Khalifah: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
LaninBot (bicara | kontrib)
k ibukota → ibu kota
kTidak ada ringkasan suntingan
Baris 10:
Fungsi khalifah sebagai kepala negara lenyap seiring jatuhnya Baghdad oleh Mongol pada 1258. Keturunan Abbasiyah yang tersisa melanjutkan tampuk kekhalifahan di Mesir yang saat itu di bawah kekuasaan [[Kesultanan Mamluk (Kairo)|Kesultanan Mamluk]]. Tanpa wilayah kekuasaan dan kekuatan politik yang memadai, khalifah hanya berperan sebagai pemersatu umat Islam secara simbolis sehingga khalifah pada periode ini dikenal sebagai "khalifah bayangan."
 
Setelah Kesultanan Mamluk ditaklukkan oleh Kesultanan Utsmani pada 1517, pemimpin Utsmani mengambil gelar khalifah untuk mereka sendiri. Gelar khalifah terbatas hanya sebagai pemimpin simbolis dunia Islam setelah 1258 dan hal itu tetap tidak berubah pada masa Utsmani. Para penguasa Utsmani memiliki kekuasaan karena kedudukan mereka sebagai sultan dan ''padisyah'' (kaisar), bukan karena status mereka sebagai khalifah. Pada praktiknya, para penguasa Utsmani terbilang sangat jarang menggunakan gelar khalifah (pemimpin umat Islam) mereka dalam perpolitikan dalam dan luar negeri dan lebih sering menggunakan status mereka sebagai sultan dan ''padisyah'' (kepala negara Utsmani). Gelar khalifah mulai digunakan penguasa Utsmani pada saat [[Perjanjian Küçük Kaynarca]], untuk menegaskan kedudukannya sebagai pelindung umat Islam di Rusia. Sultan AbdülAbdul Hamid II merupakan penguasa Utsmani yang paling sering menggunakan gelar khalifah dalam upayanya menggalang persatuan di dunia Islam untuk menghadapi imperialisme Barat.
 
Pada November 1922, Majelis Agung Nasional Turki membubarkan Kesultanan Utsmani dan sultan terakhirnya, Mehmed VI, diasingkan ke Malta. Meski begitu, [[Mustafa Kemal Atatürk|Mustafa Kemal (Atatürk)]] belum berani membubarkan kekhalifahan demi menjaga dukungan masyarakat, juga karena kekhalifahan adalah lambang pemersatu umat Islam Sunni seluruh dunia, berbeda dengan Kesultanan Utsmani yang merupakan sebatas negara. [[Majelis Agung Nasional Turki]] kemudian mengangkat sepupu Mehmed VI sebagai Khalifah AbdülAbdul Mejid II pada 19 November 1922. AbdülAbdul Mejid II merupakan satu-satunya khalifah dari Wangsa Utsmani yang tidak merangkap sebagai sultan. Namun karena khawatir AbdülAbdul Mejid II akan menggunakan statusnya sebagai khalifah untuk campur tangan dalam urusan dalam dan luar negeri Turki sebagaimana yang dilakukan para Sultan Utsmani terdahulu, Majelis Agung Nasional Turki akhirnya membubarkan kekhalifahan pada 3 Maret 1924, menjadikan AbdülAbdul Mejid II sebagai khalifah terakhir. Negara-negara Muslim mempertanyakan keabsahan pembubaran kekhalifahan oleh pihak Turki dan terdapat beberapa pertemuan para tokoh Muslim terkait keberlangsungan kekhalifahan, tetapi tidak ada kesepakatan bersama yang dapat dicapai.
 
Khalifah berbeda dengan [[sultan]]. Bila khalifah merupakan pemimpin seluruh umat Islam (baik secara hierarkis atau hanya sekadar simbolis), sultan merupakan kepala dari suatu negara Muslim tertentu dan bukan pemimpin umat Muslim secara keseluruhan. Kedua gelar ini kerap disamakan di masa-masa sekarang, sangat mungkin lantaran penguasa Utsmani (negara adidaya Muslim terakhir pada milenium kedua) memegang kedua gelar ini secara bersamaan. Penguasa Utsmani merupakan seorang sultan dalam kapasitasnya sebagai kepala negara Utsmaniyah dan sebagai khalifah dalam artian pemimpin simbolis seluruh umat Islam.
Baris 88:
Semenjak jatuhnya Baghdad, khalifah kehilangan fungsinya sebagai kepala negara dan hanya berperan sebagai pemimpin dunia Islam secara simbolis. Keadaan itu sebenarnya tetap tidak berubah pada masa Utsmani. Para penguasa Utsmani memiliki kekuatan politik atas kedudukan mereka sebagai sultan dan ''padisyah'', bukan karena status mereka sebagai khalifah. Pada praktiknya, penguasa Utsmani sangat jarang menggunakan gelar khalifah pada percaturan politik di dalam dan luar negeri.
 
Di masa-masa selanjutnya, status penguasa Utsmani sebagai sultan melemah seiring bergesernya kendali pemerintahan di tangan wazir agung (perdana menteri) dan tokoh-tokoh terkemuka lain, tetapi fungsi khalifah justru makin berkembang. Gelar khalifah mulai digunakan saat [[Perjanjian Küçük Kaynarca]] (1774) yang dilakukan antara pihak Kesultanan Utsmani yang saat itu dipimpin [[Abdul Hamid I|Sultan AbdülAbdul Hamid I]] (berkuasa 1773 – 1789) dan [[Kekaisaran Rusia]] yang dipimpin [[Yekaterina II dari Rusia|Maharani Yekaterina II]]. Atas kemenangan Rusia atas Utsmani pada Perang Kozludzha, Utsmani dipaksa mengakui kedaulatan [[Kekhanan Krimea]] yang awalnya merupakan bawahan Utsmani dalam Perjanjian Küçük Kaynarca. Meski secara politik kehilangan Krimea, AbdülAbdul Hamid I menggunakan statusnya sebagai khalifah untuk menegaskan kepemimpinan keagamaannya atas Muslim Krimea. Yekaterina sendiri juga mengklaim sebagai pelindung umat Kristen Ortodoks di wilayah Utsmani pada perjanjian ini.<ref name="Cambridge">{{cite book |title=The Cambridge History of Islam I: The Central Islamic Lands |year=1970 |publisher=Cambridge University Press |language=tr}}</ref> Dari perjanjian ini, status khalifah yang merupakan pemimpin dunia Islam mulai berkembang dari yang hanya sekadar simbol menjadi sebuah gelar yang memiliki kekuatan politik.
 
Di antara semua penguasa Utsmani, [[Sultan Abdul Hamid II|Sultan AbdülAbdul Hamid II]] (berkuasa 1876 – 1909) adalah yang paling sering menggunakan kedudukannya sebagai khalifah. Melalui statusnya sebagai khalifah, AbdülAbdul Hamid II berusaha menyatukan masyarakatnya yang multi-etnis atas dasar agama sebagai reaksi atas keadaan Utsmani yang semakin melemah dan terpecah,<ref>M.Sükrü Hanioglu, A Brief History of the Late Ottoman Empire, 130.</ref> juga menghimpun kekuatan dari seluruh dunia Islam untuk bersatu dalam melawan imperialisme Barat. Upayanya ini mengancam negara-negara Eropa, yakni Austria melalui Muslim Albania, Rusia melalui Tatar dan Kurdi, Prancis melalui Muslim Maroko, dan Britania Raya melalui Muslim India.<ref name="Takkush, Mohammed Suhail pp.489,490">Takkush, Mohammed Suhail, "The Ottoman's History" pp.489,490</ref> Upaya ini membuahkan hasil dalam beberapa hal. Setelah kemenangan Utsmani pada [[Perang Yunani-Turki (1897)|Perang Yunani-Turki]], banyak umat Muslim memandang ini sebagai kemenangan Muslim. Pemberontakan dan penolakan penjajahan bangsa Eropa dilaporkan di suart kabar di berbagai wilayah Muslim.<ref name="Takkush, Mohammed Suhail pp.489,490"/><ref>Lewis.B, "The Emergence of Modern Turkey" Oxford, 1962, p.337</ref>
 
Meski berupaya menyatukan dunia Islam, atas permintaan duta Amerika untuk Utsmani Oscar Straus, AbdülAbdul Hamid II sepakat untuk menulis surat kepada [[Suku Suluk]] di [[Kesultanan Sulu]] agar mereka tidak melakukan perlawanan kepada Amerika. Hal ini menjadikan Muslim Sulu mengakui kedaulatan Amerika atas mereka.<ref name="Karpat2001">{{cite book|author=Kemal H. Karpat|title=The Politicization of Islam: Reconstructing Identity, State, Faith, and Community in the Late Ottoman State|url=https://books.google.com/books?id=PvVlS3ljx20C&pg=PA235|year=2001|publisher=Oxford University Press|isbn=978-0-19-513618-0|page=235}}</ref><ref name="Karpat2001"/><ref name="Yegar2002">{{cite book|author=Moshe Yegar|title=Between Integration and Secession: The Muslim Communities of the Southern Philippines, Southern Thailand, and Western Burma/Myanmar|url=https://books.google.com/books?id=S5q7qxi5LBgC&pg=PA397|date=1 January 2002|publisher=Lexington Books|isbn=978-0-7391-0356-2|page=397}}</ref>
 
Terlepas dari segala hasil yang dicapai, upaya AbdülAbdul Hamid II dalam menyatukan masyarakat dengan identitas Islam tidak sepenuhnya berhasil. Hal ini karena besarnya jumlah populasi non-Muslim dan pengaruh Eropa atas Utsmani.<ref name="ReferenceC">Dr. Bayram Kodaman, The Hamidiye Light Cavalry Regiments (Abdullmacid II and Eastern Anatolian Tribes)</ref> Setelah AbdülAbdul Hamid II digulingkan pada 1909, baik status Sultan Utsmani maupun khalifah kehilangan kekuatan politiknya.
 
== Khalifah lain ==
Baris 127:
Pada 1 November 1922, [[Majelis Agung Nasional Turki]] secara resmi membubarkan Kesultanan Utsmani. Sultan terakhirnya, [[Mehmed VI]], diasingkan ke Malta. Setelah pembubaran Utsmani, [[Republik Turki]] yang berasaskan sekuler didirikan dengan Mustafa Kemal sebagai presiden pertamanya.
 
[[Berkas:AbdulmecidII.jpg|jmpl|[[Abdul Mejid II|AbdülAbdul Mejid II]], khalifah terakhir]]
Meski demikian, Mustafa Kemal tidak berani membubarkan kekhalifahan demi menjaga dukungan rakyat. Meski sudah kehilangan peran politiknya sejak lama, khalifah tetap dipandang sebagai lambang pemersatu umat Islam Sunni seluruh dunia. Pembubaran kesultanan juga lebih mudah lantaran keberlangsungan kekhalifahan saat itu menyenangkan para pendukung kesultanan. Pada 17 November 1922, Majelis Agung Nasional Turki mengangkat sepupu Mehmed VI sebagai [[Abdul Mejid II|Khalifah AbdülAbdul Mejid II]]. Hal ini menjadikan AbdülAbdul Mejid II sebagai satu-satunya khalifah dari Wangsa Utsmani yang tidak merangkap sebagai sultan.
 
Hal tersebut menjadikan keadaan di Turki terbelah dengan pemerintahan republik yang baru di satu sisi dan pemerintahan Islam yang dikepalai khalifah di sisi lain. Khalifah memiliki perbendaharaan pribadi dan pelayanan pribadi, termasuk personel militer. AbdülAbdul Mejid II juga menerima duta asing, juga turut serta dalam upacara dan perayaan resmi.<ref name="Mango, Atatürk, 401">Mango, ''Atatürk'', 401</ref> Mustafa Kemal mengkhawatirkan bahwa AbdülAbdul Mejid II nantinya akan memegang kendali urusan negara selayaknya seorang sultan.<ref>Mango, ''Atatürk'', 403</ref>
 
Dalam keadaan seperti ini, Maulana Mohammad Ali dan Maulana Syaukat Ali yang merupakan pemimpin Gerakan Khilafat menyebarkan pamflet yang menyerukan rakyat Turki untuk mendukung kekhalifahan demi kepentingan Islam. Oleh pihak republik, hal ini dipandang sebagai campur tangan pihak asing yang dapat membahayakan keamanan negara. Hal ini menjadi pembenaran Mustafa Kemal untuk mengakhiri kekhalifahan. Pada 3 Maret 1924, Majelis Agung Nasional Turki membubarkan kekhalifahan dan mengasingkan AbdülAbdul Mejid II beserta para pangeran dan putri Wangsa Utsmaniyah dari Republik Turki.<ref>{{cite web|url= https://books.google.com/books?id=9cTHyUQoTyUC&pg=PA546&lpg=PA642&focus=viewpor&output=html_text|title= Osman's Dream: The History of the Ottoman Empire|first= Caroline|last= Finkel|authorlink= Caroline Finkel|publisher= [[Basic Books]]|year= 2007|isbn= 9780465008506|page= 546}}</ref><ref>{{Cite book|url=https://books.google.tn/books?id=cAhcJj-ij28C&pg=PA6&dq=Abdul+Medjid+II+last+caliph&hl=fr&sa=X&ved=0ahUKEwjSuOqH2bHXAhXHXBoKHQH8CpAQ6AEIIzAA#v=onepage&q=Abdul%20Medjid%20II%20last%20caliph&f=false|title=From Caliphate to Secular State: Power Struggle in the Early Turkish Republic|last=Özoğlu|first=Hakan|date=2011|publisher=ABC-CLIO|isbn=9780313379567|language=en}}</ref>
 
=== Pasca pembubaran kekhalifahan ===