Siti Ruhaini Dzuhayatin: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Wahyu hdy (bicara | kontrib)
Baris 2:
 
 
{{Infobox Officeholder}}'''Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, MA''' lahir di [[Kabupaten Blora]], [[Jawa Tengah]] 17 Mei 1963; umur 56 tahun adalah ahli studi gender, aktivis perempuan, peneliti, akademisi, pemerhati Islam, hak asasi manusia dan demokrasi. Menjadi

== Karier ==
Ia merupakan dosen Sosiologi Hukum, Hukum dan HAM, Hukum dan Gender di Fakultas Syariah dan Hukum serta Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Selain itu juga mengajar mata kuliah serupa di Fakultas Hukum UGM, Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) UGM dan Universitas lainnya di Indonesia serta di Luar Negeri seperti Emory University, South Carolina University dan lainnya.
 
Pernah menjadi peneliti senior di Pusat Studi Kebijakan dan Kependudukan (PSKK) UGM tahun 1999-2002. Penerima Beasiswa AIDAB Australia pada tahun 1991-1993; Human Right Covumentation Training, Manila, Philipina, 1994, Women Fellowship di McGill University Canada, 1998, Islam and Human Right Fellowship, Emory University, 2003-2004, Gender and Conflict Resolution, Ulster University, Irlandia Utara dan British Council , Manchester serta Human Right Mechanism training di Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Jenewa dan New York tahun 2012. Secara struktural, perempuan gigih ini pernah menduduki jabatan Wakil Rektor Bidang Kemahasiwaan dan Kerjasama, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 2014-2016 dan terus gigih berusaha memecahkan 'atap kaca' rektor yang selama ini di dominasi laki-laki.
<br />
 
== Kehidupan ==
 
 
Kesadaran awal tentang kemandirian dan kesetaraan perempuan diperoleh dari ibunya, seorang guru dan kepala sekolah dasar yang secara sederhana menagatakan: ''“Wong wedok kudu duwe duit dhew''e. ''Paling ora kanggo kebutuhane dhewe''. ''Dadi, yen arep tuku weda''k, ''ora kudu njalok bojo. Ben ora disepeleake mergo kabeh nggantungake urip nang bojo'' (Perempuan harus punya uang sendiri, minimal untuk kebutuhan sendiri. Jadi, mau beli bedak tidak perlu minta suami. Biar tidak disepelekan karena bergantung hidup sepenuhnya pada suami)” . Kesadaran tentang pentingnya kesetaraan laki-laki dan perempuan tumbuh dalam tradisi pesantren di Pondok Pesantren Pabelan Magelang, dimana ia menuntut ilmu keislaman. Keterbukaan berfikir di Pabelan menumbuhkan pemikiran kritis terhadap beberapa interpretasi dan pemahaman Islam yang menyiratkan perbedaan dan sering berakibat merendahkan posisi perempuan. Ia tidak percaya bahwa Islam merendahkan perempuan meski praktek sosial memunculan kisah-kisah pilu perempuan dalam poligami, perceraian serta masalah-masalah lainnya.
 
Dibesarkan dalam keluarga Muhammadiyah yang moderat, keluarga besar Muhamamdiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) dan latar belakang pendidikan Pesantren yang modern yang terbuka dalam menghargai perbedaan madzhab, kelompok dan bahkan perbedaan agama telah membentuk pandangan yang moderat, inlkusif dan terlibat (engage) terhadap masalah toleransi, masalah perempuan dan masalah sosial lainnya. Kekuatannya dalam menelaah khazanah kitab-kitab Islam klasik dipadukan secara sinergis, kritis dan konstruktif dengan ilmu-ilmu sosial kontemporer dari studi Master di Monash University Australia dan doktoral di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Kekuatan integrasi dan sinergi Keislaman dan ilmu sosial, termasuk studi gender menjadikannya figur terkemuka pada awal 1990an dalam meredakan ketegangan antara feminisme Barat dan isu-isu perempuan dalam Islam.