Hamengkubuwana I: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 87:
Perundingan dengan Hartingh mencapai kesepakatan. Mangkubumi mendapatkan setengah wilayah kerajaan [[Pakubuwana III]], sedangkan ia merelakan daerah pesisir disewa VOC seharga 20.000 real dengan kesepakatan 20.000 real dibagi dua;10.000 real untuk dirinya [[Mangkubumi]] dan 10.000 real untuk [[Pakubuwono III]].
 
Akhirnya pada tanggal 13 Februari 1755 dilakukan penandatanganan naskah [[Perjanjian Giyanti]] yang mengakui Mangkubumi sebagai Sultan Hamengkubuwana I. Wilayah kerajaan yang dipimpin [[Pakubuwana III]] dibelah menjadi dua. Hamengkubuwana I mendapat setengah bagian.Perjanjian Giyanti ini juga merupakan perjanjian persekutuan baru antara pemberontak kelompok Mangkubumi bergabung dengan Pakubuwono III dan [[VOC]] menjadi persekutuan untuk melenyapkan pemberontak kelompok Raden Mas Said.
 
Bergabungnya [[Mangkubumi]] dengan VOC dan [[Paku Buwono III]] adalah permulaan menuju kesepakatan pembagian Mataram menjadi Surakarta dan Yogyakarta. Dari persekutuan ini dapat dipertanyakan; Mengapa [[Mangkubumi]] bersedia membagi Kerajaan Mataram sedangkan persellisihan dengan menantunya Raden Mas Said berpangkal pada supremasi kedaulatan Mataram yang tunggal dan tidak terbagi? Dari pihak VOC langsung dapat dibaca bahwa dengan pembagian Mataram menjadikan [[VOC]] keberadaannya di wilayah Mataram tetap dapat dipertahankan. [[VOC]] mendapat keuntungan dengan pembagian Mataram.
 
== Mendirikan Yogyakarta ==
 
Sejak Perjanjian Giyanti wilayah kerajaan Mataram dibagi menjadi dua. [[Pakubuwana III]] tetap menjadi raja di [[Surakarta]], [[Mangkubumi]] dengan gelar Sultan Hamengkubuwana I menjadi raja di [[Yogyakarta]].Mangkubumi sekarang sudah memiliki kekuasaan dan menjadi Raja maka tinggal kerajaan tempat untuk memerintah belum dimilikinya.Untuk mendirikan Keraton/Istana Mangkubumi kepada [[VOC]] mengajukan uang persekot sewa pantai utara Jawa tetapi [[VOC]] saat itu belum memiliki yang diminta oleh Mangkubumi.
 
Pada bulan [[April]] [[1755]] Hamengkubuwana I memutuskan untuk membuka Hutan Pabringan sebagai ibu kota Kerajaan yang menjadi bagian kekuasaannya . Sebelumnya, di hutan tersebut pernah terdapat pesanggrahan bernama Ngayogya sebagai tempat peristirahatan saat mengantar jenazah dari [[Surakarta]] menuju [[Imogiri]]. Oleh karena itu, ibu kota baru dari Kerajaan yang menjadi bagiannya tersebut pun diberi nama [[Ngayogyakarta Hadiningrat]], atau disingkat [[Yogyakarta]].
 
Sejak tanggal [[7]] [[Oktober]] [[1756]] Hamengkubuwana I pindah dari desa Banaran [[Kabupaten Sragen]] menuju [[Yogyakarta]]. Seiring berjalannya waktu nama [["Yogyakarta]]" sebagai ibu kota kerajaannya menjadi lebih populer. Kerajaan yang dipimpin oleh Hamengkubuwana I kemudian lebih terkenal dengan nama [[Kesultanan Yogyakarta]].
 
== Usaha Menaklukkan Surakarta ==
Baris 103:
Hamengkubuwana I meskipun telah berjanji damai namun tetap saja berusaha ingin mengembalikan kerajaan warisan [[Sultan Agung]] menjadi utuh kembali. [[Surakarta]] memang dipimpin [[Pakubuwana III]] yang lemah namun mendapat perlindungan [[Belanda]] sehingga niat Hamengkubuwana I sulit diwujudkan, apalagi masih ada kekuatan ketiga yaitu [[Mangkunegoro I]] yang juga tidak senang dengan Kerajaan yang terpecah, sehingga cita cita menyatukan kembali Mataram yang utuh bukan monopoli seorang saja.
 
Pada tahun [[1788]] [[Pakubuwana IV]] naik takhta. Ia merupakan raja yang jauh lebih cakap daripada ayahnya. [[Paku Buwono IV]] sebagai penguasa memiliki kesamaan dengan Hamengku Buwono I.[[Paku Buwono IV]] juga ingin mengembalikan keutuhan Mataram.Dalam langkah politiknya [[Paku Buwono IV]] mengabaikan Yogyakarta dengan mengangkat saudaranya menjadi Pangeran Mangkubumi, hal yang menyebabkan ketegangan dengan Hamengku Buwono I.Setelah pengangkatan saudaranya menjadi Pangeran, [[Paku Buwono IV]] juga tidak mengakui hak waris tahta putra Mahkota di Yogyakarta. Pihak [[VOC]] resah menghadapi raja baru tersebut karena ancaman perang terbuka bisa menyebabkan keuangan VOC terkuras kembali.
 
[[Paku Buwono IV]] mengambil langkah konfrontatif dengan Yogyakarta dengan tidak mau mencabut nama "Mangkubumi" untuk saudaranya.Memang dalam [[Perjanjian Giyanti]] tidak diatur secara permanen soal suksesi Kasultanan Yogyakarta, sehingga sikap konfrontatif [[Paku Buwono IV]] ini dapat dimengerti bahwa penguasa Surakarta memahami tanggung Jawab Kerajaan.
 
Sikap konfrontatif [[Paku Buwono IV]] ini beriring dengan munculnya penasihat penasihat spiritual yang beraliran keagamaan dan ini yang meresahkan [[VOC]] dan dua penguasa lainnya, karena ancaman perang yang meluluh lantahkan Jawa bisa terulang kembali.
 
Pada tahun [[1790]] Hamengkubuwana I dan [[Mangkunegara I]] (alias [[Mas Said]]) kembali bekerja sama untuk pertama kalinya sejak zaman pemberontakan dulu. Mereka bersama [[VOC]] bergerak mengepung [[Pakubuwana IV]] di [[Surakarta]] karena [[Paku Buwono IV]] memiliki penasihat penasihat Spiritual yang membuat khawatir [[VOC]]. [[Pakubuwana IV]] akhirnya menyerah untuk membiarkan penasihat penasihat spiritualnya dibubarkan oleh [[VOC]].Ini adalah kerja sama dalam kepentingan yang sama yaitu mencegah bersatunya penasihat spiritual dengan golongan Ningrat yang merupakan ancaman potensial pemberontakan kembali.
 
Hamengkubuwana I pernah berupaya agar putranya dikawinkan dengan putri [[Paku Buwono III]] raja [[Surakarta]] dengan tujuan untuk bersatunya kembali Mataram namun gagal. [[Pakubuwana IV]] yang merupakan waris dari [[Paku Buwono III]] lahir untuk menggantikan ayahnya.
 
== Sebagai Pahlawan Nasional ==
Hamengkubuwana I meninggal dunia tanggal [[24 Maret]] [[1792]]. Kedudukannya sebagai raja [[Yogyakarta]] digantikan putranya yang bergelar [[Hamengkubuwana II]].
 
Hamengkubuwana I adalah peletak dasar-dasar [[Kesultanan Yogyakarta]]. Ia dianggap sebagai raja terbesar dari keluarga [[Mataram]] sejak [[Sultan Agung]]. [[Yogyakarta]] memang negeri baru namun kebesarannya waktu itu telah berhasil mengungguli [[Surakarta]]. Angkatan perangnya bahkan lebih besar daripada jumlah tentara [[VOC]] di [[Jawa]].
 
Hamengkubuwana I tidak hanya seorang raja bijaksana yang ahli dalam strategi berperang, tetapi juga seorang pecinta keindahan. Karya arsitektur pada jamannya yang monumental adalah [[Taman Sari]] [[Keraton Yogyakarta]].[[Taman Sari]] di rancang oleh orang berkebangsaan Portugis yang terdampar di laut selatan dan menjadi ahli bangunan Kasultanan dengan nama Jawa [[Demang Tegis]].
 
Meskipun permusuhannya dengan [[Belanda]] berakhir damai namun bukan berarti ia berhenti membenci bangsa asing tersebut. Hamengkubuwana I pernah mencoba memperlambat keinginan [[Belanda]] untuk mendirikan sebuah benteng di lingkungan [[keraton Yogyakarta]]. Ia juga berusaha keras menghalangi pihak [[VOC]] untuk ikut campur dalam urusan pemerintahannya. Pihak [[Belanda]] sendiri mengakui bahwa perang melawan pemberontakan Pangeran Mangkubumi adalah perang terberat yang pernah dihadapi [[VOC]] di [[Jawa]] (sejak [[1619]] - [[1799]]).
 
Rasa benci Hamengkubuwana I terhadap penjajah asing ini kemudian diwariskan kepada [[Hamengkubuwana II]], raja selanjutnya. Maka, tidaklah berlebihan jika pemerintah [[Republik Indonesia]] menetapkan Sultan Hamengkubuwana I sebagai [[pahlawan nasional]] pada tanggal [[10]] [[November]] [[2006]] beberapa bulan sesudah gempa melanda wilayah Yogyakarta.<ref name="pahlawan">[http://www.indonesia.go.id/index.php/content/view/2585/701/ Profil Sembilan Orang Pahlawan Nasional], 10 November 2006</ref>
<ref name="pahlawan">[http://www.indonesia.go.id/index.php/content/view/2585/701/ Profil Sembilan Orang Pahlawan Nasional], 10 November 2006</ref>
 
== Referensi ==