Sitti Nurbaya: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 85:
''Sitti Nurbaya'' telah mengilhami berbagai penulis, termasuk [[Nur Sutan Iskandar]], yang menyatakan bahwa dia menulis ''[[Apa Dayaku Karena Aku Perempuan]]'' (1924) sebagai akibat membaca novel Rusli itu; novelnya yang berikutnya, ''[[Cinta yang Membawa Maut]]'' (1926), juga mempunyai tema yang sama. Alur cerita ''Sitti Nurbaya'' sering didaur ulang, sehingga Balfas beranggap bahwa cerita yang mirip menggunakan "rumus {{'}}''Sitti Nurbaya''{{'}}".{{sfn|Balfas|1976|p=55}} 'Siti Nurbaya' menjadi ungkapan untuk mengambarkan kasih tak sampai dan perjodohan.<ref>{{Cite web|url=https://langgam.id/marah-rusli-dan-roman-legendaris-siti-nurbaya/|title=Marah Rusli dan Roman Legendaris Siti Nurbaya|last=|first=|date=7 Agustus 2019|website=Langgam.id|access-date=10 Agustus 2019}}</ref>
 
Di Padang, kepopuleran novel ini telah mendorong pembuktian keberadaan Sitti Nurbaya dan menghidupkannya. Ada sebuah makam yang dinamai Sitti Nurbaya di sela batu karang yang terdapat di bukit [[Gunung Padang]]. Pada masa belakangan, Sitti Nurbaya menjadi nama [[Taman Sitti Nurbaya|taman di atas Gunung Padang]], [[Jembatan Sitti Nurbaya|jembatan di muara Batang Arau]], dan festival kesenian tradisional tahunan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kota Padang. Penulis [[Ragdi F. Daye]] menyebut upaya ini membuat Sitti Nurbaya seolah adalah warga Kota Padang. "Kita tidak tahu, suatu saat nanti akan ada satu patung sosok perempuan di Batang Arau dan orang mengatakan itu patung Sitti Nurbaya".<ref>{{Cite news|url=|title=Sebuah Kisah akan Hilang Bila Tak Ditulis|last=|first=|date=5 Agustus 2019|work=Harian Khazanah|access-date=10 Agustus 2019|penulisauthor=Rahmat Irfan Denas}}</ref>
 
== Adaptasi ==