Suku Angkola: Perbedaan antara revisi

[revisi tidak terperiksa][revisi tidak terperiksa]
Konten dihapus Konten ditambahkan
Yandi Septiadi (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Yandi Septiadi (bicara | kontrib)
k Penambahan informasi
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 8:
 
'''Suku Batak Angkola''' adalah salah satu sub-etnis dari [[Suku Batak|Suku Bangsa Batak]], di samping [[Suku Batak Toba|Batak Toba]], [[Suku Karo|Batak Karo]], [[Batak Pakpak]], [[Batak Simalungun]], dan [[Batak Mandailing]]. Tanah ulayat Suku Batak Angkola berada di wilayah geografis Tapanuli bagian selatan (tabagsel) yang meliputi [[Kabupaten Tapanuli Selatan]], [[Kabupaten Padang Lawas]], [[Kabupaten Padang Lawas Utara]], [[Kota Padangsidimpuan]], dan sebagian [[Kabupaten Mandailing Natal]]. Suku Batak Angkola memiliki hubungan yang sangat erat hubungan kekerabatan marga-marga ([[Tarombo Batak|Tarombo]]) [[Suku Batak Toba|Batak Toba]] dan juga memiliki kekerabatan yang kuat dengan [[Batak Mandailing]] disebabkan adanya persamaan bahasa, budaya, dan agama yang dianut sebagian besar masyarakatnya.
 
Selama ini banyak orang menganggap penduduk asli Tapanuli Selatan (Sumatera Utara) semuanya etnis Mandailing dan sebagian Batak. Anggapan ini sangat keliru. Tapanuli Selatan sebelum pemekaran wilayah menjadi Tapanuli Selatan (ibukota Padangsidimpuan, kemudian Sipirok). Mandailing Natal (beribukota Panyabungan). Sejak dahulu kala dihuni oleh penduduk asli yang terdiri dari Etnis Angkola dan Mandailing.
 
Etnis Angkola mayoritas mendiami Tapanuli Selatan sekarang, ditandai dengan dominasi Marga Harahap dan Siregar. Mandailing memang mayortias mendiami daerah Mandailing Natal yang sekarang, dengan dominasi marga Masution dan Lubis.
 
Dalam sejarah Tapanuli Selatan dijelaskan, Angkola mengandung dua arti penting. Angkola bisa diartikan sebagai suatu wilayah, teritori atau daerah. Makna lain, Angkola adalah sebuah Etnik berdiri sendiri dan asli di Sumatera Utara ini.
 
Sejarah mencatat, sebelum Indonesia merdeka, Wilayah Pemerintahan di Tapanuli Selatan dahulunya bernama Afdeling. Dipimpin oleh sorang Residen dengan pusat Pemerintahan Padangsidimpuan. Membawahi 3 Onder Afdeling dan masing-masing dipimpin oleh controlleur, seterusnya membawahi Onder Distrik dipimpin oleh Asisten Demang.    
 
Onder Afdeling di bawah Afdeling, antara lain Angkola dan Sipirok berpusat di Padangsidimpuan. Onder Afdeling Padang Lawas di Sibuhuan dan Onder Afdeling Mandailing di Kota Nopan.
 
Selanjutnya Onder Afdeling yang membawahi Onder Distrik.  Angkola, membawahi 3 Distrik masing-masing Angkola dengan pusat Padangsidimpuan, Batang Toru di Batang Toru dan Distrik Sipirok di Sipirok. Onder Distrik ini membawahi pula Luhat/Kuria yang dipimpin oleh Kepala Kuria.
 
Sebelum kemerdekaan, ketiga Onder Afdeling yang ada, sama kedudukannya dengan kabupaten yang dipimpin oleh Bupati. Setelah pemulihan kekuasaan tahun 1949, seluruhnya digabung menjadi satu Kabupaten dengan pusat pemerintahan di Padangsidimpuan.
 
Dalam pemerintahan sekarang, Onder Afdeling Angkola sebelumnya terdiri dari tiga Onder Distrik dan beberapa Kekuriaan, berkembang menjadi beberapa kecamatan. Seperti Kuria Sipirok telah dipecah/dimekarkan menjadi beberapa Kecamatan, antara lain Sipirok, Arse (pemekaran dari Sipirok), Padangsidimpuan Timur,  Saipar Dolok Hole dan Aek Bilah (pemekaran dari Saipar Dolok Hole), Batang Angkola, Sayur Matinggi, Sigalangan, hingga ke Batang Toru dengan beberapa pemekarannya, sampai kecamatan Dolok, ibukotanya Sipiongot.
 
'''Angkola adalah Etnik'''
 
Jauh sebelum penjajah Belanda menjejakkan kaki di bumi persada ini, telah ada penduduk yang mendiami wilayah Angkola. Diperkirakan 9000 tahun sebelum masehi. Itulah yang dinamakan Etnik Angkola (asli Angkola, bukan pecahan atau yang memisahkan diri dari Etnik lain).
 
Terbukti dengan adanya kerajaan-kerajaan seperti Sabungan (di kaki Lubuk Raya), Batunadua, Sipirok/Parau Sorat, Siala Gundi, Muara Tais, Batang Toru sekitarnya, Batarawisnu, Mandalasena, dan lain-lain.
 
Etnik Angkola memiliki ciri tersendiri, seperti :
 
- Falsafah dasar “Dalihan Na Tolu”, sebagai tatanan/pandangan hidup sampai saat ini tetap dipedomani,
 
- Adat Istiadat Budaya,
 
- Pakaian Adat Tenunan sendiri di Sipirok,
 
- Bahasa dengan Aksara.  Bahasa yang kaya dengan tingkatan penggunaannya; bahasa Biasa (digunakan dalam komunikasi sehari-hari), Andung (bahasa halus), Bura (bahasa Kasar) atau yang lainnya dapat diperdalam melalui Impola ni Hata. Aksara Angkola dengan tulisan tersendiri. Jika dibaca menurut ejaan Latin adalah A, HA, MA, NA, RA, TA, I, JA, PA, U, WA, SA, DA,BA, LA, NGA, KA, CA, NYA, GA, YA (Konsonan Ina ni Surat). Dilengkapi  dengan symbol yang menandakan perubahan bunyi Vokal  E, I, O dan U serta symbol pembatas disebut Pangolat  menandakan huruf mati, misalnya NGA menjadi NG, dan lain-lainnya. Bentuk huruf/abjadnya jelas ada tersendiri lain dari aksara etnik lainnya.
 
- Mempunyai Kesenian dan Alat-alatnya.
 
- Ornamen khas.
 
- Tutur (adab panggilan), dalam pergaulan sehari-hari mempunyai tidak kurang dari 135 jenis Tutur/Sapaan.
 
- Buku Adat Budaya Angkola (lengkap) ditulis oleh Stn. Tinggibarani Siregar dan lain-lain ciri khas kebudayaannya, telah dianut secara turun temurun.
 
Bahasa dan Aksara Angkola dahulu dipergunakan menjadi salah satu mata pelajaran disekolah SD dan SMP/sederajat diseluruh Tapanuli Selatan, baik pelajaran Tata Bahasa (Impola ni Hata), Bahan Bacaan (Turi-turian) dan lain-lain dipergunakan adalah versi Angkola, dengan berbagai macam bahan/pedoman hidup bermasyarakat, sebagai dasar dalam berbudi pekerti.
 
Dari segi garis keturunan yang menerapkan system Patrilineal, masyarakat Angkola ditandai dengan Marga/Clan yang dominan seperti Harahap, Siregar, Pane dengan rumpun marganya masing-masing,  seluruhnya mendiami ketiga onder distrik tersebut.
 
Dilihat dari segi falsafah Dalihan na Tolu, hubunan kekeluargaan Etnik  Angkola dibagi kepada; 1. Mora, pihak keluarga pemberi boru. Mora ini mendapat posisi didahulukan karena pihak Mora dalam hubungan kekeluargaan memiliki posisi yang sangat dihormati, di samping Raja-Raja  maupun Pemangku Adat; 2. Suhut dengan Kahanggi, keluarga yang mempunyai hajatan atau horja adat, termasuk di dalamnya Suhut selaku Tuan Rumah; 3. Anak Boru, yaitu pihak keluarga pemberian Boru (pangalehenan Boru).
 
Di dalam pelaksanaan sesuatu pekerjaan adat, masing-masing unsur Dalihan na Tolu, masih mempunyai teman kelompok (sajuguhan=sebarisan) seperti Mora dengan Mora ni Mora (biasa juga disebut Hula Dongan, Kahanggi/Suhut dengan Pariban (saudara/keluarga sepengambilan) dan Anak Boru bersama dengan Anak Borunya yaitu Pisang Raut yang sering juga disebut Piso Pangarit.
 
'''Kurang Dikenal'''
 
Banyak orang cukup mengenal kata Angkola, mengenal Sipirok, tetapi lebih banyak yang kurang mengenal Etnis Angkola. Hal ini antara lain disebabkan:
 
1. Adanya anggapan semua penduduk Tapanuli selatan suku Mandailing.
 
2. Tentang Angkola, sebab terbatasnya penutur sejarah budaya Angkola.
 
3. Kurangnya minat generasi mempelajari sejarah asal-muasal.
 
4. Terhadap adat istiadat dan budaya.
 
Tidaklah diragukan jika pada umumnya orang Tapanuli Selatan seluruhnya (etnik aslinya) dianggap orang Mandailing. Padahal orang Mandailing sendiri tidak pernah menganggap atau menyamakan orang Angkola dengan orang Mandailing. Meskipun dalam adat istiadat budayanya ada persamaan, namun tetap ada perbedaan yang tak perlu dipertentangkan.