Rahmah El Yunusiyah: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 57:
Gempa bumi mengakibatkan kegaiatan belajar-mengajar Diniyah Putri berhenti. Gedung dan peralatan mengajar hancur. Bersama separuh penduduk Padangpanjang, seluruh murid Diniyah Putri mengungsi keluar kota.{{sfn|Hadler|2008|pp=141}}{{sfn|Peringatan 55 Tahun...|1978|pp=181}} Ia menyaksikan orang-orang meninggalkan Padangpanjang "seolah-olah sekumpulan kafilah di gurun Sahara, berbondong-bondong membawa bebannya masing-masing."{{sfn|Peringatan 55 Tahun...|1978|pp=274}} 40 hari setelah gempa bumi, Rahmah beserta para guru mendirikan kelas darurat, dibantu oleh murid-murid Thawalib kembali secara gotong royong. Kelas dibangun di atas sebidang tanah wakaf dari ibunya, terbuat dari bambu dengan atap daun rumbia berlantaikan tanah. Sambil melanjutkan kegiatan belajar-mengajar di kelas darurat, para guru beserta para wali murid membentuk komite untuk mencari dana pembangunan kembali gedung pembelajaran Diniyah Putri.{{sfn|Peringatan 55 Tahun...|1978|pp=182}} Rahmah memimpin penggalangan dana ke dalam dan luar Minangkabau. Dari hasil penggalangan dana, pembangunan gedung permanen dapat dimulai pada Desember 1927 dan ditempati pada Oktober 1928. Gedung baru terdiri dari dua tingkat dan merupakan gedung utama yang masih berdiri sampai saat ini.{{sfn|Peringatan 55 Tahun...|1978|pp=45}}
[[Berkas:Diniyah Putri 2019.jpg|al=|kiri|jmpl|250x250px|Gedung Kulliyyatul Mualimat el Islamiyyah (KMI) Diniyah Putri, saat ini bertransformasi menjadi [[madrasah aliyah]].]]
Diniyah Putri memiliki sedikitnya 200 murid pada 1928. Jumlah itu, sebagaimana dicatat oleh [[Deliar Noer]], bertambah menjadi 300 pada 1933 dan 400 pada 1935.{{sfn|Kahin|2005|pp=109}} Seorang lulusan Diniyah Putri [[Aishah Ghani]] menyebut kehidupan Diniyah Putri sangat terkungkung dan diawasi secara ketat. "Mereka benar-benar mempersiapkan murid-murid perempuan menjadi perempuan, dengan mengajarkan menenun, ilmu kerumahtanggan, dan membuat murid-murid mengetahui segala sesuatu dan memiliki rasa tanggung jawab."{{sfn|Kahin|2005|pp=111}} Pada 1935, Diniyah Putri membuka cabangnya di Jakarta yang membina tiga sekolah dengan bantuan beberapa pedagang asal Minangkabau dan lulusan lembaga pendidikan agama di Padangpanjang. Seiring meningkatnya kebutuhan tenaga pengajar, Rahmah membuka ''[[Kulliyyatul Mualimat el Islamiyyah]]'' (KMI) pada 1 Februari 1937 sebagai sekolah guru untuk putri dengan lama pendidikan tiga tahun.{{sfn|Peringatan 55 Tahun...|1978|pp=48}} Sebelum pendudukan Jepang, Diniyah Putri telah memiliki 500 murid pada 1941. Saat pendudukan Jepang, Diniyah Putri di Padangpanjang sempat menjadi tempat perawatan korban kecelakaan, sedangkan cabang Diniyah Putri di Jakarta ditutup.{{sfn|Noer|1991|pp=62{{spaced ndash}}65}}
 
Pada 1947, dalam rangka menyesuaikan pembagian jenjang pendidikan yang ada di Indonesia, Diniyah Putri dibagi ke dalam Diniyah Rendah dan Diniyah Menengah Pertama. Diniyah Rendah setara SD dengan lama pendidikan tujuh tahun, sedangkan Diniyah Menengah Pertama setara SLTP dengan lama pendidikan berdasarkan peruntukkannya. DMP-B dengan lama pendidikan empat tahun diperuntukkan bagi lulusan SD. Lulusannya disetarakan dengan SLTP dan dipersiapkan untuk melanjutkan ke KMI atau perguruan lanjutan lainnya. Adapaun DMP-C dengan lama pendidikan dua tahun diperuntukan bagi tamatan SLTP yang tidak sempat mendalami agama dan bahasa Arab pada jenjang pendidikan sebelumnya. Lulusan DMP-C dapat melanjutkan pendidikan ke KMI sebagaimana lulusan DMP-B.{{sfn|Peringatan 55 Tahun...|1978|pp=47}}{{sfn|Peringatan 55 Tahun...|1978|pp=48}}
Baris 74:
Pada 1931, [[Muchtar Lutfi|Muchtar Lutfhi]] pernah mendekati Rahmah, mengajak Diniyah Putri bernaung di bawah Permi.{{sfn|Peringatan 55 Tahun...|1978|pp=279}} Sebelumnya, alumni Universitas Cairo [[Mahmud Yunus]] melihat, modernisasi sekolah agama berkembang pesat tetapi tidak ada keseragaman program atau buku standar yang digunakan. Ia membawakan gagasannya untuk menggabungkan seluruh sekolah dan perguruan agama ke dalam suatu wadah tunggal yang memiliki kekuatan di bawah Permi.{{sfn|Munawaroh|2002|pp=22}} Rahmah menolak Diniyah Putri bergabung. Menurutnya, lebih baik memelihara satu saja tapi terawat daripada bergabung tapi porak poranda. "Jika terjadi sesuatu dengan wadah tersebut, tidak perlu pula seluruh sekolah yang dinaunginya bubar." Ketika Permi membentuk Dewan Pengajaran Permi untuk menyatukan pelajaran sekolah-sekolah Islam, Rahmah membuat wadah sendiri bagi pengajar Diniyah Putri bernama Perserikatan Guru-Guru Agama Putri Islam (PGAPI) pada 1933.{{sfn|Munawaroh|2002|pp=23}}
 
Kiprah Rahmah di jalur pendidikan membuatnya mendapatkan perhatian luas. Ketika pemerintah kolonial berencana memberlakukan [[Ordonansi Sekolah Liar]]{{sfn|Noer|1991|pp=202}} yang akan mengakibatkan sekolah tak berizin dari pemerintah ditutup, Rahmah memimpin panita penolakan di Padangpanjang pada 1933. Namun, sewaktu memimpin Rapat Umum Kaum Ibu Padangpanjang, ia dituduh membicarakan politik sehingga mengakibatkannya didenda 100 gulden oleh pengadilan. Pada tahun yang sama, Belanda melalui Politieke Inlichtingen Dienst menggeledah Diniyah Putri. Tiga orang guru Diniyah Putri: Kanin RAS, Chasjiah AR, dan Siti Adam Addarkawi dikenakan larangan mengajar.{{sfn|Peringatan 55 Tahun...|1978|pp=47}}{{sfn|Peringatan 55 Tahun...|1978|pp=184}} Pada 1935, ia diundang mengikuti Kongres Perempuan Indonesia di [[Batavia]] sebagai utusan Serikat Kaum Ibu Sumatra (SKIS). DalamDi kongressana, ia mengemukakan idenya untuk mengembangkan pendidikan agama ke berbagai kota. Idenya mendapat sambutan sehingga, dengan bantuan beberapa pedagang asal Minangkabau dan lulusan lembaga pendidikan agama di Padangpanjang, ia dapat membuka cabang Diniyah Putri di Kwitang dan Tanah Abang pada 2 dan 7 September 1936.<ref>https://books.google.co.id/books?id=uYV7DwAAQBAJ&pg=PA72&dq=%22RAHMAH+EL%22+kongres&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwiq4vb_yqLmAhUScCsKHUT8BKAQ6AEIKDAA#v=onepage&q=%22RAHMAH%20EL%22%20kongres&f=false</ref> Selain itu, Rahmah dalam kongres memperjuangkan penggunaan ciri khas budaya Islam ke dalam kebudayaan Indonesia seperti penggunaan kerudung dalam busana perempuan.{{sfn|Munawaroh|2002|pp=24}} Pada 1938, ia hadir dalam rapat umum di [[Bukittinggi]] untuk menentang Ordonansi Kawin Bercatat. Pada April 1940, Rahmah menghadiri undangan Kongres Persatuan Ulama Seluruh Aceh di [[Kota Banda Aceh|Kotaraja, Aceh]]. Ia dipandang oleh ulama-ulama Aceh sebagai ulama perempuan terkemuka di Sumatra.
 
== Pendudukan Jepang ==