Arsitektur Minangkabau: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 53:
[[Berkas:Seribu Rumah Gadang.jpg|jmpl|300x300px|Suasana permukiman Minangkabau di Nagari Koto Baru atau kini dikenal sebagai [[Kawasan Seribu Rumah Gadang]]. Sebuah permukiman baru dapat dikatakan sebagai nagari apabila di dalamnya sudah terdapat balai adat dan masjid.]]
 
Permukiman masyarakat Minangkabau dikenal sebagai ''[[nagari]]''. Nagari memiliki teritorial beserta batasnya serta mempunyai struktur politik dan aparat hukum tersendiri. Nagari terbentuk setelah melalui tahapan penggabungan satuan permukiman dengan lingkup yang lebih kecil. Permukiman terkecil disebut dengan ''taratak''. Taratak berasal kata dari kata “tatak”, yang berarti membuat daerah baru untuk dijadikan sebagai tempat tinggal. Taratak dihuni oleh beberapa keluarga dalam satu suku yang sama. Gabungan dari beberapa taratak akan membentuk ''dusun''. Dalam dusun, sudah mulai dibuka lahan pertanian. Perluasan dusun akan membentuk ''koto''. Koto dihuni oleh berbagai kelompok suku. Seiring perkembangan koto, maka muncul kebutuhan untuk membentuk nagari sebagai sistem pemerintahan.{{sfn|Gemala Dewi|2010|pp=13–14}}
 
Menurut adat Minangkabau, terdapat beberapa kriteria terbentuknya nagari, yakni adanya kelengkapan sarana seperti balai adat dan masjid.{{sfn|Gemala Dewi|2010|pp=14}}{{sfn|Syafwandi|1993|pp=19}} Balai adat merupakan tempat bermusyawarah dalam memutuskan segala urusan, terutama yang berkaitan dengan adat, sementara masjid merupakan bangunan yang digunakan sebagai tempat beribadah. Dalam perkembangannya, kebutuhan akan kedua bangunan tersebut menjadi bagian dari perjalanan arsitektur tradisional Minangkabau.{{sfn|Syafwandi|1993|pp=21–22}}