Jilbab di Indonesia: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 21:
[[Berkas:Women in dormitory of Sekolah Tinggi Islam, Bukittinggi, Wanita di Indonesia p75 (Komisariat Agung).jpg|Murid-murid Sekolah Guru dan Hakim Agama (SGHA, kini MA Negeri 2 Bukittinggi) di Bukittinggi pada 1950|jmpl|kiri|300px]]
 
Gerakan yang dipelopori oleh ‘Kaoem Moeda’ ini menggemakan kembali kewajiban jilbab di masyarakat Minangkabau. Syaikh [[Abdul Karim Amrullah]] yang biasa dikenal dengan nama Haji Rasul ini, amat vokal menyuarakan kewajiban wanita Muslim menutup aurat. Menurutnya, aurat wanita itu seluruh tubuh.<ref name="auto"/> Ayah [[Buya Hamka]] ini mengkritik keras kebaya pendek khas Minangkabau. Kritik beliau dapat kita lihat dalam bukunya, ''[[Cermin Terus]]''. Kritik keras terhadap pakaian wanita ini kemudian menjadi polemik di masyarakat.<ref>Ali Tantowi, Ibid</ref>
 
Diceritakan oleh [[Buya Hamka]] dalam bukunya yang berjudul “Ayahku; Riwayat Hidup Dr H Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatra”, bahwa ayahnya menentang kebaya pendek itu karena tidak sesuai dengan hadits Nabi dan pendapat ulama-ulama. Memang, lanjut Buya, ada kebaya pendek yang sengaja digunting untuk menunjukkan pangkal payudara.<ref>Hamka, Ayahku Riwayat Hidup Dr H Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatra, Umminda:Jakarta, 1982, hlm. 192</ref>