Pemerintahan Darurat Republik Indonesia: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 91:
 
== Pengembalian Mandat ==
Setelah [[Perjanjian Roem-Royen]], M.[[Mohammad Natsir]] meyakinkan [[Syafruddin Prawiranegara]] untuk datang ke Jakarta, menyelesaikan dualisme pemerintahan RI, yaitu PDRI yang dipimpinnya, dan Kabinet Hatta, yang secara resmi tidak dibubarkan.
 
Setelah Persetujuan Roem-Royen ditandatangani, pada [[13 Juli]] 1949, diadakan sidang antara PDRI dengan Presiden Sukarno[[Soekarno]], Wakil Presiden [[Mohammad Hatta]] serta sejumlah menteri kedua kabinet. Pada sidang tersebut, Pemerintah Hatta mempertanggungjawabkan peristiwa 19 Desember 1948. Wakil Presiden Hatta menjelaskan 3 soal, yakni hal tidak menggabungkan diri kepada kaum gerilya, hal hubungan Bangka dengan luar negeri dan terjadinya Persetujuan Roem-Royen.
 
Sebab utama SukarnoSoekarno-Hatta tidak ke luar kota pada tanggal 19 Desember sesuai dengan rencana perang gerilya, adalah berdasarkan pertimbangan militer, karena tidak terjamin cukup pengawalan, sedangkan sepanjang yang diketahui dewasa itu, seluruh kota telah dikepung oleh pasukan payung Belanda. Lagi pula pada saat yang genting itu tidak jelas tempat-tempat yang telah diduduki dan arah-arah yang diikuti oleh musuh. Dalam rapat di istana tanggal 19 Desember 1948 antara lain KSAU Suaryadarma[[Soerjadi Soerjadarma]] mengajukan peringatan pada pemerintah, bahwa pasukan payung biasanya membunuh semua orang yang dijumpai di jalan-jalan, sehingga jika mereka ke luar maka haruslah dengan pengawalan senjata yang kuat.
 
Pada sidang tersebut, secara formal Syafruddin Prawiranegara menyerahkan kembali mandatnya, sehingga dengan demikian, M. Hatta, selain sebagai Wakil Presiden, kembali menjadi Perdana Menteri. Setelah serah terima secara resmi pengembalian Mandat dari PDRI, tanggal [[14 Juli]], Pemerintah RI menyetujui hasil Persetujuan Roem-Royen, sedangkan [[KNIP]] baru mengesahkan persetujuan tersebut tanggal [[25 Juli]] [[1949]].
 
== Lihat pula ==