskinan, dan menurunkan harga. Namun, organisasi ini telah menuai kritikan karena dianggap mengesampingkan kepentingan-kepentingan masyarakat lainnya, seperti [[hak asasi manusia]], [[hak buruh]], dan [[pelestarian lingkungan hidup]]. Organisasi ini juga dicap tidak demokratis, terutama akibat kurangnya keterlibatan [[lembaga swadaya masyarakat]] dan ketimpangan kekuatan antara negara maju dengan negara berkembang.
Baris 97:
|}
 
Walaupun Portugal memiliki keunggulan mutlak terhadap Britania Raya dalam memproduksi pakaian dan botol anggur, menurut Ricardo, perdagangan akan tetap menguntungkan kedua belah pihak. Jika Britania Raya memutuskan untuk memproduksi pakaian dengan 100 tenaga kerja dan mengekspornya ke Portugal untuk mendapatkan botol anggur yang dihasilkan oleh 80 petani Portugis, Britania Raya akan diuntungkan karena untuk membuat botol anggur sendiri, mereka membutuhkan 120 tenaga kerja. Portugal juga diuntungkan, karena alih-alih harus mengerahkan 90 orang untuk membuat pakaian, mereka dapat membelinya dari Britania Raya dengan hanya mempekerjakan 80 orang untuk memproduksi botol anggur.{{sfn|Trebilcock, Howse & Eliason|2012|p=3}}
 
Model Ricardo sendiri merupakan hasil penyederhanaan yang mengasumsikan bahwa biaya dan harga berlaku tetap, tetapi para ekonom modern telah memutakhirkan teori Ricardo dan menyesuaikannya dengan kenyataan dalam ekonomi modern. Contohnya adalah [[model Heckscher–Ohlin]] yang telah menemukan bahwa suatu negara akan mengekspor barang yang memiliki faktor produksi murah dan berlimpah di negaranya dan mengimpor barang dengan faktor produksi yang langka.{{sfn|Van den Bossche & Zdouc|2017|pp=20-21}}{{sfn|Lowenfeld|2008|pp=6-7}} Maka dari itu, perdagangan bebas dianggap penting untuk kemajuan ekonomi, karena jika negara memfokuskan diri pada keunggulan komparatif, modal dan tenaga kerja dapat dialokasikan secara efisien, dan produktivitas pun meningkat dan [[pertumbuhan ekonomi]] juga terdorong.{{sfn|Van den Bossche & Zdouc|2017|pp=20-24}} Hambatan perdagangan seperti tarif dan kuota dapat mengurangi keuntungan dari perdagangan atau bahkan menihilkannya, dan oleh sebab itulah anggota-anggota WTO berusaha memajukan ekonomi dengan mengurangi hambatan-hambatan tersebut.{{sfn|Van den Bossche & Zdouc|2017|pp=23}} Sebagai contoh, menurut laporan yang disusun oleh Kantor Eksekutif Presiden Amerika Serikat, pengurangan tarif di Amerika Serikat semenjak Perang Dunia II telah menambah [[produk domestik bruto]] negara sebesar 7,3% atau sekitar $1,3 triliun pada tahun 2014.{{sfn|Van den Bossche & Zdouc|2017|pp=21}} Selain itu, perdagangan bebas diyakini juga akan mengurangi kemiskinan dan menambah lapangan pekerjaan, terutama dengan dibukanya pasar baru untuk menjual barang dan jasa ke luar negeri, dan keuntungan lain dari perdagangan bebas adalah harga yang lebih murah dan pilihan yang lebih banyak untuk konsumen karena sudah tidak ada lagi tarif atau pembatasan yang menghambat barang atau jasa dari luar negeri.{{sfn|Van den Bossche & Zdouc|2017|pp=22-23}}
Baris 171:
=== Aturan mengenai akses pasar ===
[[Berkas:MSC Home Terminal.jpg|jmpl|ka|250px|Terminal peti kemas di [[Pelabuhan Antwerpen]]. Pemungutan bea masuk terhadap barang impor pada dasarnya tidak dilarang oleh WTO, tetapi negara anggota diajak untuk secara perlahan menurunkan tarif yang dipungut.]]
Negara-negara membutuhkan akses pasar agar perdagangan barang dan jasa dapat berjalan lancar, tetapi akses pasar terhadap suatu negara seringkalisering kali dihambat oleh berbagai cara, baik itu tarif maupun non-tarif.{{sfn|Van den Bossche & Prévost|2016|pp=49}} Secara umum, terdapat empat jenis aturan WTO yang terkait dengan akses pasar, yaitu peraturan tentang bea masuk, peraturan tentang bea dan pungutan-pungutan keuangan lainnya, peraturan tentang pembatasan secara kuantitatif, serta peraturan tentang [[hambatan non-tarif]] lainnya.{{sfn|Van den Bossche & Zdouc|2017|pp=39}}
 
Pada dasarnya, pemungutan bea masuk itu tidak dilarang, tetapi tarif yang dipungut oleh suatu negara tidak boleh melebihi batas maksimal yang ditetapkan dalam daftar konsesi masing-masing.{{efn|Menurut Pasal II:7 GATT 1994, daftar konsesi anggota merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Perjanjian WTO. Daftar konsesi harus sejalan dengan aturan dasar GATT dan tidak dapat mengurangi kewajiban anggota. Sebagian besar daftar konsesi disusun dengan mengikuti [[Harmonized Commodity Description and Coding System]] (disingkat "Harmonized System"). Strukturnya sendiri pada umumnya terdiri dari Bab I yang berisi konsesi-konsesi tarif untuk produk pertanian dan bukan pertanian, Bagian II mengenai konsesi preferensial, Bagian III mengenai konsesi perihal tindakan selain tarif, serta Bagian IV mengenai komitmen khusus perihal bantuan domestik dan subsidi ekspor untuk produk pertanian. Untuk keterangan selengkapnya, lihat {{harvnb|Van den Bossche & Zdouc|2017|pp=437-440}}. Sementara itu, anggota yang ingin mengubah atau menarik daftar konsesinya harus mengikuti prosedur dalam Pasal XXVIII:1 GATT. Pada dasarnya, anggota tersebut harus melakukan perundingan dengan anggota lain yang dianggap memiliki kepentingan yang besar sehubungan dengan perubahan yang ingin dicanangkan. Ganti rugi dalam bentuk konsesi baru biasanya perlu diberikan. Namun, jika perundingannya gagal, anggota yang ingin mengubah atau menarik daftar konsesi mereka bebas melakukan hal tersebut sesuai dengan Pasal XXVIII:3(a) GATT. Untuk keterangan selengkapnya, lihat {{harvnb|Van den Bossche & Zdouc|2017|pp=447-449}}.}} Setiap anggota WTO memiliki daftar konsesinya sendiri kecuali untuk anggota yang menjadi bagian dari suatu [[serikat pabean]] (contohnya adalah negara-negara anggota [[Uni Eropa]] yang tidak memiliki daftar konsesi mereka sendiri, tetapi mereka mengikuti daftar konsesi yang disusun oleh Uni Eropa). Daftar ini memuat "konsesi dagang", yaitu komitmen yang telah diambil oleh suatu anggota untuk tidak mengangkat tarif mereka di atas angka yang telah disepakati, atau dalam kata lain, mereka telah "mengikat" tarif mereka pada angka tersebut.{{efn|Komitmen tarif setiap negara sendiri berbeda-beda dan bergantung pada hasil perundingan dengan anggota-anggota lain; pada tahun 2017, [[Indonesia]] dan [[Amerika Serikat]] telah mengikat lebih dari 95% tarif mereka, sementara [[Kamerun]] hanya 13,3%. Lihat {{harvnb|Van den Bossche & Zdouc|2017|pp=436}}.}} Hukum WTO sendiri mengajak anggotanya untuk terus melakukan perundingan demi pengurangan tarif yang menguntungkan semua pihak, dan hasil dari perundingan ini juga akan dimasukkan ke dalam daftar konsesi anggota terkait.{{sfn|Van den Bossche & Zdouc|2017|pp=40}} Walaupun daftar konsesi menetapkan tarif maksimal, batas tarif untuk berbagai produk seringkalisering kali lebih tinggi daripada bea masuk yang sesungguhnya ditetapkan; dalam hal ini, Badan Banding dalam perkara ''Argentina–Textiles and Apparel (1998)'' menyatakan bahwa anggota diperbolehkan mengenakan bea yang lebih rendah daripada tarif maksimalnya.{{sfn|Van den Bossche & Zdouc|2017|pp=446-447}}
 
Sehubungan dengan "bea dan pungutan-pungutan lainnya", Badan Banding dalam perkara ''India–Additional Import Duties'' telah mendefinisikan istilah ini sebagai "bea dan pungutan yang bukan bea masuk biasa".{{sfn|Van den Bossche & Zdouc|2017|pp=462}} Misalnya, Panel dalam perkara ''Dominican Republic–Safeguard Measures'' mendapati bahwa "tindakan pengamanan" yang dilakukan oleh petugas pabean [[Republik Dominika]] merupakan "bea dan pungutan lainnya", karena kebijakan ini bukanlah "bea masuk biasa".{{sfn|Van den Bossche & Zdouc|2017|pp=463}} "Tindakan pengamanan" (berdasarkan Pasal XIX GATT) adalah penangguhan konsesi dagang untuk jangka waktu tertentu apabila terjadi lonjakan impor yang tidak terduga sebelumnya sampai-sampai mengancam akan mengakibatkan kerugian serius terhadap produsen dalam negeri,{{sfn|Bown & Wu|2014|pp=180-181}} dan tindakan pengamanan yang dipertentangkan dalam perkara tersebut adalah penetapan bea masuk sementara sebesar 38% untuk impor kantong plastik [[polipropilena]].{{sfn|Bown & Wu|2014|pp=186}} Contoh lain yang dapat ditemui dalam perkara-perkara di Panel dan Badan Banding adalah bea tambahan terhadap suatu barang yang sudah dikenakan bea masuk, pembayaran jaminan keamanan untuk mengimpor barang, atau biaya pabean tanpa batasan maksimal.{{sfn|Van den Bossche & Zdouc|2017|pp=464}} Pasal II:1(b) GATT sendiri menitahkan bahwa bea semacam ini tidak boleh melebihi bea yang telah diberlakukan pada "tanggal perjanjian ini" atau bea yang diberlakukan dalam undang-undang yang berlaku pada tanggal tersebut. Akibat ketidakjelasan istilah "tanggal perjanjian ini", para anggota WTO telah bersepakat dalam Kesepahaman mengenai Penafsiran Pasal II:1(b) GATT 1994 ({{lang-en|Understanding on the Interpretation of Article II:1(b) of the GATT 1994}}) bahwa setiap anggota dalam hal ini berkewajiban untuk mencatat tarif mengikat maksimal yang akan dikenakan untuk setiap bea atau pungutan lainnya dalam daftar konsesi mereka.{{sfn|Van den Bossche & Zdouc|2017|pp=465}}
Baris 180:
 
=== Aturan mengenai praktik perdagangan yang tidak adil ===
Hukum WTO memiliki aturan-aturan khusus mengenai praktik-praktik perdagangan tertentu yang dianggap tidak adil, yaitu subsidi dan dumping. Subsidi diatur oleh Pasal XVI GATT dan juga [[Perjanjian tentang Subsidi dan Tindakan Imbalan]] ({{lang-en|Agreement on Subsidies and Countervailing Measures}}, disingkat Perjanjian SCM).{{sfn|Van den Bossche & Zdouc|2017|pp=41}} Menurut Perjanjian SCM, subsidi adalah kontribusi keuangan dari pemerintah atau [[Badan Publik|badan publik]], atau bantuan pendapatan atau harga dalam bentuk apapun sesuai dengan Pasal XVI GATT, yang memberikan keuntungan.{{sfn|Van den Bossche & Zdouc|2017|pp=775}} Hukum WTO melarang beberapa jenis subsidi, yaitu subsidi ekspor dan [[substitusi impor]].{{sfn|Van den Bossche & Zdouc|2017|pp=802-811}} Sebagian besar dari jenis subsidi lainnya tidak dilarang, tetapi subsidi-subsidi tersebut tergolong sebagai "subsidi yang dapat ditindak" (''actionable''), yaitu subsidi yang dapat ditentang oleh anggota WTO apabila subsidi tersebut menimbulkan "dampak-dampak merugikan" (''adverse effects'') terhadap kepentingan anggota tersebut. Subsidi-subsidi tersebut meliputi subsidi yang mengakibatkan kerugian terhadap industri domestik negara lain yang menghasilkan produk sejenis, subsidi yang menyebabkan penghapusan atau pengurangan terhadap keuntungan yang diperoleh secara langsung ataupun tidak langsung dari GATT 1994, serta subsidi yang menyebabkan kerugian serius.{{efn|Menurut Pasal 6.3 Perjanjian SCM, "kerugian serius" bisa berupa: "subsidi yang menggantikan atau menghalangi impor produk sejenis dari anggota lain ke pasar anggota pemberi subsidi", "subsidi yang menggantikan atau menghalangi ekspor produk sejenis dari anggota lain ke pasar negara ketiga", "subsidi yang mengakibatkan pemotongan harga yang jauh lebih rendah dari produk yang disubsidi dibandingkan dengan harga produk sejenis dari anggota lain dalam pasar yang sama atau penekanan harga yang besar, penurunan harga atau kehilangan penjualan yang berarti dalam pasar yang sama", atau "subsidi yang mengakibatkan kenaikan pangsa pasar negara yang memberi subsidi produk atau barang dagangan primer bila dibandingkan dengan pangsa rata-rata yang dimilikinya tiga tahun sebelumnya". Lihat {{harvnb|Van den Bossche & Zdouc|2017|pp=818}}.}}{{sfn|Van den Bossche & Zdouc|2017|pp=811-818}} Jika anggota yang memberikan subsidi semacam itu menolak mencabutnya atau tidak mau mengambil langkah untuk menghilangkan dampaknya yang merugikan, anggota lain yang dirugikan dapat mengambil tindakan balasan yang sebanding dengan dampak dari subsidi tersebut.{{sfn|Van den Bossche & Zdouc|2017|pp=41}} Di Perjanjian SCM sendiri sebenarnya masih ada jenis subsidi ketiga, yaitu subsidi yang tidak dapat ditindak. Menurut Pasal 8.2 Perjanjian SCM, subsidi-subsidi tersebut meliputi subsidi lingkungan hidup, subsidi penelitian, dan subsidi untuk pembangunan daerah tertinggal. Namun, sesuai dengan Pasal 31 Perjanjian SCM, subsidi ini hanya berlaku lima tahun setelah Perjanjian WTO secara keseluruhan mulai berlaku. Akibatnya, aturan mengenai subsidi yang tidak dapat ditindak hanya berlaku hingga tanggal 31 Desember 1999, dan semenjak itu subsidi-subsidi tersebut tergolong sebagai subsidi yang dapat ditindak.{{sfn|Van den Bossche & Zdouc|2017|pp=846}}
 
Sementara itu, dumping adalah praktik penjualan produk di pasar negara lain dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang seharusnya di dalam negeri. Secara umum, dumping tidak dilarang oleh hukum WTO, tetapi Pasal VI GATT dan Perjanjian Anti-Dumping mengizinkan anggota WTO untuk memungut bea anti-dumping apabila praktik dumping tersebut mengakibatkan atau mengancam akan mengakibatkan kerugian material terhadap produk sejenis yang diproduksi oleh anggota tersebut.{{sfn|Van den Bossche & Zdouc|2017|pp=699-701}}
Baris 214:
Para pengkritik WTO juga mengemukakan pandangan bahwa keuntungan yang diperoleh dari perdagangan bebas tidak terbagi secara merata. Kritik ini biasanya ditopang dengan data yang menunjukkan bahwa jurang antara yang kaya dan miskin terus melebar, terutama di [[Republik Rakyat Tiongkok]] dan [[India]] yang semakin bertambah ketimpangan ekonominya meskipun pertumbuhan ekonominya sangat tinggi.{{sfn|Joseph|2011|pp=166-167}} Selain itu, pendekatan WTO yang ingin mengurangi hambatan perdagangan dapat merugikan negara berkembang. Dengan dihapuskannya tarif, suatu negara akan kehilangan salah satu sumber pendapatannya.{{sfn|Joseph|2011|pp=170}} Liberalisasi perdagangan yang terlalu dini juga ditakutkan akan memerangkap negara berkembang di sektor primer yang tidak membutuhkan tenaga kerja yang terampil.{{sfn|Joseph|2011|pp=171}} Saat negara berkembang ingin memajukan ekonominya dengan cara [[industrialisasi]], industri yang baru lahir tidak bisa serta merta langsung meroket begitu saja, sehingga sulit bersaing dengan negara lain yang industrinya lebih maju. Konon ekonom terkemuka [[Adam Smith]] pernah memberikan nasihat kepada pemerintah Amerika Serikat yang baru merdeka saat itu agar mereka fokus pada sektor pertanian daripada mencoba menyaingi Eropa yang industrinya lebih maju, tetapi Amerika Serikat tidak menggubrisnya dan malah memasang tarif yang tinggi untuk melindungi produsen Amerika. Setelah itu barulah Amerika Serikat menjadi salah satu negara dengan industri terkuat di dunia.{{sfn|Joseph|2011|pp=173}} Hal yang sama juga berlaku untuk [[Macan Asia Timur]], dan bahkan muncul dugaan bahwa jika [[Korea Selatan]] menghapuskan tarifnya sebelum ekonomi mereka tumbuh pesat, kemungkinan besar saat ini negara tersebut hanya akan menjadi negara miskin penghasil beras.{{sfn|Joseph|2011|pp=174}}
 
WTO turut digempur kritikan bahwa lembaga tersebut tidak demokratis. Pertama-tama, aturan WTO membatasi kemampuan negara untuk mengatur ekonominya, dan hal ini menyulitkan upaya negara untuk menegakkan keinginan rakyat. Selain itu, proses pengambilan keputusan di lembaga WTO dianggap kurang melibatkan lembaga swadaya masyarakat, padahal keputusan yang diambil di lembaga tersebut akan berdampak terhadap penghidupan banyak orang.{{sfn|Joseph|2011|pp=56-57}} Ditambah lagi proses perundingan di WTO seringkalisering kali dilakukan secara rahasia oleh kelompok-kelompok dengan kepentingan ekonomi tertentu, dan rakyat sendiri kurang diinformasikan soal kesepakatan-kesepakatan tersebut.{{sfn|Joseph|2011|pp=58}} Akibatnya, aturan-aturan WTO pun didominasi oleh kepentingan dagang, dan kepentingan lainnya (seperti [[hak asasi manusia]], [[hak-hak buruh|hak buruh]], dan pelestarian lingkungan hidup) cenderung dikesampingkan dan juga tidak terwakilkan dalam proses pengambilan keputusannya.{{sfn|Joseph|2011|pp=58-59}} Selain itu, negara-negara maju memiliki kekuatan untuk mendominasi proses perundingan di WTO. Walaupun keputusan diambil lewat konsensus, negara-negara kecil sulit dalam menantang negara-negara maju apabila terdapat ketidaksetujuan. Oleh sebab itu, negara-negara kecil pun sulit untuk mendapatkan perjanjian yang adil untuk kepentingan mereka.{{sfn|Joseph|2011|pp=62-63}} Hal ini semakin diperparah dengan kebiasaan perundingan di GATT yang tidak selalu melibatkan semuanya, contohnya keberadaan "ruang hijau" yang hanya melibatkan anggota-anggota yang diundang,{{sfn|Joseph|2011|pp=63}} walaupun pakar hukum WTO Peter Van den Bossche membantah kritikan bahwa WTO adalah "klub orang-orang kaya" karena saat ini negara-negara berkembang menjadi semakin terlibat dalam proses pengambilan keputusan dan persetujuan dari mereka sangat diperlukan demi kemulusan prosesnya.{{sfn|Van den Bossche & Zdouc|2017|pp=155}} Selain itu, dalam proses penyelesaian sengketa, negara maju lebih unggul daripada negara miskin dalam memulai sengketa dan juga dalam menegakkan putusan Panel atau Badan Banding. Sengketa di WTO memakan biaya yang besar dan membutuhkan tenaga-tenaga ahli. Kalaupun ada negara kecil yang berhasil memenangkan sengketa, tindakan balasan yang dapat mereka ambil tidak akan terlalu berdampak terhadap negara maju yang ekonominya jauh lebih besar, dan kadang negara maju bahkan dapat mengabaikan putusan yang tidak mereka sukai.{{sfn|Joseph|2011|pp=67}}
 
Ketimpangan antara negara maju dan negara berkembang terlihat jelas dalam sektor pertanian. Hukum WTO menuai kritikan pedas karena [[Perjanjian tentang Pertanian]] mengizinkan negara-negara maju untuk mempertahankan subsidi pertanian yang sangat merugikan negara-negara berkembang (contohnya adalah [[Kebijakan Pertanian Bersama]] di Uni Eropa). Akibat subsidi tersebut, negara-negara ini dapat menjual hasil yang berlebih ke pasar dunia dengan harga yang jauh lebih rendah, dan pada saat yang sama mereka menuntut agar negara-negara berkembang membuka pasar mereka. Alhasil para petani di negara-negara berkembang tidak dapat bersaing dengan produk pertanian negara-negara maju.{{sfn|Gonzalez|2002|pp=438}} Walaupun anggota WTO sudah sepakat untuk menghapuskan subsidi ekspor pertanian, negara-negara maju masih mempertahankan subsidi dan melindungi sektor pertanian mereka dengan hambatan-hambatan perdagangan, dan praktik ini menghalangi perkembangan industri pertanian di negara-negara berkembang. Pada saat yang sama, jika semua subsidi pertanian langsung dihapuskan, harga pangan bisa melejit, dan hal ini juga akan merugikan rakyat dan mengancam ketersediaan pangan. Maka dari itu, pakar hukum yang mengkritik WTO dari sudut pandang hak asasi manusia, Sarah Joseph, menyarankan agar subsidi ini dihapuskan secara bertahap agar pasar dapat menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi.{{sfn|Joseph|2011|pp=211-213}}