Musa Asy'arie: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
HaEr48 (bicara | kontrib)
Hanamanteo (bicara | kontrib)
k Dikembalikan ke revisi 10847473 oleh Wagino Bot (bicara): Penambahan besar-besaran tanpa rujukan yang memadai (TW)
Tag: Pembatalan
Baris 16:
|order = 10
|term_start = [[2010]]
|term_end = [[2015]]
|predecessor = [[Amin Abdullah|Prof. Dr. HM. Amin Abdullah]]
|religion = [[Islam]]
|successor = [[Prof. Drs. H. Akh. Minhaji, MA. Ph.D]]
|spouse =
|partner =
Baris 29:
|twitter =
}}
'''Prof.Dr. H. Musa Asy'arie''' ({{lahirmati|[[Pekajangan, Kedungwuni, Pekalongan]]|31|12|1951}}) adalah seorang [[filosuf]], [[cendikiawan]], [[budayawan]], sekaligus seorang pengusaha. Ia adalah pencetus gagasan ''Revolusi Kebudayaan Tanpa Kekerasan''.
'''Prof.Dr. H. Musa Asy'arie''' (lahir di Pekalongan, Jawa Tengah, 31 Desember 1951) adalah salah satu filsuf Muslim Indonesia yang memiliki peran sentral dalam menanamkan secara kuat landasan berpikir-bebas atau ''mazhab kebebasan berpikir''. Musa mengajarkan tentang konsep-konsep fundamental mengenai aspek teologi, kosmologi, dan antropologi serta kebudayaan, dalam cara pandang Filsafat Islam. Ia bergerak dari basis perenungan kefilsafatan sampai dengan praksis sosial-ekonomi serta politik. Perhatiannya terhadap dunia ekonomi riil merupakan cerminan dari dirinya sendiri yang juga menjadi pelaku usaha atau pengusaha sukses. Dalam pemikiran kefilsafatan, Musa melandaskan teori-teorinya di atas terang kitab suci al-Qur’an melalui penafsiran rasional. Musa membangun pemikiran filsafatnya secara utuh dan mensistematisasi ke dalam unsur-unsur atau cabang-cabang kajian Filsafat Islam. Ia memiliki minat dan memberikan perhatian sangat luas terhadap berbagai isu dan permasalahan konkret yang terjadi dalam ranah sosial, politik, budaya, pendidikan, ekonomi, dan lain-lain di Indonesia.
== Masa Muda ==
 
'''Musa Asy’arie''' dilahirkan di Pekajangan, sebuah desa yang kental dengan budaya santri yang ''entrepreneurship''. Ia dibesarkan dalam lingkungan masyarakat pengusaha. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar di SD [[Muhammadiyah]] Ambukembang, Ia melanjutkan ke SMP [[Muhammadiyah]] di Pekajangan, namun tidak sampai selesai. Ayahnya memindahkan Musa ke pondok pesantren di [[Tremas, Arjosari, Pacitan]], [[Jawa Timur]]. Lingkungan pondok pesantren inilah mengubah sikap dan cara pandangnya dalam menapaki kehidupan. Setelah menyelesaikan pendidikan di lingkungan pondok pesantren, Musa menempuh pendidikan kesarjanaannya di Fakultas Ushuluddin [[IAIN Sunan Kalijaga]] Yogyakarta jurusan Filsafat. Musa menikah dengan Muslihah teman kuliah satu fakultasnya di IAIN Sunan Kalijaga.
Dalam diri Musa antara ide atau pemikiran dengan praktik di lapangan menjadi satu: ''teori dan praksis adalah tunggal''. Ia bergerak ibarat di atas rel kereta; dua jalur yang bersama-sama menjadi tumpuan sekaligus energi pergerakan dan perubahan, yaitu perenungan kefilsafatan sebagai wujud kehidupan murni akademis dan praktik berfilsafat itu sendiri sebagai pengusaha, serta konsultan kebijakan ekonomi-industri dan pendukung gerakan pembebasan-etis sosial-budaya serta politik. Dalam kehidupan Musa pemikiran dan gagasan adalah hasil dari refleksi pengalaman empirik, dan sebaliknya dunia empirik adalah cermin dari ide serta gagasannya.
 
Dalam beberapa kesempatan berkarier, Musa menjabat sebagai Staf Ahli Bidang Sosial Budaya dan Peran Masyarakat Menteri Komunikasi dan Informasi RI (2005-2009), Penasihat Khusus Bidang Pengembangan Usaha Kecil Menengah Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI (2002-2004), anggota Lembaga Sensor Film (2005-2008), dan tenaga ahli di Badan Pengembangan Sumber Daya Koperasi dan Pengusaha Kecil dan Menengah RI. Penghargaan di bidang sosial-ekonomi riil pun ia terima berupa ''Pengusaha Berprestasi 1997'' dari Yayasan Nirwana Indonesia, Jakarta 8 November 1997, ''Byasana Bhakti Upapradana'' (Penghargaan atas Pelayanan Publik) dari Gubernur Jawa Tengah, 17 Agustus 1991 dan ''Upakarti Bidang Pengabdian'' dari Presiden Republik Indonesia, 28 Desember 1991.
 
== Biografi ==
Musa Asy’arie lahir di sebuah desa bernama Pekajangan, berada di wilayah Kota Pekalongan, Provinsi Jawa Tengah, pada 31 Desember 1951. Musa dibesarkan dalam tradisi keluarga santri. Di usia 12 tahun (1963) ia menamatkan pendidikan dasarnya di SR (Sekolah Rakyat) setempat di desanya Ambokembang. Setelah itu ia melanjutkan pendidikannya di salah satu pesantren tertua di Jawa yaitu Pondok Pesantren Tremas, Pacitan, Jawa Timur sampai selesai pada tahun 1970.
 
Seusai belajar dari pesantren, Musa melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi di IAIN Sunan Kalijaga dengan menentukan pilihan pada jurusan filsafat di Fakultas Ushuluddin. Sambil menempuh pendidikan itu ia merintis dunia usaha dengan berdagang tekstil yang dibawanya dari kampung ke Yogyakarta. Tahun 1976 ia mendapatkan gelar sarjananya dan dilanjutkan mengabdi sebagai dosen di almamaternya itu.
 
Mulai tahun 1985, Musa mengambil program doktoral ''by research'' tentang filsafat Islam. Dalam kepentingan itu, pada tahun 1986, ia menjadi mahasiswa tamu di The University of Iowa dan The University of Chicago, serta memperdalam kajiannya dengan mengikuti kuliah “''Islamic Philosophy''” dan “''Reading on the Qur’an''” dari intelektual muslim asal Pakistan yang mengajar di Amerika, yaitu Prof. Dr. Fazlur Rahman. Pada 1991 Musa meraih gelar Doktor dengan kajian ''Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam al-Qur’an''. Sambil menempuh dan menyelesaikan studi doktoralnya, Musa juga menjabat sebagai Ketua Umum Koperasi Batur Jaya, Klaten, Jawa Tengah (1989 – 1993) serta merangkap sebagai Vice President Director PT. Itokoh Ceperindo, sebuah perusahaan dengan permodalan asing dari Jepang, di samping tetap memimpin usaha miliknya sendiri sebagai direktur PT. Baja Kurnia yang bergerak di pengecoran logam. Dalam perspektif Musa, ilmu yang dipelajari di dalam filsafat bisa dimanifestasikan dalam bentuk kewirausahaan. Begitu juga idealnya, semangat dalam berbisnis juga harus didasarkan pada pengetahuan dan ilmu.
 
Tahun 1995, beberapa tahun menjelang perubahan besar politik yaitu turunnya pemerintahan Orde Baru, bersama Malik Fadjar sebagai Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Musa mendirikan program Magister Studi Islam di kampus UMS itu. Ia menjabat sebagai ketua program pada 1995-2002. Pada saat bersamaan di kampus almamaternya sendiri ia dipercaya menduduki kursi Direktur Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga,Yogyakarta pada 2001-2005.
 
Setelah menjabat sebagai direktur akademis pasca sarjana, Musa diangkat sebagai anggota Dewan Pengawas Lembaga Penyiaran Publik TVRI (2006-2011). Selanjutnya pada tahun 2011-2014 Musa Asy’arie menduduki jabatan sebagai Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Dan seusai itu menjadi Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis di universitas tersebut untuk kuliah “''Enterpreneurship''” serta “''Etika Bisnis dan Profesi''”. Berbagai kegiatan sosial lainnya juga diikuti dan ia menduduki peran penting dalam posisinya.
 
== Pendidikan ==
Baris 54 ⟶ 41:
* Mahasiswa tamu The [[University of Iowa]] dan The [[University of Chicago]], kuliah ''Islamic Philosophy dan Reading on the Qur'an'' dari Prof. Dr. Fazlur Rahman, tahun 1986
 
== Pemikiran Musa Asy'arie ==
== '''I. Mazhab Kebebasan Berpikir''' ==
Ada yang memasukkan Musa Asy’arie dalam daftar filosuf Indonesia yang bermazhab pada [[filsafat arab]]. Jika disejajarkan dengan beberapa tokoh pemikir Islam revolusioner (bukunya "Menggagas Revolusi Kebudayaan Tanpa Kekerasan". Musa Asy’arie seorang filosuf mempunyai pengalaman hidup yang ''multi-dimensi'', sebagai Guru Besar Filsafat Islam UIN Yogyakarta, sekaligus sebagai [[birokrat]] dan juga [[pengusaha]]. Pengalamannya dalam dunia usaha di tulis oleh Nashruddin Anshoriy "Berjuang dari Pinggir, Potret Kewiraswastaan Musa Asy’arie", diterbitkan oleh LP3ES 1995.
Ciri utama dari pemikiran dan karya Musa Asy’arie adalah kebebasan berpikir. Berpikir tentang apa saja adalah sah. Berpikir bebas juga berarti berpikir yang tidak menutup diri hanya pada satu landasan atau aliran tertentu. Berpikir bebas juga menyiratkan tidak didominasi oleh siapapun. Musa dikenal sebagai seorang ''free thinker'' dan mengajarkan kepada para mahasiswanya untuk menemukan caranya sendiri dan untuk menjadi diri sendiri.
Pemikiran Musa Asy’arie lebih cenderung pada upaya membentuk manusia yang berpikir bebas. Ia berpendapat bahwa berpikir '''''an sich''''' adalah bebas sebebas-bebasnya. Berpikir yang salah bukan suatu kejahatan, tidak kriminal, sehingga tidak perlu ditakuti. [[Nabi Muhammad SAW]] pernah menegaskan perlunya manusia berpikir yang sungguh-sungguh atau ''ijtihad'', jika salah pahalanya satu, dan jika benar pahalanya dua.
 
Hakikat manusia ditentukan oleh eksistensinya dalam hidup, yaitu suatu karya kesalihan sosial. Dalam disertasinya "Konsep Manusia Sebagai Pembentuk Kebudayaan dalam Alquran" yang dipertahankannya dalam ujian disertasi 26 januari 1991, Musa Asy’arie menolak pandangan dualisme (jasmani dan rohani) manusia yang selama ini memengaruhi cara berpikir mayoritas umat Islam. Hakikat manusia tidak ditentukan oleh unsur yang membentuknya, tetapi oleh amal perbuatannya. Orientasi hidup manusia adalah ke depan, bukan ke belakang.
Dalam buku ''Filsafat Islam, Sunnah Nabi dalam Berpikir'', Musa memberikan pengertian dari istilah “bebas” yang artinya dapat memilih apa saja untuk dipikirkan, tidak ada yang haram untuk dipikirkan, semuanya tergantung pada pilihan dan kesanggupan seseorang untuk memikirkannya. Ia bisa berpikir mengenai kehidupannya di dunia, dalam berbagai aspeknya, dan ia pun bisa memikirkan kehidupannya setelah mati. Jikalau pun ada batas, maka batas-batas itu bersifat internal, yaitu pilihan objek berpikirnya sehingga menjadi batasan objek atau cara kerja internalnya sendiri, yang menyangkut cara dan metode yang ditempuh (FIS: 2).
 
Musa mengajukan pertanyaan: ''apakah kebebasan berpikir itu mungkin?'' Dan jawabannya tentu saja adalah: ya, mengapa tidak, karena kebebasan berpikir tidak sama dengan kebebasan berbuat. Berpikir itu memang kodratnya bebas, dan kebebasan berpikir dengan sendirinya adalah hal yang sudah semestinya, tidak perlu ditakuti, bahkan dalam taraf berpikir, tidak bisa dikenakan sanksi moral apapun. Sanksi moral hanya dapat dikenakan pada suatu tindakan atau perbuatan, yang dilakukan dengan penuh kesadaran. Oleh karena itu, kesalahan dalam berpikir tidaklah kriminal, bukan suatu kejahatan. Berpikir dan berbuat adalah dua hal yang berbeda, meskipun bisa menyatu, karena berpikir saja dapat dilakukan oleh seseorang, tanpa diikuti oleh suatu tindakan seperti menghitung lamanya kekuasaan pemerintahan Orde Lama, seperti menggaruk gatal, dan ada juga tindakan yang tidak dipikirkan dengan sadar, seperti perbuatannya orang gila (FIS: 2-3).
 
Musa lebih lanjut menjelaskan bahwa berfilsafat adalah berpikir radikal, ''radix'' artinya akar, sehingga berpikir radikal artinya sampai ke akar suatu masalah, mendalam sampai ke akar-akarnya, bahkan melewati batas-batas fisik yang ada, memasuki medan pengembaraan di luar sesuatu yang fisik, dan seringkali disebut sebagai ''metafisis''. Pengembaraan filsafat melewati batas-batas penginderaan manusia, sebagai contoh, bisa saja inderanya menangkap gunung, tetapi gunung dalam pikiran filsafat, tidak hanya seonggok batu dan tanah, yang diliputi pepohonan, tetapi lebih dalam dari itu, apakah sesungguhnya hakikat gunung itu, dan keberadaannya menggambarkan makna apa bagi kehidupan manusia.
 
Dalam hal filsafat merupakan berpikir dalam tahap makna, ia mencari hakikat makna dari sesuatu, atau keberadaan dan kehadiran. Berpikir dalam tahap makna bukan dan tidak dipakai untuk menjawab persoalan teknik, seperti bagaimana caranya membuat kue serabi. Jika kehidupan itu ''ada'' dan ''hadir'' dalam kehidupan kita, maka apakah makna keberadaan dan kehadiran kehidupan itu bagi kita, apakah sekadar untuk makan atau sebaliknya makan untuk kehidupan. Berpikir dalam tahap makna artinya menemukan makna terdalam dari sesuatu, yang berada dalam kandungan sesuatu itu. Makna yang terkandung itu berupa nilai-nilai, yaitu kebenaran, keindahan atau pun kebaikan, sehingga nilai keindahan menjadi makna yang terkandung dalam karya seni, nilai kebenaran bisa terkandung dalam suatu teori keilmuan dan nilai kebaikan bisa terkandung dalam suatu tindakan. Nilai itulah yang memberikan makna sesuatu itu (FIS: 2-5).
 
Berbeda dengan para intelektual dan filsuf lain di Indonesia, figur Musa Asy’arie memang menempati posisi tersendiri. Jika para intelektual merujuk pada sebuah tradisi pemikiran tertentu, baik Barat atau Timur, Musa lebih memilih pada pergulatan dan pengalaman serta refleksi pribadi. Di sinilah letak kekuatan dan gagasan-gagasannya yang original dan unik, meski tidak berarti bahwa ia bebas dari pengaruh cendekiawan dan intelektul lain. Yang jelas, seluruh karya Musa bertumpu pada kekuatan reflektif dan kontemplatif, yang dipadukan dengan pengalaman serta pergulatan ide secara konkret. Dalam konteks gagasan Musa, makna ibadah pun menjadi sangat luas. Ada banyak cara untuk beribadah. Menjadi akademisi bukan hanya mengunjungi perpustakaan dan mengumpulkan buku. Menjalani apa yang diyakini dan mengujinya di lapangan juga merupakan pembacaan realitas, bahkan secara lebih langsung.
 
== '''II. Filsafat Islam Sebagai Filsafat Kenabian''' ==
Sumber utama pemikiran Musa Asy’arie tentang filsafat Islam salah satunya adalah di dalam buku ''Filsafat Islam: Sunnah Nabi dalam Berpikir''. Di dalamnya Musa menyusun secara sistematis kerangka dan konsep filsafat Islam beserta penjelasannya. Karya ini dapat dipandang sebagai rumusan filsafat Islam yang lengkap di era pemikiran filsafat Islam modern dan kontemporer.
 
Dalam pandangan Musa, hakikat filsafat Islam adalah Filsafat Kenabian Muhammad. Filsafat Kenabian ini lahir dalam periode filsafat Islam, dan karenanya tidak ditemukan dalam tradisi filsafat Yunani (FIS: 31). Posisi filsafat Islam adalah landasan utama bagi adanya integrasi berbagai disiplin dan pendekatan yang makin beragam, karena dalam bangunan epistemologi Islam, mau tidak mau, filsafat Islam dengan metode rasional transendentalnya dapat menjadi dasarnya (FIS: 34). Secara tegas Musa menyatakan bahwa '''filsafat bukan anak haram Islam, filsafat adalah anak kandung yang sah dari risalah kenabian''', filsafat sebagai hikmah berpasangan dengan kitab (FIS: 34). '''Filsafat Islam adalah sunnah Nabi dalam berpikir, bukan ''bid’ah'' Yunani''' (FIS: 35).
 
Tradisi berpikir Nabi dengan kecerdasan sucinya, perlu diteladani dan diaktualisasikan secara cerdas dalam kehidupan, apalagi menghadapi berbagai persoalan kemiskinan dan kesulitan hidup, dengan adanya berbagai musibah dan bencana alam yang sedang menimpa kehidupan kita di mana-mana. Meneladani Nabi SAW kiranya akan lebih baik kalau diikuti dengan meneladani cara berpikirnya, untuk mengembangkan kecerdasan kenabian atau akal suci, karena kebudayaan sesungguhnya bermula dari kecerdasan yang berbasis akal suci.
 
Keberadaan filsafat sepenuhnya ditentukan oleh kekuatan dari metodologinya, yang akan teruji terus-menerus sepanjang kehidupan intelek masih tetap berlangsung (FIS: viii). Bagi Musa, keberadaan filsafat Islam itu sudah terang benderang dan berpusat pada tradisi berpikir seorang Nabi, dan merupakan sunnah Nabi Muhammad SAW dalam berpikir, yang sudah dijalaninya bertahun-tahun dan terbukti telah berperan dalam membentuk pandangan hidup Sang Nabi, yang seharusnya menjadi teladan bagi umatnya, sehingga keberadaan seorang Nabi menjadi lebih bermakna kultural, dan dapat menjadi energi intelektual yang tidak pernah kering, karena hakikat makna dari keberadaan Nabi adalah untuk membangun dan menjaga kebudayaan tetap berkembang di atas martabat kesusilaan dan spiritualitas kemanusiaan universal (FIS: viii).
 
Terkait dengan persoalan metodologi filsafat, menurut Musa metode filsafat Islam tidak lain adalah '''rasional transendental'''. Pengertian ini diambil dari ayat Alquran “''perintah membaca atas nama Tuhan yang menciptakan''”. Dalam rasional transendental, maka dimensi rasionalnya dicapai melalui pikir, atau ijtihad yaitu kesungguhan berpikir yang radikal, dan dimensi transendentalnya dicapai melalui zikir, atau ''ittihad'' yaitu penyatuan dalam kegaiban, rujukannya pada Alquran sebagai doktrin yang menuliskan dimensi transenden dan hikmah profetik dari proses berpikir mendalam, sebagai suatu sunnah Rasulullah dalam berpikir, yang telah dijalaninya secara konsisten, yang menjadi metode filsafatnya(FIS: ix).
 
Berfilsafat adalah berpikir dalam tahap makna, ia mencari hakikat makna dari sesuatu, atau keberadaan dan kehadiran (FIS: 4). Dan yang disebut dengan filsafat Islam, ''Islamic Philosophy'', pada hakikatnya adalah filsafat yang bercorak Islami. Islam menempati posisi sebagai sifat, corak dan karakter dari filsafat. Filsafat Islam bukan filsafat tentang Islam, bukan ''the philosophy of Islam''. Filsafat Islam artinya berpikir yang bebas, radikal, dan berada pada taraf makna, yang mempunyai sifat, corak dan karakter yang menyelamatkan dan memberikan kedamaian hati. Dengan demikian, Filsafat Islam berada dengan menyatakan keberpihakannya dan tidak netral. Keberpihakannya adalah kepada keselamatan dan kedamaian (FIS: 6).
 
Karena basis filsafat Islam adalah tradisi Kenabian yang bersandar pada firman Tuhan, maka filsafat Islam tidaklah semata-mata bersifat rasional, yang hanya bersandar pada analisis logis terhadap suatu peristiwa, tetapi juga jejak spiritual untuk memasuki dimensi kegaiban (FIS: 7). Untuk memperjelas itu filsafat Islam memiliki berbagai pendekatan, yaitu: pendekatan historik (sejarah), pendekatan doktrinal (Alquran), pendekatan metodik (rasional transendental), pendekatan organik (rasio dan ''qalb''), dan pendekatan teleologik (berpihak pada keselamatan dan perdamaian).
 
Beberapa bidang filsafat Islam dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut:
* '''Ontologi Islam''' membahas tentang “yang ada” (''being''), “yang nyata” (realitas), esensi dan eksistensi, hakikat kemajemukan (pluralitas), dan hakikat perubahan. Pada prinsipnya terdapat dua jenis ''ada'', yaitu ''ada'' yang mencitakan dan ''ada'' yang diciptakan, ''ada'' yang menyebabkan dan ''ada'' yang diakibatkan. ''Ada'' yang menciptakan tidak sepenuhnya tepat untuk disebut sebagai sebab yang ada, karena hukum sebab akibat berlainan dengan hukum yang menciptakan dan yang diciptakan. Hukum sebab akibat bisa bersifat fisik, mekanis, berdimensi material, sementara pencipta dan ciptaan di dalamnya selalu terkandung dimensi ideal, yang bersifat spiritual. Dalam konsep filsafat ditegaskan bahwa setiap proses penciptaan, selalu ada beberapa faktor yang menentukan adanya penciptaan, yaitu 1) Adanya pencipta (subjek). 2) Adanya ciptaan (objek). 3) Adanya bahan yang dipakai. 4) Adanya tujuan, yaitu gagasan ideal mengenai objek ciptaan, baik bentuk maupun apa yang ingin dicapai dengan bentuk itu. 5) Adanya proses, yang di dalamnya berkaitan dengan ruang dan waktu, di mana penciptaan itu dilakukan dan memakan waktu berapa lama (FIS: 41). Berbeda dengan yang ''ada,'' maka yang ''nyata'', kenyataan, pada dasarnya merupakan bagian dari yang ''ada'' itu sendiri, yaitu ''ada'' yang faktual, yang berupa fakta-fakta dalam kehidupan, sifatnya dinamik, dan dinamikanya dipengaruhi oleh proses dialektika kehidupan manusia yang kompleks, yang terjadi dan berlangsung dalam berbagai aspek kehidupannya, sosial, politik, ekonomi, budaya dan agama. ''Yang nyata'' (realitas) selalu berdimensi ruang dan waktu, karenanya selalu mengandung pluralitas dan relativitas. Hakikat realitas adalah immateri yang memateri, suatu spiritualitas yang faktual (FIS: 45-46). Dalam setiap yang ''ada'', baik yang nyata maupun yang tidak nyata, selalu ada dua sisi di dalamnya, yaitu sisi esensi dan sisi eksistensi. Bagi ada yang gaib, sisi yang tampak adalah eksistensi, sedangkan bagi ''ada'' yang konkret, sisi yang tampak bisa kedua-duanya, yaitu esensi dan eksistensi (FIS: 50). Sementara itu fakta adanya pluralitas pada hakikatnya merupakan realitas kehidupan itu sendiri, yang tidak bisa dihindari apalagi ditolak. Pluralitas merupakan kodrat dari kehidupan yang tidak mungkin ditiadakan, dan karenanya tidak pernah ditemukan dalam kehidupan ini dua hal yang sama persis dari berbagai sisi dan aspeknya (FIS: 56). Terkait dalam perubahan, filsafat Islam memandang perubahan kehidupan kesemestaan itu pada hakikatnya ''sunnatullah'' yang mekanismenya terkendali dalam hukum-hukum alam yang ditetapkan sejak proses penciptaan itu terjadi (FIS: 61).
* '''Epistemologi Islam''' membahas tentang objek kajian ilmu, cara memperoleh ilmu, kebenaran ilmu, tujuan ilmu, dan hubungan antara ilmu dengan etika. Wawasan epistemologi Islam pada hakikatnya bercorak tauhid, dan tauhid dalam konsep Islam, tidak hanya berkaitan dengan konsep teologi saja, tetapi juga dalam konsep antropologi dan epistemologi. Epistemologi Islam sesungguhnya tidak mengenal prinsip dikotomi keilmuan, seperti yang sekarang banyak dilakukan di kalangan umat Islam Indonesia, yang membagi ilmu agama dan ilmu umum, atau syariah dan non syariah (FIS: 67). Dalam Alquran dijelaskan bahwa di dalam ayat-ayat Tuhan, yaitu alam, manusia dan kitab suci, di dalamnya terdapat hukum-hukum dan semuanya itu diciptakan agar manusia mau memikirkannya, karena melalui proses pemikiran keilmuan itu, maka akan tersingkap dan diketahui makna kebenaran yang ada di dalamnya, yang memungkinkan manusia memanfaatkan untuk kepentingan hidupnya. Alquran 43:3-4 menjelaskan tentang dirinya sebagai objek berpikir dan menjadi pusat pengetahuan hikmah: ''Sesungguhnya Kami menjadikan Alquran berbahasa Arab agar kamu berpikir. Dan sesungguhnya Alquran dalam induk Kitab, di sisi Kami adalah tinggi dan penuh hikmah'' (FIS: 68). Dalam konsep filsafat Islam, ilmu bisa diperoleh melalui dua jalan yaitu ''kasbi'' atau ''khushuli'' dan jalan ''ladunni'' atau ''khudhuri''. Jalan ''kasbi'' atau ''khushuli'' adalah cara berpikir sistematik dan metodik yang dilakukan secara konsisten dan bertahap melalui proses pengamatan, penelitian, percobaan dan penemuan. Ilmu ini biasa diperoleh oleh manusia pada umumnya, sehingga seseorang yang menempuh proses itu, dengan sendirinya ia akan memperoleh ilmu tersebut. Sedangkan ilmu ''ladunni'' atau ''hudhuri'', diperoleh orang-orang tertentu, dengan tidak melalui proses ilmu pada umumnya, tetapi oleh proses pencerahan oleh hadirnya cahaya Ilahi dalam ''qalb'', dengan hadirnya cahaya Ilahi itu semua pintu ilmu terbuka menerangi kebenaran, terbaca dengan jelas dan terserap dalam kesadaran intelek, seakan-akan orang tersebut memperoleh ilmu dari Tuhan secara langsung. Di sini Tuhan bertindak sebagai Pengajarnya (FIS: 72). Dalam konsep filsafat Islam, kebenaran sesungguhnya datang dari Tuhan, melalui hukum-hukum yang sudah ada dan ditetapkan pada setiap ciptaan-Nya, yaitu dalam alam semesta, manusia dan Alquran. Semua itu merupakan ayat-ayat Tuhan yang menjadi sumber kebenaran yang terkandung dalam sunnatullah: hukum alam, hukum akal sehat dan juga hukum agama (moralitas) (FIS: 78). Kebenaran dan ilmu tidak boleh berada di bawah kekuasaan hawa nafsu, karena akan melahirkan kekuasaan. Dengan demikian etika ilmu adalah keberpihakan kepada kebenaran, pembebasan manusia dan kemandirian artinya tidak terkooptasi oleh sistem yang menindas (FIS: 86).
* '''Etika Islam''' membahas tentang hakikat baik dan jahat, etika sosial, etika ekonomi, etika politik, etika kebudayaan, dan etika agama. Dalam konsep filsafat Islam, yang baik itu disebut ''al-ma’ruf'' artinya semua orang secara kodrati tahu dan menerimanya sebagai kebaikan, sedangkan yang jahat itu disebut ''al-munkar'' yaitu semua orang secara kodrati menolak dan mengingkarinya. Nilai baik atau ''al-ma’ruf'' dan nilai jahat atau ''al-munkar'' adalah bersifat universal, dan manusia diperintahkan untuk melakukan yang baik dan menjauhi serta melarang tindakan yang jahat (FIS: 92). Dalam etika sosial terdapat prinsip-prinsip dasar kehidupan bersama yaitu: persamaan dan kebersamaan, keadilan sosial, serta keterbukaan dan musyawarah (FIS: 95-100). Dalam etika ekonomi, pemilikan kekayaan dan harta benda oleh individu atau pun masyarakat tidaklah bersifat mutlak, karena kekayaan sesungguhnya diperoleh hanya dengan memanfaatkan kekayaan alam dan kerja sama dengan sesama manusia yang lainnya, dan pemilik mutlak yang menguasai langit dan bumi adalah hanya Allah sendiri, bukan manusia, baik oleh pribadi maupun masyarakat (FIS: 104). Sementara dalam etika politik, menurut konsep filsafat Islam, etika politik didasarkan pada politik moral, bukan politik kekuasaan. Kekuasaan sifatnya relatif dan tidak mutlak, yang dijalankan dengan pengetahuan konseptual yang berdimensi transendental. Kepemimpinan politik Islam tidak terletak pada Islam yang formalistik, tetapi pada Islam yang substansinya pada aktualitas prinsip musyawarah keadilan, kebenaran, persamaan dan kebebasan berpikir (FIS: 113). Dalam etika kebudayaan, sejak dari berpikir, berimajinasi dan beraktualisasi diri dalam pilihan-pilihan serta percobaan-percobaan kreatif dalam realitas kehidupan, seharusnya didasarkan pada nilai-nilai yang baik, untuk menciptakan kehidupan yang lebih manusiawi (FIS: 115). Dan dalam etika agama, terdapat empat hal pokok yang dibicarakan yaitu Tuhan, manusia, alam dan kebudayaan. Etika agama mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan sesamanya dan dengan dirinya, hubungan manusia dengan alam di sekitarnya serta hubungan manusia dengan kebudayaan (ciptaannya) (FIS: 117-118).
* '''Estetika Islam''' membahas tentang keindahan sebagai pengalaman batin, perbedaan antara keindahan natural dengan keindahan artifisial, relasi antara keindahan dengan pembebasan, serta relasi antara seni dengan agama. Dalam konsep filsafat Islam, pengalaman estetik berdimensi spiritual dan pada dasarnya merupakan basis pemikiran imajinatif, di mana seseorang menyatu dalam nuansa kejiwaan memasuki kesadaran Ilahiyah. Seperti gambaran tentang surga dengan segala ilustrasi simboliknya, sesungguhnya dapat dimengerti dan diserap melalui pemikiran imjinatif spiritual ini. Demikian juga halnya tantangan Alquran untuk memperhatikan keindahan langit dan bumi serta gunung-gunung yang terbentang luas (FIS: 134). Pada perkembangan selanjutnya, pengalaman estetik spiritual merupakan proses peneguhan kemanusiaan, yaitu memperkuat kepeduliannya yang tinggi, dengan menegaskan keberpihakannya pada nilai-nilai kemanusiaan. Pengalaman estetik spiritual membuat seseorang larut, lebur dan fana’ pada universalisme kebenaran, ia mengalami pengalaman ekstase spiritual, dan ketika ia kembali pada realitas kehidupan masyarakat, penegasan keberpihakannya semakin kuat lagi dan bahkan melibatkan diri secara total di dalamnya (FIS: 138-139). Pendekatan filsafat Islam yang menekankan pada dimensi batin kehidupan agama, yang mengambil bentuk pengalaman estetika keagamaan yang sifatnya spiritual, mungkin dapat menjadi alternatif pemecahan masalah, dengan melakukan dialog iman melalui seni dan agama, sehingga pluralitas agama dapat diterima sebagai suatu realitas kodrati, yang menjadi kehendak Tuhan sendiri (FIS: 143). Dalam konsep filsafat Islam, hakikat pengalaman estetik (seni) dan pengalaman keagamaan pada dimensi spiritualnya sesungguhnya bersifat tunggal, dan tidak berlawanan, bahkan saling memperkaya kehidupan ruhani seseorang. Oleh karena itu, pada hakikatnya seni dan agama tidak bertentangan satu sama lain, bahkan agama tanpa seni menjadi kering dan seni tanpa agama menjadi segar. Keduanya sama-sama mampu mentransendensikan cahaya keindahan Ilahi dan tanda-tanda kebesaran-Nya yang terpantul pada ciptaan-Nya di langit dan bumi, yang menjadi objek pemikiran dan perenungannya sehingga membentuk kesadaran transenden bahwa sesungguhnya semua itu tidak sia-sia (FIS: 144).
* '''Teologi Islam''' membahas tentang Tuhan dalam konsepsi, Tuhan dalam persepsi, pengalaman spiritual dalam iman, Tuhan sebagai ''Nafs'' (Ego) Mutlak, serta hidup dalam Tuhan. Dalam konsep filsafat Islam, Tuhan tidak bisa dijangkau hakikat-Nya oleh konsepsi, semua konsepsi akan gagal menyingkap-Nya, dan konsepsi tentang Tuhan hanya terbatas pada dugaan atau perkiraan tentang Tuhan, dan sebuah perkiraan tentang Tuhan tentu bukan Tuhan dan tidak selayaknya manusia menyembah dan mengabdikan diri padanya, apalagi mempertuhankannya (FIS: 162). Agama sesungguhnya membentuk persepsi tentang Tuhan, dan bukan konsepsi tentang Tuhan, dan persepsi tentang Tuhan itu diperoleh melalui praktik menjalankan tata cara peribadatan kepada Tuhan, yang diatur secara detail dan operasional oleh agama dan melalui upacara peribadatan keagamaan itu, seorang pemeluk agama diharapkan mempunyai persepsi mengenai Tuhan yang disembahnya itu (FIS: 165). Dalam konteks pengalaman spiritual, agama pada dasarnya adalah iman, tidak ada agama tanpa iman, dan iman dalam pengertian agama, bukan sekadar pengakuan dan pengetahuan tentang adanya Tuhan saja, tetapi iman itu dibangun dari pengalaman yang intens berhubungan secara langsung dan pribadi dengan Tuhan (FIS: 169). Dalam konsep filsafat Islam, pengalaman iman dalam proses komunikasi dan dialog kreatif dengan Tuhan yang bersifat spiritual, terjadi secara langsung dan objektif itu dapat dimungkinkan, karena Tuhan seperti yang dinyatakan-Nya sendiri dalam firman dan ayat-ayat-Nya adalah ''Nafs'', Keakuan, atau Ego, yang tentunya bersifat mutlak. Sedangkan manusia adalah ''nafs'', keakuan atau ego yang tidak mutlak. Sehingga pengalaman iman dalam proses komunikasi dan dialog kreatif itu dapat berlangsung dan dilakukan antara dua nafs, yaitu ''Nafs'' yang mutlak dan tak terbatas, dengan ''nafs'' yang tidak mutlk dan terbatas. Semuanya itu berlangsung melalui penjelmaan Nafs Mutlak pada ayat-ayat-Nya yang tertangkap, terserap dalam dimensi spiritualitasnya. Dalam konsep filsafat Islam, tidak ada hidup dan kehidupan di luar Tuhan, tidak ada ruang dan waktu di luar Tuhan, hidup dan kehidupan pada hakikatnya hanya ada dalam Tuhan, demikian pula halnya, ruang dan waktu hanya ada dalam ruang dan waktu Tuhan (FIS: 177-178). Aspek transformatif dari Teologi Islam adalah pada daya ubahnya yang multidimensi dalam berbagai aspek kehidupan manusia, mulai dari dataran kultural dan struktural untuk menuju tegaknya ''akhlak al-karimah'', yaitu untuk menyempurnakan budi pekerti yang mulia (FIS:186).
* '''Kosmologi Islam''' membahas tentang hakikat alam semesta, tentang penciptaan alam, mekanisme alam, tentang ruang, waktu, dan gerak. Dalam konsep filsafat Islam, alam semesta adalah wujud atau eksistensi Tuhan dalam kehidupan ini, dan mencerminkan tanda-tanda kebesaran Tuhan, atau ayat-ayatNya. Alam semesta tidak bisa dilihat dengan mata kepala manusia, karena penglihatan mata kepala manusia sangat terbatas, meskipun menggunakan ''remote sensing'' sekalipun. Alam semesta tidak bisa ditimbang, karena tidak ada timbangan yang dapat memuatnya. Alam semesta sebagai eksistensi Tuhan tidak terbatas, yang terbatas adalah wujud-wujud keseluruhan sejenis dari bagian alam langit, bumi, samudera, dan gunung, serta manusia (FIS: 191-192). Secara hierarkis, dilihat dari eksistensinya terdapat tingkatan-tingkatan wujud yang bersifat struktural dalam penciptaan. ''Hierarki 1'': Wujud Tertinggi adalah eksistensi Diri Tuhan sendiri, ''Hierarki 2'': Alam Semesta sebagai wujud eksistensiNya (metafisik, gaib, tak terbatas), ''Hierarki 3'': Alam Besar yang terbatas dan bisa dilihat terutama pada satuan jenisnya (manusia, bumi, langit, air, udara, binatang, tumbuhan), ''Hierarki 4'': Alam Kecil yang menjadi satuan-satuan terkecil dari jenis yang faktual (si Fulan, udara panas, tanah tandus), ''Hierarki 5'': Eksistensi Manusia sebagai pencipta kedua (alam kreatif, spiritualitas, nafs), ''Hierarki 6'': Alam Budaya Besar (ilmu, kesenian, teknologi), ''Hierarki 7'': Alam Budaya Kecil (matematika, wayang kulit, komputer) (FIS: 194-195). Dalam hal terkait dengan ''ruang'', mesti dibedakan antara ruang yang tidak terbatas dan ruang yang terbatas. Ruang yang tidak terbatas adalah ruang Ilahi itu sendiri, di mana segala yang ada, dan yang diciptakan berada di dalamnya, baik ada yang gaib maupun ada yang nyata. Ruang Ilahi tidak bisa diukur, karena tidak ada alat ukurnya, dan juga karena tidak ada batas-batasnya. Sedangkan ruang yang terbatas adalah batas-batas atau ukuran benda yang berada di luarnya, bukan di dalam bendanya, kemudian membentuk batas-batas ruang di mana benda-benda itu bertempat di dalamnya (FIS: 204). Sementara mengenai ''waktu'', sesungguhnya waktu adalah ukuran gerak, karena waktu yang akan dan yang dapat mengukur adanya gerakan itu berlangsung, jadi yang diukur adalah kelangsungan suatu gerakan, bukan ukuran bendanya, tetapi gerakannya. Sedangkan ukuran bendanya adalah ruang, sehingga ruang dan waktu pada dasarnya menjadi sebuah keniscayaan bagi suatu yang ada dan yang diciptakan, semuanya berada dalam waktu (FIS: 206). Tentang ''gerak'' atau ''gerakan'', gerak adalah ukuran kehidupan, karena itu sesuatu yang bergerak dapat disebut sesuatu yang hidup, tanpa ada gerakan tidak ada kehidupan. Dalam kaitan ini, maka benda-benda mati yang bergerak disebut hidup, seperti mesin yang bergerak dan menggerakkan disebut mesinnya hidup, bahkan lukisan bisa disebut lukisan yang hidup yang karena indahnya dapat menggetarkan dan menggerakkan perasaan dan hati manusia menjadi lebih peka memahami realitas keindahan. Sifat gerak kehidupan itu mencair dan mengalir. Mencair dalam pengertian selalu mencari bentuk-bentuk sintetik, sedangkan mengalir adalah pergerakan kehidupan yang menuju ke asal usulnya. Oleh karena itu, Alquran menegaskan bahwa kehidupan dijadikan bermula dari air, bumi yang kering karena turun hujan menjadi subur dengan tumbuhnya berbagai tanaman, dan dengan air semua makhluk hidup di dunia ini tergantung kepadanya, bahkan manusia dan hewan juga dijadikan dari cairan sperma (FIS: 208).
* '''Antropologi Islam''' membahas tentang metode memahami hakikat manusia, penciptaan manusia, konsep ruh, kedudukan dan peranan manusia, hakikat, dan tujuan hidup manusia. Ada beberapa cara atau metode yang dapat ditempuh untuk memahami hakikat manusia, dan cara atau metode itu antara lain: ''Pertama'' ialah melalui pendekatan bahasa yaitu bagaimana bahasa dipakai untuk menyebut manusia, apa arti kata manusia, yang secara semantik bisa diusut maknanya, terutama dari asal kata yang dipakai dalam suasana kultur asalnya. Manusia disebut juga sebagai insan yang berasal dari bahasa Arab yaitu kata ''insan'' dari asal kata ''nasiya'', artinya “lupa”, dan jika dilihat dari kata dasar ''al-uns'', maka artinya “jinak”. Dengan demikian kata insan yang dipakai untuk menyebut manusia, karena manusia itu mempunyai sifat lupa, dan jinak artinya manusia selalu bisa menyesuaikan diri dengan keadaan baru di sekitarnya (FIS: 214). Cara ''kedua'' adalah melalui cara keberadaannya yang sekaligus membedakannya secara nyata dengan cara keberadaan makhluk yang lainnya, seperti kenyataan sebagai makhluk yang berjalan di atas dua kaki, dan juga kemampuannya berpikir yang hanya dimiliki manusia, sehingga melalui keberadaan berpikirnya itu, hakikat manusia ditentukan, maka apakah arti berpikir yang menentukan makna keberadaannya itu, karena berpikir merupakan kenyataan yang khas manusia, yang tidak dipunyai oleh makhluk yang lainnya, sehingga kenyataan keberadaannya berpikir, itulah yang menentukan hakikt manusia, yang membedakannya dengan makhluk yang lainnya. Oleh karena itu hakikat manusia adalah ''makhluk yang berpikir'' (FIS: 216). Cara yang ''ketiga'' adalah melalui karya yang dihasilkannya, karena melalui karyanya seseorang menyatakan kualitas dirinya, karena hanya diri yang berkualitaslah yang akan melahirkan karya yang berkualitas pula. Cara pemahaman ini akan membawa pada pemahaman terhadap beberapa ''setting'' kehidupan manusia yang kompleks, dan termasuk di dalamnya antara lain adalah melalui ''setting'' sejarah, yaitu kapan dan di mana seseorang itu melahirkan karyanya itu, dan juga ''setting'' psikologis, yaitu bagaimana situasi emosional dan intelektualnya yang melatarbelakangi hasil karyanya itu, di samping pendekatan bidang keilmuan lainnya yang berkaitan dengan karya-karya seseorang, apakah menyangkut bidang arsitektur, sastra, kesenian pahat, lukis dan pematung ataupun ilmu-ilmu humaniora yang amat luas itu. Oleh karena itu, hakikat manusia ditentukan oleh sejumlah karyanya (FIS: 216-217). Dilihat dari aspek penciptaan manusia, filsafat Islam memandang bahwa penciptaan manusia tidak terdiri dari dua unsur saja yaitu jasmani dan rohani, tetapi berbagai unsur yaitu unsur dari tanah yang membentuk fisik, kemudian unsur air yang membentuk daya hidup dan unsur Ruh Ilahi yang membentuk fungsi pendengaran, penglihatan dn hati nurani. Dengan kata lain, ada tiga hal pokok yang fundamental dalam proses penciptaan manusia, yaitu unsur tubuh, unsur hidup dan unsur ruh (FIS: 222). Dalam pembahasan tentang hakikat manusia, pembahasan yang palik pelik adalah persoalan tentang ruh. Dalam Alquran secara jelas menerangkan bahwa tubuh manusia dibentuk dari tanah, sedangkan daya hidup yang bersifat menggerakkan, tumbuh dan berkembang dimulai dari air, sedangkan ruh yang menjadikan pendengaran, penglihatan dan hati nurani berfungsi, yaitu setelah ruh diberikan kepada manusia, dan ruh ini diberikan ditiupkan langsung dari Tuhan sendiri (FIS: 223-224). Ruh adalah daya spiritual yang ada dalam hati untuk memahami realitas gaib, yang secara organik melengkapi daya pikir untuk memahami ciptaanNya, sehingga dalam kesatuannya dengan daya pikir, merupakan jalan menuju pemahaman kepada Tuhannya (FIS: 228). Dalam konsep filsafat Islam secara utuh, hakikat manusia tidak dilihat kepada unsur-unsur yang membentuk dirinya, pada orientasi berpikir yang mencari substansi pokok yang melatarbelakangi adanya, atau orientasi berpikir pada fokus perhatian pada masa lalunya, tetapi hakikat manusia harus dilihat pada tahapannya sebagai ''nafs'', keakuan, diri, ego, di mana pada tahapan ini, semua unsur membentuk kesatuan diri yang aktual, kekinian dan dinamik, dan aktualisasi kekinian yang dinamik sesungguhnya ada pada perbuatan atau amalnya (FIS: 233-234). Dalam tahapan ''nafs'', hakikat manusia ditentukan oleh kualitas aml, karya dan perbuatannya, bukan ditentukan oleh asal usul keturunannya, kelompok sosial dan golongan, atau pun bidang yang menjadi profesinya (FIS: 235). Dalam konsep filsafat Islam, pada hakikatnya tujuan hidup manusia adalah mencapai perjumpaan kembali dengan Tuhan. Perjumpaan kembali itu tidak bersifat materi, seperti kembalinya air hujan ke laut, dan secara materi manusia memang tidak kembali kepada Tuhan, tetapi kembali ke asal materi yang membentuk jasadnya (FIS: 236). Ketauhidan juga tercermin sebagai jalan untuk berjumpa dengan Tuhan, yaitu jalan menuju pertemuan ''nafs'' terbatas, diri manusia, dengan ''Nafs'' Mutlak, Diri Tuhan, yang hanya dimungkinkan melalui ketauhidan antara iman dan amal saleh, karena dalam Islam, antara iman dan amal saleh adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan, sehingga iman tanpa amal saleh adalah kebohongan. Dengan demikian, sifat perjumpaan dua ''nafs'', yaitu ''nafs'' yang terbatas dengan ''Nafs'' Yang Tak Terbatas, bukan perjumpaan yang statis tetapi perjumpaan yang dinamis yang sarat muatan kreatifitas, dalam dimensi spiritualitas yang bercahaya, sehingga terjadi pencerahan dalam terang cahayaNya (FIS: 237).
* '''Eskatologi Islam''' membahas tentang kematian, hari kiamat dan kebangkitan, kehidupan akhirat, surga dan neraka, serta perjalanan menuju Tuhan. Dalam konsep filsafat Islam, eskatologi sesungguhnya menjadi upaya pemikiran transendental untuk menyingkap kehidupan sesudah mati (FIS: 239). Realitas kematian adalah kepastia, yang tidak bisa ditolak. Setiap orang pasti akan mengalami kematian, suka atau tidak suka, siap atau tidak siap, dan dalam konsep filsafat Islam, kematian adalah awal kehidupan, kematian di dunia menjadi awal kehidupan di akhirat. Akan tetapi pengetahuan dan pengalaman tentang mati masih saja dipenuhi misteri, barangkali karena riset tentang mati tidak pernah bisa dijalani oleh seseorang, dan karena tidak ada orang yang mati dapat hidup kembali (FIS: 243-244). Dalam filsafat Islam, rahasia kematian dan kehidupan ada di tangan Tuhan, bukan di tangan manusia. Manusia tidak lebih sekadar menerima kenyataan keduanya tanpa persetujuannya terlebih dahulu, suka atau tidak suka, terpaksa atau tidak terpaksa, menghidupkan dan mematikan adalah bagian dari kehendakNya dan bagi manusia itu sebagai ujian untuk berkarya lebih baik. Sesungguhnya kehidupan dan kematian adalah pasangan-pasangan tunggal yang tidak bisa saling meniadakan, seperti pasangan siang dan malam, penderitaan dan kebahagiaan, kebenaran dan kesalahan, kesuksesan dan kegagalan, dan bagi iman yang cerdas, dapat memahaminya sebagai penampakan tanda-tanda kebesaran Ilahi yang harus disyukuri. Syukur diwujudkan tidak dengan cara bersukaria menghadapi kesuksesan dan kebahagiaan atau sebaliknya bersedih hati menghadapi kegagalan dan penderitaan, tetapi pada upaya melakukan peningkatan kualitas batinnya untuk menghadapi sesuatu yang akan datang yang mungkin lebih besar lagi (FIS: 245-246). Mengenai kebangkitan kembali, filsafat Islam menawarkan pendekatan ''nafs'' untuk dapat memahaminya, seperti yang dikenalkan Ibnu Sina untuk membuktikan adanya ''nafs'', yaitu dengan adanya alam mimpi atau pengandaian orang bisa terbang. Teori Ibnu Sina ini bisa dikembangkan lebih lanjut untuk memahami adanya kebangkitan kembali dengan melihat aspek transendentalnya ''nafs''. Transendensi ''nafs'' menjadikan kebangkitan itu pasti adanya dan dapat terjadi pada tahapan manusia sebagai ''nafs'', karena ''nafs'' itu sendiri yang berbuat dan yang akan mempertanggungjawabkan amalnya di hadapan Tuhan (FIS: 255). Dalam lanjutan kehidupan di akhirat, muncul dua kondisi yang akan dihadapi, yaitu surga dan neraka. Dalam filsafat Islam, penggambaran secara fisik mengenai surga dan neraka, dengan kebun dan sungai yang indah untuk surga dan api yang membakar habis kulit manusia untuk neraka, lebih bermakna simbolik, karena sesungguhnya bahasa agama lebih diperuntukkan bagi manusia secara umum dalam segala tingkatannya, sehingga pengungkapan secara kebahasaan selalu diwarnai oleh realitas kultural, seperti suasana kebun yang indah dengan sungai yang mengalir, adalah simbol kehidupan ideal bagi masyarakat yang kesehariannya hanya diliputi oleh padang pasir. Akan tetapi keberadaannya pasti dan berlangsung secara gaib, karena harus ada kepastian tegaknya hukum moral dan juga agama, yang secara universal dan natural menegaskan adanya pengadilan yang benar-benar adil yang dijamin Tuhan sendiri akan keadilannya (FIS: 263). Dalam konsep filsafat Islam, kehidupan akhirat adalah kehidupan yang berjangka panjang dan jauh, ibarat sebuah perjalanan jauh, memerlukan terminal-terminal yang merangkaikan tahapan-tahapan perjalanan, baik untuk istirahat, membersihkan diri atau mengisi dan membawa bekal untuk perjalanan berikutnya. Dalam konteks sebuah perjalanan yang jauh, maka hari kiamat, kebangkitan, pengadilan, hukuman dan balasan, baik di surga ataupun neraka adalah bagian dari kehidupan akhirat itu sendiri. Pada hakikatnya kehidupan akhirat adalah perjalanan panjang menuju Tuhan, bukan perjalanan menuju surga atau menghindari neraka. Oleh karena itu, ada seorang sufi yang di dua tangannya, yang satu menggenggam kayu bakar dan yang satunya lagi membawa sekendi air, ketika ditanya mengapa, ia mengatakan apinya untuk membakar surga dan airnya untuk memadamkan neraka, karena keduanya telah menyesatkan umat manusia dari kembali kepada Tuhan, karena sesungguhnya kita semua berasal dari Tuhan dan akan kembali juga kepadaNya, sehingga ketika seseorang menemui adanya orang yang meninggal, maka etikanya ia sebaiknya mengucapkan ''inna lillah wa inna ilaihi rajiun'' (FIS: 264-265).
 
== '''III. Filsafat Ekonomi Islam dan Kesehatan Spiritual''' ==
Buku karya Musa Asy’arie yang terbit pada tahun 2015 adalah ''Filsafat Ekonomi Islam'' – yang kemudian disusul dengan tiga buku terbit di awal tahun 2016, ''Islam: Etika dan Konspirasi Bisnis, Dialektika Islam, Etos Kerja dan Kemiskinan'' dan ''Filsafat Kewirausahaan dan Implementasinya: Negara dan Individu''. Membaca judul ini pada awalnya setiap pembaca akan membayangkan tentang teori atau pemikiran yang sepenuhnya membahas wacana filsafat ekonomi dalam perspektif Islam. Setelah membukanya para pembaca akan disuguhi prinsip-prinsip ''filsafat manusia'' dan ''filsafat agama'' yang menjadi akar filsafat ekonomi Islam itu sendiri. Dengan buku ini pembaca bahkan akan belajar tentang teologi dan kebudayaan.
 
Musa menyampaikan bahwa pada akhirnya argumentasi dan hikmah (pemikiran kefilsafatan) mengenai agama akan menghadapi batas-batasnya sendiri di mana tidak semua ajaran dan perintah agama itu bersifat rasional. Pada titik ini, akal manusia dan batas rasionalitas itu berhenti, dan seseorang memasuki pengalaman batinnya sendiri bahwa soal keagamaan dan ritual pada akhirnya adalah pengalaman batin seseorang sebagai proses berhubungan dengan Tuhannya.
 
Prinsip utama bagi manusia beriman adalah bahwa beragama merupakan hidayah yang diberikan Tuhan, suatu panggilan dan penyerahan diri kepada Tuhannya (FEI: 3). Karena tidak ada satupun agama yang tidak mengajarkan penyerahan diri kepada Tuhan (FEI: 5). Pada hakikatnya, penyerahan diri manusia kepada Tuhan inilah yang menjadi ajaran semua agama, dan tidak ada satupun agama yang tidak menyandarkan dirinya kepada Tuhan, yang tidak mengajarkan penyerahan diri kepada Tuhannya (FEI: 7). Inilah yang menjadi basis teologi Islam yaitu ''teologi Tauhid''.
 
Tauhid menjadi dasar semua ajaran dan praktik keagamaan Islam dalam berbagai aspek kehidupan manusia, baik sosial, politik, ekonomi, budaya, hukum maupun agama (FEI: 8-9). Dalam Islam, pandangan tauhid teologi membawa konsekuensi pada pandangan tauhid kosmologi dan pandangan tauhid antropologi yang pada dasarnya menegaskan bahwa alam semesta dalam kosmik dan antropologi manusia dalam kebudayaan adalah satu juga (FEI: 13). Singkatnya ''tauhid'' merupakan prinsip dasar ajaran Islam yang bukan hanya menyangkut pandangan teologis saja, tetapi juga pandangan kosmologis, antropologis dan kebudayaan (FEI: 23). Secara ontologis, kekuasaan dan kekayaan merupakan produk kehidupan manusia sendiri sehingga manusia sebenarnya mempunyai kedudukan sebagai subjek atas kekuasaan dan kekayaan itu, bukan sebaliknya sebagai objek kekuasaan dan kekayaan (FEI: 23).
 
Pelaksanaan prinsip-prinsip teologi itu tampil dalam ciptaan Tuhan tertinggi sendiri yaitu manusia. Manusia merupakan makhluk ''monodualisme'' dan sekaligus ''monopluralisme''. Manusia itu bukan hanya monodualisme dan unsur teos (ruh Tuhan) dan kosmos (unsur dari saripati tanah dan air yang menjadikannya hidup), tetapi juga monodualisme fungsi sebagai “''abdun''” yaitu hamba Allah, dan “''khalifatullah fil ardi''” yaitu wakil Tuhan di muka bumi (FEI: 92-93). Sedangkan sebagai makhluk monopluralisme, manusia dibentuk dari bagian yang berasal dari theos, kosmos dan juga kebudayaan (FEI: 99). Posisi manusia inilah yang menjadi dasar tindakan ideal pada saat manusia berperan dan berkarya di dunia: hamba dan wakil Tuhan pada saat bersamaan.
 
==== '''a. Tauhid Teologi: Tuhan Persepsi, Tuhan Konsepsi, dan Tuhan Empirik''' ====
Dalam realitasnya, pandangan teologi itu bergerak dari ''Tuhan persepsi'', ''Tuhan konsepsi'', dan akhirnya ke ''Tuhan empirik''. Konsep tentang Tuhan ini terutama tertuang dalam 3 karya Musa, yaitu di buku ''Filsafat Islam Sunnah Nabi dalam Berpikir'', artikel “Pengayaan Spiritualitas Tuhan Empirik”, dan buku ''Filsafat Ekonomi Islam''.
# '''Tuhan Persepsi atau ''Al-Ilah al-Idrakiy''.''' Pada mulanya, manusia bertuhan karena persepsinya sendiri tentang Tuhan, di mana persepsi Tuhan itu dibentuk ketika pada masa kanak-kanaknya merek diajarkan tentang Tuhan. Tuhan dalam pengajaran mereka adalah Tuhan yang dipersepsikan, baik oleh pengajar maupun kepada yang diajar. Dalam kehidupan manusia, teologi Tuhan persepsi itu tidak bisa dihindari dalam setiap pengajaran agama manapun karena keterbatasan manusia sendiri dalam memahami sesuatu, apalagi sesuatu itu adalah Tuhan yang bersifat abstrak, metafisik dan Maha Besar (FEI: 25-26). Tuhan persepsi yang dikembangkan dan kemudian dipelihara dalam tradisi pengajaran tentang Tuhan dalam suatu agama secara turun temurun sebagai warisan sosial telah membuat konflik Tuhan persepsi itu merambah pada konflik sosial politik dan ekonomi yang seringkali mengambil bentuk kekerasan dan peperangan atas nama Tuhan, atas nama agama, yang sebenarnya semua itu merupakan persepsi yang dimutlakkan belaka (FEI: 27). Sejarah telah membuktikan bahwa manusia telah mempersepsikan Tuhan sesuai dengan situasi dan kondisi hidupnya. Tuhan adalah air, udara, api dan tanah, juga ide, realitas faktual, yang terus berubah dalam rangkaian eksistensinya, serta situasi kehidupan yang telah memerangkapnya, maka akan melahirkan persepsi yang berbeda tentang Tuhannya, bahkan dalam keadaan yang penuh kekayaan dan kesenangan, maka ia mengatakan Tuhan telah memuliakan dirinya, dan dalam berbagai keterbatasan hidupnya, maka ia mengatakan bahwa Tuhan telah menghinakan dirinya. Persepsi manusia tentang Tuhan sesungguhnya bukanlah Tuhan itu sendiri. Persepsi manusia sangatlah terbatas, sehingga Tuhan persepsi adalah reduksi terhadap Tuhan secara habis-habisan. Dalam persepsi manusia tentang sesuatu, maka di sana sesungguhnya ada jarak yang terbentang jauh. Persepsi seseorang terhadap sesuatu tidaklah sama, karena sesuatu yang dipersepsikan lebih kompleks. Persepsi seorang anak kepada orang tuanya antara yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda, demikianlah bagi suami dan istrinya, apalagi bagi tetangga-tetangganya. Persepsi mereka pada orang yang sama pada kenyataannya berbeda-beda. Kita perlu mewaspadai, jangan-jangan kita mengabdi dan mempertuhankan persepsi kita sendiri tentang Tuhan, tetapi bukan Tuhan itu sendiri. Persepsi tentang Tuhan dalam sejarah kemanusiaan ternyata telah melahirkan konflik dan pertumpahan darah di mana-mana atas nama Tuhan persepsi, karena mereka menganggap persepsi Tuhannya yang paling benar dan kemudian menghakimi persepsi Tuhan yang lainnya sebagai suatu yang salah, sesat dan kafir, dan menjadi lawan bagi imannya. Pemutlakan persepsi dan penghakiman terhadap persepsi lainnya inilah yang sesungguhnya memicu konflik kekerasan yang berkepanjangan. Persepsi itu terbatas, sedangkan Tuhan tidak terbatas. Tidak ada satu pun yang bisa diserupakan dengan Tuhan, dan persepsi adalah penyerupaan Tuhan seperti dalam persepsinya sendiri yang sebenarnya tidak mutlak dan tidak boleh dimutlakkan. Persepsi tentang Tuhan adalah penyerupaan atau pengandaian saja dan bukan Tuhan itu sendiri. Pada dasarnya tidak ada larangan untuk mempersepsikan Tuhan, tetapi harus diyakini bahwa persepsi tentang Tuhan adalah bukan Tuhan itu sendiri. Artinya persepsi itu harus diletakkan dalam ruang yang terbuka, relatif dan berubah sesuai dengan perubahan situasi dan kondisi yang mempersepsikannya. Perlu ada kesadaran diri bahwa persepsi tentang Tuhan adalah bukan Tuhan itu sendiri. Kecenderungan seseorang untuk mengabdi, menyembah dan mempertuhankan persepsinya harus direlatifkan. Karena itu, diperlukan kesadaran bahwa Tuhan yang ada dalam persepsinya itu sangat terbatas, sedangkan Tuhan tidak terbatas, sehingga tidak boleh dimutlakkan, apalagi untuk menghakimi orang lain yang berbeda persepsi dengannya sebagai sesat dan kafir.
# '''Tuhan Konsepsi atau ''Al-Ilah al-Aqliy''.''' Dalam perkembangan selanjutnya, dalam dunia pendidikan yang semakin tinggi, teologi Tuhan persepsi berkembang ke dalam medan pemikiran filsafat dengan berspekulasi mendefinisikan dan mengkonsepsikan tentang Tuhan. Tuntutan adanya konsep tentang Tuhan adalah tuntutan yang rasional yang juga tidak bisa dihindari dalam dunia pendidikan dan pengajaran agama manapun. Setelah melewati Tuhan persepsi, seseorang memasuki pemahaman Tuhan konsep yaitu sebuah upaya rasional dan spekulatif sehingga hasilnya tentu tidak bisa dimutlakkan kebenarannya karena sesuatu yang rasional itu sesuai dengan penalaran manusia sendiri, di mana setiap individu mempunyai batas-batas rasionalnya masing-masing (FEI: 27). Dalam dunia ilmiah, suatu konsepsi selalu dimulai dari definisi, yaitu suatu batasan pengertian dari objek kajiannya yang bersifat fisik, terukur, teruji dalam ruang dan waktu tertentu. Berdasarkan fakta-fakta atau batasan-batasan itu, maka analisis dilakukan dan dikembangkan sehingga membentuk teori-teori yang terus diujicobakan. Dunia ilmiah terusik dan tergoda memasuki wilayah yang tak terbatas, dan ingin merumuskan konsepsi Tuhan. Maka Tuhan pun dikonsepsikan sebagai Maha Pencipta. Logika penciptaan seperti yang terjadi dalam dunia ilmiah, selalu ada persyaratan di dalamnya sehingga suatu penciptaan itu menjadi mungkin. Tanpa adanya persyaratan itu, maka penciptaan itu tidaklah mungkin. Jika Tuhan dikonsepsikan sebagai yang Maha Pencipta, maka terjadi paradoks antara konsepsi dan realitas, karena konsepsi itu dibangun berdasarkan batasan pengertian atas realitas itu, sedangkan realitas Tuhan tidak akan pernah bisa diatasi oleh apa pun dan siapa pun. Karena itu, konsepsi tentang Tuhan akan mengandung bias di dalamnya. Itulah sebabnya ajaran agama kemudian menjelaskan bahwa Tuhan menciptakan sesuatu tetapi tidak terikat oleh logika penciptaan. Tuhan menciptakan dari tidak ada menjadi ada, menciptakan dari kekosongan, bahkan tidak tergantung pada proses dan waktu.
# '''Tuhan Empirik atau ''Al-Ilah Al-Amaliy''.''' Pada karya sebelumnya ''Filsafat Islam'', Musa belum memasukkan pandangan tentang “Tuhan Empirik” ini. Justru dalam ''Filsafat Ekonomi Islam'' dan dalam artikel sebelumnya yaitu “Pengayaan Spiritualitas Tuhan Empirik” rumusan tentang “Tuhan Empirik” dijelaskan. Dalam Tuhan empirik, Dia hadir di kehidupan seseorang, dan kehadiran Tuhan itu begitu nyata dalam kehidupannya sehingga pengalamannya bertuhan adalah pengalaman yang nyata dan diyakini kebenarannya sebagai sebuah pengalaman yang mutlak bagi dirinya (FEI: 28). Pada dimensi Tuhan empirik ini terjadi akumulasi yang panjang dari perjalanan teologi Tuhan persepsi, konsepsi dan menjadi pengalaman kehadiran Tuhan yang secara empirik dirasakannya sebagai anugerah yang besar dalam kehidupan nyata yang dijalaninya. Inilah puncak pengalaman teologi tauhid yang mengantarkan manusia bertemu dengan Tuhannya (FEI: 29). Bagi manusia yang ber-Tuhan, maka pernyataan ber-Tuhan itu menunjukkan adanya suatu pengetahuan dan pengalaman, dan dapat diandaikan seperti suatu perjalanan mendaki, diperlukan persepsi dan konsepsi Tuhan itu untuk menuju pada puncak Tuhan yang otentik. Tetapi persepsi dan konsepsi itu bukan puncak Tuhan yang hendak dicapainya. Sebagaimana yang digambarkan Alquran tentang keinginan Nabi Musa di kaki bukit Turisina (sekarang Gunung Sinai) untuk melihat Tuhan yang otentik. Sesungguhnya manusia itu sangat terbatas, baik hidupnya, kemampuan maupun tempat dan waktunya, tetapi ada keinginan yang kuat untuk melawan keterbatasan itu, sehingga ia ingin hidup seribu tahun lagi, bahkan ingin menjadi keabadian. Karena itu, manusia tidak pernah bisa menggapai kemutlakan, tidak bisa menjadi yang mutlak dan tidak pernah menempati yang mutlak. Tetapi batas ini selalu ingin dilanggarnya, sehingga ketika ia berkuasa ingin memutlakkan kekuasaannya, dan ketika memperoleh pengetahuan ia pun ingin memutlakkan pengetahuannya, dan menempatkan yang berbeda sebagai lawan, bahkan dengan kekuasaannya ia pun bertindak sewenang-wenang. Pada hakikatnya ber-Tuhan itu dapat menjadi pengalaman empirik yang menggetarkan, di mana seseorang menjalani jejak-jejak Tuhan dalam kehidupannya dan bersama kehidupan semua yang ada, baik di daratan, di lautan maupun di langit, karena sesungguhnya tidak ada kehidupan sama sekali. Dengan menapaki jejak-jejak Tuhan itu, maka manusia berkenalan secara pribadi dengan Tuhan yang otentik dalam pengalaman empirik yang menggetarkan hatinya. '''Tuhan otentik adalah Tuhan sebagaimana yang difirmakanNya sendiri tentang Dirinya''', melalui firman-firmannya yang kita yakini dari Tuhan. Dan Tuhan seperti yang difirmankan tentang DiriNya itu berhubungan secara empirik dengan manusia dalam dialog seperti tanpa sekat dan jarak dari dua pribadi dengan menggunakan kata “diriku” dan “dirimu”. Pada tahap hubungan pribadi antara diri manusia dan Diri tuhan melalui pengalaman empirik, maka posisi Tuhan adalah lebih dekat daripada urat leher manusia sendiri, maka posisi Tuhan adalah lebih dekat daripada urat leher manusia sendiri. Dalam posisi berhubungan sebagai pribadi melalui ber-Tuhan empirik yang bersifat dinamis dan transformatif, maka Tuhan mempercayakan amanat kepada manusia untuk menjadi wakil Tuhan di bumi atau ''khalifatullah fil-ardli''. Pada tahap khalifah ini, maka manusia berhadapan dengan Tuhan sebagai sesama subjek yang berbuat dan mencipta, jika Tuhan menciptakan malam, maka manusia membuat lampu untuk menerangi kegelapan malam. Jika Tuhan menciptakan besi, maka manusia menempanya membentuk menjadi perkakas bagi keperluan kehidupannya. Jika Tuhan mencipta dari tidak ada menjadi ada, maka manusia membentuk dari apa yang ada menjadi bentuk baru yang diinginkannya. Hal ini dapat diartikan bahwa Tuhan telah memberikan mandat kepada manusia untuk meneruskan penciptaan di muka bumi, yang kemudian membentuk peradaban dan kebudayaan. Peradaban dan kebudayaan dalam konteks ini diletakkan sebagai konsekuensi logis dari mandat yang diberikan Tuhan kepada manusia untuk menambahkan pada ciptaanNya secara kreatif dan inovatif. Peradaban dan kebudayaan adalah nilai tambah dari ciptaanNya yang hanya mungkin dikembangkan dengan pengetahuan konseptual yaitu sains dan teknologi. Mandat itu selalu mengandung konsekuensi di dalamnya mengenai pertanggungjawaban dan tuntutan moral, di mana dengan peradaban dan kebudayaan itu, manusia tidak boleh merusak kehidupan yang ada di muka bumi ini.
 
'''b. Tauhid Kosmologi'''
 
Pada hakikatnya, kosmologi merupakan kesatuan dan menjadi satuan yang bergerak dialektik sesuai dengan sunnatullah yang perkasa dan abadi. Tauhid kosmologi menegaskan ada prinsip kesatuan dan keharmonisan dalam kehidupan kosmologi yang kesemuanya mencerminkan keindahan dan keabadian yang sempurna (FEI: 34).
 
'''c. Tauhid Antropologi'''
 
Realitas hidup manusia adalah realitas ciptaan, bukan pencipta. Manusia ada karena diciptakan oleh Tuhan. Sebagai bagian dari kosmologi, maka proses kejadian antropologi juga menjadi bagian dari proses kejadian kosmologi dalam genggaman sunnatullah yang abadi, sejak dari lahir dan menjalani kehidupannya sampai akhirnya ajal menjemputnya dengan kematian yang tidak bisa ditolaknya (FEI: 35).
 
'''d. Tauhid Kebudayaan'''
 
Kebudayaan adalah wujud dari dialektika kreatif manusia untuk menjawab persoalan hidup manusia yang dihadapkan kepadanya. Karena itu, dalam setiap kebudayaan, selalu ada trilogi dimensional, yaitu dimensi teologis, kosmologis dan antropologis yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya dalam setiap kebudayaan, baik dalam proses maupun dalam produknya (FEI: 46). Dalam setiap kebudayaan, selalu ada dimensi teologis yang menjadi dasar dari sistem nilai dalam kehidupan manusia, baik logika, etika maupun estetika. Dimensi kosmologis adalah yang menjadi ruang dan waktu bagi kebudayaan, serta dari bahan yang tersedia dalam kosmologi semua kebudayaan diciptakan dan dibentuk menjadi suatu produk kebudayaan. Sedangkan dimensi antropologis dalam kebudayaan menempatkan manusia sebagai subjek kreatif dalam kebudayaan. Karena itu, setiap kebudayaan dalam segala proses dan bentuknya selalu berdimensi teologi, kosmologi dan antropologi (FEI: 48).
 
Islam sebagai gerakan kultural pada dasarnya lebih menekankan keterbukaan dan dialog untuk mencari bentuk sintetik baru yang lebih baik, dan berbasis pada ''akhlaqu-l-karimah'' yaitu memperkuat dan mempertinggi budi pekerti, sehingga kelangsungan hidup masyarakat lebih terjaga.
 
'''e. Kesehatan Spiritual dalam Tuhan Empirik'''
 
Spiritualitas adalah dimensi yang dalam dari kehidupan suatu agama, menjadi substansi dari ajaran suatu agama, sedangkan ritual agama adalah sebagai jalan menuju yang substansial dari agama itu sendiri. Spiritualitas itu membuat seorang beragama peduli pada nasib anak yatim, nasib orang miskin, mempunyai komitmen yang kuat pada moralitas universal dan kemanusiaan.
 
Namun ketika dalam perekmbangannya agama kemudian melembaga dalam kehidupan masyarakat menjadi institusi sosial, dan pada tahap agama menjadi institusi sosial itu, maka institusi agama itu dapat melepaskan agama dari dimensi spiritualitasnya, karena agama sebagai institusi sosial bersentuhan dengan kepentingan duniawi dan terseret dalam kepentingan politik kekuasaan dan bisnis untuk menumpuk kekayaan. Akibatnya ritual agama hanya sebatas ritual saja tidak mencapai kedalam spiritualitas agama. Institusi agama akhirnya jatuh menjadi alat kepentingan politik kekuasaan dan bisnis.
 
Di dalam fenomena sosial yang ada menunjukkan suatu paradoks yang besar, di mana dalam masyarakat kita yang dikenal taat beragama tetapi dalam kenyataannya perilaku korupsi dan tindakan kekerasan, bahkan peluruhan karakter dalam berbagai sektor kehidupan terus berlangsung, maka salah satu penyebabnya adalah keberagaman yang ada dalam kehidupan masyarakat telah terlepas dari dimensi spiritualitas agama. Ritus agama hanya berhenti pada rutinitas yang tidak terkait dengan spiritualitas.
 
Spiritualitas agama sebenarnya menyatu dalam spiritualitas manusia, dan berada dalam dimensi batin kepribadiannya, menjadi kekuatan yang tak pernah kering untuk selalu bersyukur atas nikmatNya, menjadikan dirinya tenang dan tidak takut sedikit pun terhadap ancaman apa pun, tidak pernah kehilangan harapan dalam kehidupan yang penuh pergolakan, dan terus mendorongnya untuk tidak pernah putus asa melakukan penyempurnaan dalam kehidupannya dan akhirnya dapat menjemput kematian dengan suka cita, sebagai jalan pembebasan dan jalan mendaki untuk pencapaian cinta Ilahi.
 
'''''Tuhan empirik''''' memberikan pengalaman spiritual bagi seseorang dengan menjalani laku kebaikan dalam kesalihan sosial yang nyata untuk dapat berjumpa dengan Tuhannya, yaitu dengan melibatkan dirinya dalam proses kegiatan Penciptaan Tuhan di muka bumi. Dengan demikian, perjumpaan dengan Tuhan dicapai tidak dalam ruang yang sepi, sendiri dan menjauh dari keramaian dunia. Bukan dengan menumbuhkan sikap egois yang hanya memikirkan dirinya sendiri, mengurung dan menyepi untuk ketenangan dirinya sendiri, bukan dengan kata-kata, tapi dengan perbuatan yang nyata.
 
'''''Perjumpaan dengan Tuhan sesungguhnya bukan meleburnya dua pribadi menjadi satu''''', dalam kesatuan yang tak terpisahkan, dan kemudian menjadi persatuan yang mengakhiri sebuah proses. Perjumpaan dengan Tuhan merupakan penyatuan spirit yang dinamis dan transformatif untuk terus melakukan perubahan kualitas hidup jangka panjang yang tanpa ada akhirnya, karena kematian hanya perpindahan tempat dan ruang belaka, bukan akhir dari kehidupan spirit Ilahi.
 
Dalam Tuhan empirik, maka pengalaman pribadi manusia yang berhubungan secara dialektik dengan Pribadi Tuhannya akan menjadikan realitas perbedaan, keanekaragaman dan perubahan yang terus menerus dalam kehidupannya akan menjadi proses pengayaan terhadap spirituaitasnya sendiri. Tuhan empirik membentuk pribadi manusia menjadi kuat, mandiri, kreatif dan penuh harapan. Tuhan empirik membuat manusia sehat secara spiritual. Pengalaman perjumpaan dengan Tuhan adalah pengalaman yang bermakna peradaban yang memacu kreatifitas manusia untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik, lebih sejahtera dan lebih manusiawi, penuh harmoni dan tidak merusak lingkungan hidup.
 
Jika manusia menyatakan dirinya telah berjumpa dengan Tuhan dan menyatu dalam spiritNya, maka pernyataan perjumpaan itu harus dibuktikan dalam realitas perbuatan yang makin baik, makin bermanfaat dan memberikan nilai tambah, baik bagi dirinya, kelarganya maupun kepada masyarakatnya. Penyatuan diri dalam spirit Tuhan adalah pemihakan pada nilai-nilai kebenaran, kebaikan dan keadilan, serta melibatkan dirinya di dalam perjuangan untuk mewujudkannya dalam realitas kehidupan masyarakat.
 
Karena itu, assesmen kesehatan spiritual tidak bisa dilepaskan dari realitas kehidupan masyarakat, di mana kesehatan spiritual tidak dilihat di dalam ruang yang hampa, tetapi dapat dilihat pada emihakan seseorang yang kuat pada perjuangan untuk mewujudkan kebenaran, kebaikan dan keadilan. Keberpihakan kepada kaum yang miskin, kaum dhu’afa, mereka yang terpinggirkan dan mereka yang dizalimi. Kesehatan spiritual adalah membangun harmoni kehidupan bersama. Mencintai Tuhan adalah mencintai segala ciptaanNya yang ada. Bukan cinta yang egoistik yang hanya untuk memenuhi hasrat romantisme berTuhan belaka.
 
Istilah Tuhan Persepsi (''al-Illah al-Idraky''), Tuhan Konsepsi (''al-Illah al-‘Aqliy'') dan Tuhan Empirik (''al-Illah al-Amaliy'') adalah istilah yang dipakai Musa ketika menjelaskan soal hubungan agama dan spiritualitas. Kita yang sudah membaca karya-karya Karen Amstrong tentang Tuhan tampak jelas terbatas pada pembahasan Tuhan Konsepsi dan Tuhan Persepsi. Tuhan Empirik merupakan suatu istilah baru meskipun substansi pembicaraannya sudah berlangsung lama. Andrew Newberg –seorang ahli otak dan ahli instrument kedokteran SPECT—misalnya menggunakan istilah ''Absolutely Transcendence'' dalam istilah Robert Cloninger. Saat ini seperti ada kebutuhan mendesak untuk memahami lebih jauh dan dalam soal Tuhan Empirik ini. Setidaknya dalam ilmu-ilmu perilaku, seperti psikologi dan psikiatri.
 
== Rumusan Filsafat Ekonomi Islam ==
Persoalan ekonomi sebagai bagian dari kebudayaan pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari prinsip trilogi kebudayaan dalam aspek ekonomi, yaitu teologi ekonomi, kosmologi ekonomi dan antropologi ekonomi. Dalam pandangan Islam, visi tauhid itu harus secara nyata terintegrasikan dalam wawasan ekonomi (FEI: 57). Dalam perspektif integralisme tauhid, ekonomi Islam didasarkan pada beberapa prinsip:
# Ekonomi Islam menolak pemutlakan dalam kepemilikan karena semua kepemilikan seseorang sebenarnya diperoleh melalui proses yang melibatkan kekuatan di luar dirinya (melibatkan orang lain). Kejadian dan kelahiran manusia di dunia ini sudah mewarisi kemampuan kreatif dalam ruang kosmik di mana kegiatan ekonomi itu berlangsung, dan kegiatan ekonomi hanya dapat direalisasikan dengan melibatkan orang lain di dalamnya.
# Ekonomi Islam menolak pemusatan peredaran uang yang hanya beredar untuk kelompok tertentu saja. Kondisi ini dapat mempertajam kesenjangan ekonomi, yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin dan terpinggirkan.
# Ekonomi Islam didasarkan pada prinsip keadilan dan pemerataan untuk kesejahteraan dan kemakmuran bersama. Semua orang mempunyai peluang yang sama, dan tidak boleh ada monopoli usaha dan bisnis. Satu-satunya monopoli yang dibolehkan adalah pemilikan sumber daya alam yang menjadi kebutuhan pokok rakyat dimiliki oleh negara untuk kepentingan seluruh rakyatnya.
# Ekonomi Islam bertujuan untuk menjaga martabat dan harga diri manusia sebagaimana yang ditegaskan dalam ''[[maqasid al-syari’ah]]''.
# Ekonomi Islam menempatkan kreatifitas dan teknologi maju yang dalam realisasinya berada dalam kerangka etika Islam yang bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan dn kebermanfaatan hidup bersama yang adil dan makmur.
# Ekonomi Islam untuk mengembangkan jiwa enterpreneur sebagai jalan untuk mengatasi kemiskinan. Enterpreneur sebagai wujud nyata dari tanggung jawab manusia sebagai khalifah yang dibekali dengan kemampuan kreatif untuk membuka peluang kehidupan yang sejahtera lahir dan batin untuk menolong sesamanya.
# Ekonomi Islam menempatkan uang bukan sebagai tujuan hidup manusia, apalagi dipertuhankannya. Dalam integralisme tauhid, manusia dilarang untuk menghamba pada ciptaannya sendiri. Seorang muslim dilarang menghamba pada uang, pada ilmu dan teknologi yang diviptakan sendiri oleh manusia sebagai alat untuk meningkatkan kualitas hidup bersama.
# Ekonomi Islam mengajarkan keharusan untuk mencari rizki yang halal, thayyib, manfaat, dan berkah karena keyakinan kelak di akhirat akan dimintai pertanggungjawaban atas rezeki yang didapatnya (FEI: 63 & 272-273).
Tujuan ekonomi Islam secara ''teologis'' adalah bagian dari ibadah kepada Tuhan dengan cara menggali potensi ekonomi yang ada dalam semua ciptaan Tuhan. Secara ''kosmologis'', kegiatan ekonomi selalu berlangsung dalam ruang kehidupan kosmik.. Ekonomi Islam seharusnya diselenggarakan dalam keseimbangan kosmik yang terjaga. Secara ''antropologis'', kegiatan ekonomi selalu berlangsung dalam realitas kehidupan manusia yang satu dengan yang lainnya yang saling membutuhkan, bekerja sama dan saling bergantung (FEI: 155-156).
 
Selanjutnya konsep kepemilikan dalam ekonomi Islam meliputi:
# '''Kepemilikan Hidup'''. Hidup manusia adalah hidup yang terbatas. Jarak antara mati dan hidup itu adalah batas yang amat pendek. Manusia itu semula beradal dari kumpulan benda-benda yang mati, kemudian dihidupkan, dan kemudian dimatikan lagi untuk selanjutnya dihidupkan lagi di akhirat nanti (Alquran 22:66: ''Dan Dialah Allah yang telah menghidupkan kamu, kemudian mematikan kamu, kemudian menghidupkan kamu (lagi), sesungguhnya manusia itu, benar-benar sangat mengingkari nikmat''). Hidup dan mati adalah ketentuan Tuhan. Manusia diberikan hidup, tetapi juga diberikan kepastian mati. Pada hakikatnya, hidup dan mati adalah urusan dan hak Tuhan, bukan hak manusia, dan urusan manusia adalah bagaimana ia merawat dan menggunakan hidup yang sudah diberikan kepadanya sesuai dengan ajaran dan hukum Tuhan yang telah menciptakannya (FEI: 159-161). Dalam konteks ekonomi yang menjadi ciri kehidupan manusia sesungguhnya hanya berlangsung dalam kehidupan di dunia dengan mencari dan menemukan kegiatan yang produktif, memanfaatkan apa yang tersedia dalam alam semesta seisinya agar manusia dapat meneruskan kehidupannya dengan baik (FEI: 167).
# '''Kepemilikan Kekuasaan'''. Kekuasaan sesungguhnya adalah konsekuensi logis dari hidup dan kehidupan yang diberikan Tuhan kepada manusia secara bersamaan dengan diberikannya hidup dan kehidupan kepada manusia. Dengan sendirinya manusia juga diberikan kemampuan, kebebasan dan kekuasaan untuk dapat mengisi, menggunakan hidup dan kehidupannya sesuai dengan keinginannya sendiri. Jadi, kekuasaan itu melekat pada hidup dan kehidupan manusia itu sendiri (Alquran 9:116: ''Sesungguhnya kepunyaan Allahlah kerajaan langit dan bumi. Dia menghidupkan dan mematikan. Dan sekali-kali tidak ada pelindung dan penolong bagimu'' ''selain Allah.'' Jika hidup manusia berada dalam ruang dan waktu yang terbatas, demikian juga kekuasaan manusia yang selalu terbatas dalam ruang dan waktu hidup dan dalam interaksi kehidupan manusia (FEI: 170). Sesungguhnya, di dalam dirinya sendiri kekuasaan mempunyai nilai tinggi, mulia dan merupakan amanat. Betapa tinggi dan mulianya kekuasaan itu sehingga para pemegangnya disyaratkan harus mempunyai kepribadian unggul dan mulia, seperti adil, jujur, cerdas, berakhlak mulia, dapat dipercaya serta sehat jasmani dan ruhani. Tidak sembarang orang boleh memikul, mengemban dan menjalankan amanat kekuasaan. Plato mensyaratkan pemimpin negara harus dipegang para filsuf, karena para filsuflah yang paling tahu hakikat kebenaran, etika dan kearifan, dan diharapkan seorang kepala negara dapat menjalankan kekuasaannya sesuai kebenaran, keadilan dan kearifan untuk kepentingan rakyat.
# '''Kepemilikan Harta Kekayaan'''. Harta dan kekayaan manusia secara ekonomi adalah hasil yang diperoleh dari kegiatan ekonomi dan bisnis yang dapat berupa uang, surat-surat berharga, perusahaan dan asetnya, serta barang-barang lainnya, baik yang bergerak mau pun yang tidak bergerak. Kegiatan ekonomi bisnis yang menghasilkan kekayaan itu selalu berkaitan dengan: a) Kreatifitas manusia yang diberikan Tuhan kepadanya, b) benda-benda di alam semesta yang diciptakan Tuhan dan kemudian diolah manusia menjadi suatu produksi barang atau jasa, dan c) orang lain di luar diri manusia yang terlibat dalam memajukan kegiatan ekonomi dan bisnisnya. Ketiga-tiganya pada dasarnya berasal dari luar diri manusia (FEI: 177).
# '''Kepemilikan antara Hak dan Kewajiban'''. Kepemilikan itu bersifat terbatas sehingga dalam setiap kepemilikan harta kekayaan, di dalamnya selalu ada hak dan kewajiban yang harus dijalankan manusia secara seimbang (FEI: 179). Dengan hak kepemilikan atas harta kekayaannya, seseorang dapat menggunakannya untuk memenuhi segala kebutuhannya, hak untuk mewujudkan kesejahteraan hidupnya karena semua yang diciptakan Tuhan di dunia ini diperuntukkan bagi manusia untuk mewujudkan suatu kemakmuran hidup (FEI: 181).
Di dalam ekonomi Islam terdapat beberapa aspek penting yang saling berkaitan dan mendukung, yaitu:
# '''Aspek Sosial'''. Dalam pandangan Islam, pada dasarnya manusia itu bersaudara karena berasal dari jiwa yang satu dan menjadi umat yang satu untuk mengembangkan kerja sama dan saling membantu dalam kebaikan dan ketakwaan. Karena itu, sikap dasar yang harus dikembangkan sebagai umat yang satu dan berasal dari diri yang satu adalah kerja sama dan saling membantu dalam kebaikan dan ketakwaan, bukan kerja sama dalam permusuhan dan perbuatan dosa (FEI: 188-190). Aspek sosial ekonomi Islam adalah untuk membangun solidaritas sosial yang dianjurkan Alquran sebagai landasan untuk memperkuat solidaritas ekonomi untuk meningkatkan kerja sama ekonomi dan bisnis dalam kebaikan dak ketakwaan, serta untuk menjauhi solidaritas ekonomi untuk perbuatan buruk dan permusuhan dalam persaingan ekonomi dan bisnis yang tidak sehat. Karena itu, solidaritas sosial ini seharusnya menjadi dasar tumbuh kembangnya solidaritas ekonomi (FEI: 193).
# '''Aspek Politik'''. Dalam realitas kehidupan di masyarakat, fenomena sosial menunjukkan bahwa kegiatan ekonomi sering berkaitan dengan kegiatan politik, bahkan tidak dapat dipisahkan (FEI: 202). Islam memberikan ruang yang luas untuk demokrasi politik dan demokrasi ekonomi agar tidak terjadi pemusatan kekuasaan pada seseorang dan kelompoknya (FEI: 207). Aspek politik ekonomi Islam adalah upaya untuk membangun keseimbangan antara demokrasi ekonomi dan demokrasi politik untuk menghindari konspirasi politik ekonomi yang destruktif yang dapat membawa negara ke dalam konflik yang terus menerus. Kesenjangan yang makin tajam harus diatasi untuk mencegah demoralisasi politik yang makin meluas yang akan mengancam eksistensi kelangsungan hidup negara itu sendiri (FEI: 211).
# '''Aspek Kebudayaan'''. Kebudayaan adalah manusia karena tanpa manusia tidak akan pernah ada kebudayaan. Karena itu, kebudayaan adalah penjelmaan eksistensi diri manusia seperti yang terjadi dalam kehidupan manusia (FEI: 212). Aspek kebudayaan ekonomi Islam terletak pada pengembangan daya kemampuan dan kreatifitas manusia untuk mengembangkan ilmunya mewujudkan kebaikan, kesalehan dan kesejahteraan hidup bersama. Kemampuan kreatif berdasarkan moralitas atau akhlakul karimah menjadi dasar bagi terbentuknya kegiatan ekonomi dan bisnis. Ekonomi Islam mendorong terbentuknya jiwa enterprener yang seimbang antara kecerdasan sebagai seorang khalifah dan ketaatan moralitas sebagai ''‘abdullah'' atau hamba Allah. Aspek kebudayaan ekonomi Islam adalah pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam mengolah sumber-sumber kehidupan ekonomi (FEI: 218).
# '''Aspek Hukum'''. Kegiatan ekonomi dan bisnis Islam dalam berbagai bentuknya harus mencari yang halal dan thayyib serta menjauhkan yang haram dan khabais agar setiap kegiatan ekonomi dan bisnis yang dijalankan memperoleh berkah dari Tuhan (FEI: 219). Di balik ketentuan ketentun syariat itu, terdapat hikmah atau tujuan dari syariat yang seringkali dikenal dengan ''maqashid syariah'' yang dalam fikih dirumuskan sebagai tujuan syariat untuk menjaga lima hal, yaitu: a) menjaga agama, b) menjaga jiwa, c) menjaga keturunan, d) menjaga akal pikiran, dan e) menjaga harta benda (FEI: 221).
# '''Aspek Agama'''. Agama adalah jalan menuju Tuhan, jalan untuk mendekati Tuhan, jalan untuk mendapatkan rahmat, berkah dan ampunan-Nya. Dalam agama, terdapat tata cara bagaimana menempuh jalan itu. Di dalamnya ada ritus, doa dan pemujaan. Agama adalah jalan penyerahan diri kepada Tuhan. Semuanya dianggap dan diterima sebagai perintah dan petunjuk yang harus dijalani. Dasarnya adalah keyakinan dan kepercayaan. Karena itu, ketaatan manusia pada agama adalah ketaatan yang otentik, tidak dibuat-buat, tanpa syarat (FEI: 236). Aspek agama dalam ekonomi Islam bukan hanya memandang kegiatan ekonomi dan bisnis sebagai suatu jalan pengabdian manusia kepada Tuhannya, berbuat kebaikan untuk sesamanya, tetapi juga, dalam upacara peribadatan agama terdapat banyak aspek yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi dan bisnis. Dalam agama, ada upacara ritual yang biasanya melahirkan kegiatan ekonomi dan bisnis di dalamnya karena dalam ritual yang melibatkan banyak orang, maka manusia memerlukan makanan, penginapan, transportasi, pakaian dan seterusnya yang berkaitan dengan kelengkapan ritual itu (FEI: 239). Karena aspek agama dalam ekonomi yang makin maju dan kompleks, maka aspek agama dalam bisnis harus dikembangkan lebih praktis dalam kegiatan ekonomi dan bisnis yang ada, yang dirumuskan dalam etika bisnis. Melalui etika bisnis, dapat dilihat apakah program siaran keagamaan di televisi dan juga ceramah keagamaan lainnya dapat dianggap sebagai kegiatan bisnis, atau kegiatan dakwah atau kegiatan keduanya (FEI: 241).
# '''Aspek Kewirausahaan'''. Ekonomi Islam dikembangkan dalam kehidupan masyarakat dengan berbasis pada jiwa dan semangat enterpreneur. Jiwa enterpreneur adalah jiwa “tangan di atas bukan tangan di bawah”. Jiwa enterpreneur adalah jiwa seorang khalifah Tuhan di muka bumi yang dipikul Adam AS yang kemudian diteruskan oleh keturunannya untuk meneruskan penciptaan dengan kemampuan kreatifnya yang tinggi (FEI: 242). Aspek kewirausahaan ekonomi Islam dikembangkan berdasarkan kemampuan kreatif manusia sebagai pencipta yang dimungkinkan karena kemampuan akalnya yang hanya diberikan Tuhan kepada manusia, bukan kepada makhluk Tuhan yang lainnya. Kemampuan kreatif yang didasarkan pada penguasaan ilmu pengetahuan yang diajarkan Tuhan kepada Adam As yang kemudian dikembangkan oleh anak keturunannya menjadi konsep-konsep ilmiah, suatu kemampuan intelektual yang kemudian menjadi dasar pembentukan konsep ilmu pengetahuan yang melahirkan teknologi. Nabi Adam As sesungguhnya menjadi bapak enterpreneur yang sejati, menjadi peletak dasar kemampuan konseptual untuk meneruskan tugas penciptaan di muka bumi yang mandiri, optimis, peduli dan visioner (FEI: 243). Enterpreneur adalah karakter untuk mandiri, kreatif, optimis, peduli dan visioner untuk melihat dan memperbaiki nasib manusia ke depan. karakter yang tidak pernah putus asa karen putus asa adalah pembunuh jiwa enterpreneur sejati yang muncul dari perilaku dan sikap manusia yang ingkar, kufur atas nikmat Tuhan, perilaku yang tidak mau bersyukur atas anugerah Tuhannya (FEI: 244). Seorang enterpreneur adalah seorang yang terus mengembara, mencari celah dan peluang baru untuk mendapatkan keutamaan Allah, suatu rezeki halal yang akan memuliakan dirinya. Tidak hanya berhenti pada shalat, tetapi shalatnya menjadi landasan pengembaraannya di seantero jagad raya untuk menggali dan mendapatkan keutamaan atau rezeki Tuhan dengan berdagang mendapatkan rezeki yang baik, bukan untuk melakukan penipuan (FEI: 245).
# '''Aspek Uang'''. Aspek uang dalam ekonomi Islam berhubungan dengan pencegahan dan pengendalian uang sebagai kekuatan simbolik yang riil untuk tidak dipertuhankan karena kalau uang sudah dipertuhankan, akan terjadi kemusyrikan dan akan menimbulkan kekacauan fundamental dalam hidup manusia (FEI: 251). Aspek keuangan ekonomi Islam seharusnya ditekankan pada bagaimana konsep dan strategi keilmuannya dapat mencegah terjadinya pemusatan keuangan oleh pusat-pusat kekuasaan yang ada di dunia ini. Bagaimana merumuskan kebijakan strategis dalam bidang keuangan yang dapat mengurangi kesenjangan yang makin tajam dalam kehidupan masyarakat (FEI: 253). Konsep riba yang dilarang di dalam Islam pada hakikatnya bukan bersifat teknis yang menyangkut jasa keuangan dan pengelolaannya, tetapi larangan penuhanan uang sebagai alat pelipatgandaan kekuasaan dan penajaman kesenjangan sosial. Biaya jasa keuangan, pengelolaan serta kredit sektor produktif yang tingkat keuntungannya melebihi biaya jasa keuangan dengan berbagai istilahnya dalam ekonomi Islam –yang biasanya dengan menggunakan istilah Arab—masih dapat diterima sepanjang tidak merugikan. Biaya jasa keuangan untuk kredit sektor produktif masih bisa diterima daripada digunakan untuk keperluan konsumsi yang tidak sepantasnya dikenai biaya dan telah menjadi ranah zakat, infak dan sedekah. Aspek keuangan ekonomi Islam kiranya perlu diarahkan agar tidak terjadi penuhanan uang yang akan mengancam secara fundamental kemurnian iman seorang muslim. Fenomena sosial yang meletakkan uang sebagai tujuan hidup telah menghancurkan integritas seorang muslim dengan berani mempertaruhkan martabat dirinya lewat korupsi dan menjual diri (FEI: 253-254).
# '''Aspek Distribusi'''. Masalah distribusi dalam ekonomi suatu bangsa dan negara adalah masalah ''political will'' dari pemerintah yang ada agar pendapatan suatu negara bisa didistribusikan secara adil untuk mewujudkan keadilan dan kemakmuran sehingga tidak terpusat pada kelompok-kelompok tertentu dan wilayah-wilayah tertentu, sedangkan wilayah dan kelompok lainnya tak terjangkau sehingga menciptakan kesenjangan, ketimpangan dan penderitaan bagi yang tak terjangkau (FEI: 254). Aspek distribusi dalam ekonomi sesungguhnya merupakan kewajiban bagi para pemimpin pemerintahan agar kebijakan yang diambil pemerintahan sesuai dengan prinsip yang berkeadilan dalam mewujudkan pemerataan kemakmuran bagi rakyatnya (FEI: 256).
# '''Aspek Konsumsi'''. Dalam kehidupan modern dewasa ini, fenomena sosial dari kehidupan yang konsumtif dan berkemewahan telah menjadi tren baru di kalangan orang-orang yang kaya secara material dan finansial, tetapi miskin secara spiritual. Bahkan terjadi perlombaan kemewahan yang diperlihatkan secara terbuka sehingga wajah kesenjangan ekonomi itu terasa menyakitkan, terutama bagi orang-orang yang berpenghasilan rendah dan termiskinkan (FEI: 259). Aspek konsumsi dalam ekonomi Islam dikembangkan dalam konsep kesederhanaan, keseimbangan dan tidak melampaui batas. Konsep kesederhanaan antara yang satu dengan yang lainnya mungkin berbeda ukuran, tetapi apapun perbedaan ukuran itu, bukan berarti menghilangkan substansi kesederhanaan itu sendiri yaitu tidak berlebihan sehingga menciptakan kemubaziran (FEI: 262).
# '''Aspek Perburuhan'''. Persoalan perburuhan adalah persoalan yang kompleks dan dinamis karena seringkali memunculkan konflik kepentingan antara para buruh atau pekerja dengan pihak perusahaan atau investor dan pengusahanya. Fenomena sosial ekonomi di berbagai belahan dunia menunjukkan perusahaan-perusahaan berpindah dari satu negara ke negara lainnya, antara lain karena pertimbangan perburuhan, baik yang berkaitan dengan upahnya maupun kualitas sumber daya manusia di kalangan kaum buruh atau pekerjanya. Aspek perburuhan atau ketenagakerjaan dalam ekonomi Islam memandang kaum buruh atau pekerja bukan sebagai alat produksi, tetapi sebagai mitra yang harus diperlakukan secara manusiawi dan mempunyai posisi sebagai mitra kerja untuk mencari keuntungan bersama. Karena itu, sebagai mitra kerja, buruh atau pekerja adalah bagian dari harga jual produksi juga sebagai bagian dari keuntungan perusahaan yang diberikan melalui berbagai jaminan sosial (FEI: 263). Hakikat manusia adalah apa yang dikerjakannya sehingga penghargaan atas manusia harus didasarkan pada kualitas pekerjaannya, bukan asal usul keturunannya, suku bangsa, bahasa dan juga pendidikannya (FEI: 266). Aspek perburuhan dan ketenagakerjaan ekonomi Islam dibentuk dalam budaya persaingan yang sehat, tolong menolong dalam kebaikan dan menjauhi tolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan, menjauhi konspirasi dan rekayasa desktruktif (FEI: 266-267).
 
== '''IV. Beberapa Pokok Pemikiran Lain''' ==
'''Hakikat Agama'''
 
Pada umumnya, agama diyakini pemeluknya sebagai sesuatu yang datang dari Tuhan. Karena itu, bersifat suci, mutlak, dan harus diterima kebenarannya tanpa syarat apa pun. Agama menuntut penyerahan total dari pemeluknya. Pada tahap ini, sikap keberagamaan mempunyai kecenderungan yang irasional dan dapat mendorong perilaku dan tindakan yang emosional. Dalam sejarah kehidupan sosial, konflik agama dalam tahapan pemahaman demikian, akan melahirkan gerakan radikal dan tindakan yang keras, bahkan di luar batas yang dapat diterima akal sehat, seperti pembakaran dan pembunuhan. Yang lebih tragis, ketika semua tindakan kekerasan dan pembunuhan itu mendapat legitimasi agama, sehingga bagi pelakunya tidak merasa berdosa.
 
Pandangan bahwa agama datang dari Tuhan tentu saja tidak salah dan tidak bisa disalahkan. Namun pandangan demikian, tidak boleh mengabaikan kenyataan, agama diberikan Tuhan untuk manusia. Agama untuk manusia bukan manusia untuk agama. Agama untuk membela nasib manusia dari kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan, bukan manusia untuk agama atau membela agama. Jika kita meyakini, agama adalah dari Tuhan, maka Tuhan sendiri yang akan menjaga dan membelanya. Ini berarti, realitas manusia harus dilihat sebagai prasyarat untuk memahami dan merealisasikan setiap ajaran agama dalam kehidupannya.
 
Pada hakikatnya agama adalah jalan hidup menuju Tuhan, dan Tuhan yang menjadi tujuan dan yang menciptakan hidup, manusia, dan agama itu adalah Tuhan yang satu pula. Bisa saja masing-masing agama menyebut-Nya berbeda, baik istilah, bahasa maupun nama-Nya. Tetapi, bukan berarti perbedaan istilah, bahasa dan nama itu menegaskan adanya banyak Tuhan. Keharmonisan dan keselarasan alam semesta menandakan hanya Ada Satu Penciptanya dan tidak dua, apalagi banyak jika ada banyak Tuhan, pastilah alam semesta ini akan mengalami kekacauan dan kerusakan, karena masing-masing Tuhan mempunyai kehendak dan kuasa-Nya sendiri-sendiri.
 
'''Firman dan Kebenaran Mutlak'''
 
Dalam pandangan Alquran (lihat Alquran 31:40 dan 59:7) posisi kodrat manusia di muka bumi, baik secara individual maupun kolektif (masyarakat atau bangsa) tidak pernah mampu menggenggam kemutlakan (kebenaran dan kekuasaan). Oleh karena itu, mobilitas dan pergeseran dinamis dari kekuasaan harus dapat berjalan secara mulus, damai bergiliran, bergantian dan berbagi sesamanya. Sementara kebenaran pada hakikatnya tidak dapat dimonopoli oleh manusia maupun siapa pun, baik secara perorangan maupun kolektif.
 
Oleh karena itu, setiap bentuk pemutlakan, baik kekuasaan maupun kebenaran, pada hakikatnya bertentangan dengan kodrat manusia itu sendiri. Seseorang boleh meyakini kebenarannya sendiri, bahkan boleh saja mengklaim sebagai kebenaran mutlak, akan tetapi klaim atas kebenaran mutlak itu hanya diperbolehkan untuk dirinya sendiri, bukan untuk pihak lain, karena dalam realitas aktual kehidupan, masing-masing individu dibatasi oleh indivual yang lainnya. Oleh karena itu, Alquran (lihat Alquran 49:13 dan 5:48) secara tegas meletakkan pluralitas (suku, agama, kebudayaan) sebagai realitas kehidupan eksistensinya harus tetap dijaga dan dipelihara, melalui pembagian sikap saling pengertian, saling menghargai dan kesediaan untuk bermusyawarah atas persoalan-persoalan yang dihadapi bersama di dalam kehidupan bermasyarakat.
 
Dalam kehidupan masyarakat agama memahami sebuah firman, maka sebuah firman selalu diletakkan sebagai suatu kebenaran mutlak. Kemudian firman semata-mata karena kemutlakan Tuhan yang berfirman. Oleh karena itu, semua masyarakat agama memandang firman Tuhan adalah mutlak kebenarannya. Kemutlakan firman sepenuhnya berlaku internal, yaitu ke dalam firman itu sendiri. Sementara itu, pemahaman dan penafsiran manusia terhadap firman dan penafsiran ada jarak yang ditentukan oleh kapasitas seseorang dalam memahami suatu firman. Penafsiran firman karena bersumber pada manusia, maka kebenarannya bersifat nisbi, relatif.
 
'''Kekuasaan dan Kehancuran Sosial'''
 
Sebagai negara yang sedang mempraktikkan kehidupan berdemokrasi adalah wajar jika kekuasaan publik secara terbuka diperebutkan warganya, melalui partai-partai politik yang ada. Tentu dengan memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, baik yang berkait administrasi, tingkat pendidikan, moralitas, kapabilitas maupun dengan kepeduliannya dengan nasib rakyat. Dengan harapan agar seseorang dapat menjalankan kekuasaan publiknya dengan adil dan benar. Kehidupan demokrasi bukanlah kebebasan liar yang apa saja boleh dilakukan seseorang.
 
Kekuasaan publik memang menggetarkan banyak orang, karena kekuasaan itu seakan-akan dapat memberikan segala-galanya kepada yang memiliki, seperti kehormatan, kekayaan, kewibawaan dan kesenangan. Ketika pentas kekuasaan digelar, seorang penguasa dielu-elukan dengan pujian, ditempatkan pada tempat terhormat, dilayani semua keperluannya, dengan harapan dapat menyenangkannya. Kekuasaan menjadi berubah, tidak lagi menjadi amanat publik yang harus dijalankan dengan adil dan benar untuk kepentingan rakyat. Kekuasaan dengan sendirinya menjadi ancaman bagi kepentingan publik, karena di dalam pengelolaan kekuasaan, telah muncul menjadi pusat penumpukan kekayaan dan sarat muatan KKN.
 
'''Demokrasi dan Kemiskinan'''
 
Demokrasi bukanlah sesuatu yang begitu saja turun dari langit dan selesai. Demokrasi bukan cetakan sekali jadi, tetapi merupakan proses panjang yang melelahkan dan meminta pengorbanan tidak kecil. Belajar demokrasi di tengah kemiskinan rakyat, dapat menjadi anarkhi dan membahayakan kehidupan masyarakat itu sendiri. Jika perbedaan dan pertikaian pendapat tidak menemukan titik temu, maka terjadilah konflik berkepanjangan yang mengambil bentuk kekerasan, sehingga tidak ada bedanya lagi antara demokrasi dengan kekacauan dan anarkhisme.
 
'''Konspirasi Destruktif Pengusaha, Politisi, dan Militer'''
 
Konspirasi destruktif kekuatan ekonomi, politik, dan militer dapat berdampak buruk bagi kebebasan rakyat untuk mampu memilih pemimpinnya secara bebas dan mendorong keberaniannya untuk melakukan ''political exercise'' yang amat diperlukan bagi berkembangnya budaya demokrasi. Pemilihan umum untuk memilih presiden secara langsung di bawah tekanan konspirasi destruktif kekuatan ekonomi, politik, dan militer, hanya akan melahirkan pemimpin yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat kecil yang memilihnya. Pemilu hanya akan menjadi ritus demokrasi yang tidak mampu menumbuhkan demokratisasi pemerintahan, guna mengabdi dan melayani kepentingan rakyat.
 
Rasanya harapan tinggal pada revolusi akal budi rakyat, yang harus dibangun melalui proses pendidikan yang membebaskan dan mencerahkan. Hegemoni kekuasaan konspirasi ekonomi, politik, dan militer tampaknya hanya mungkin dihentikan bila ada revolusi akal budi rakyat. Para ilmuwan, cendekiawan, dan rohaniwan harus bersatu menyatukan langkah guna melakukan perlawanan dan penentangan habis-habisan atas konspirasi destruktif, politik, dan militer, dan jangan sampai jatuh di bawah kekuasaan konspiratifnya.
 
'''Pendidikan Yang Antirealitas'''
 
Pada hakikatnya, ilmu merupakan objektivitas intelek terhadap realitas yang ditangkap dalam suatu momen kehidupan tertentu, baik ruang maupun waktu, yang diabstraksikan melalui logika dan diformulasikan menjadi rumusan dalil atau teori. Pada tahap ini harus dipahami, realitas yang ditangkap intelek itu berubah terus, dinamis dan bersifat terbatas, baik dari sudut waktu, ruang, maupun bidangnya. Suatu teori bersifat sementara, sebab realitas yang dicerapnya selalu dalam keadaan berubah, sehingga validitasnya bersifat sementara pula. Karena itu, yang lebih diperlukan bukan menghapal teori-teori, tetapi pemahaman yang tepat terhadap realitas itu sendiri, agar tidak terjadi kecenderungan menghapal teori-teori tentang realitas, sementara realitasnya sendiri sudah berubah, sehingga tidak memadai untuk mengatasi realitas yang ada.
 
Pendidikan kita sebenarnya kurang memberi ilmu sebagai proses, tetapi hanya ilmu sebagai produk, dengan memindahkan teori-teori para ilmuwan ke pikiran anak didik untuk dihapalkan. Masalah bagaimana ilmuwan itu melahirkan teori-teorinya, tidak pernah dapat dimengerti secara benar. Kegalauan intelektual yang mendorong seorang ilmuwan melakukan pergumulan dengan realitas melalui berbagai pendekatan, metodologi, dan pengujian untuk dapat mengungkapkan fakta dan kebenaran di balik suatu realitas, tidak pernah menggugah kesadaran pikiran anak didik.
 
Pendidikan sekolah seharusnya dikembalikan kepada realitas dinamika masyarakatnya, bukan menjadi menara gading yan tercerabut dari akar kehidupan masyarakatnya sendiri. Pendidikan sekolah bukan untuk mengajarkan mimpi dan antirealitas, tetapi menjadi bagian yang sah dari realitas hidup masyarakatnya sendiri untuk mencari jawab atas proses dialektik yang terus bergolak dalam kehidupan masyarakatnya. Kecenderungan pendidikan yang antirealitas, mendorong menguatnya feodalisme baru yang memuja gelar akademik hanya untuk menaikkan status dan gengsi sosial, sehingga jual beli gelar akademik menjadi laris di mana-mana.
 
== Kontribusi Gagasan ==
Untuk mengubah paradigma pendidikan sekolah harus ada kebijakan pendidikan yang radikal, dengan mengubah secara fundamental pendidikan, sebagai subjek dinamik realitas kehidupan masyarakat, sehingga anak didik dapat memahami realitas secara utuh, benar, dan tepat.
Jika bagi umat Islam selama ini telah menempatkan pribadi Rasulullah SAW, sebagai rujukan bagi keteledanan hidup seorang muslim, sebagaimana dijelaskan oleh [[Alquran]] sebagai ''Ushwatun Hasanah'', maka keteladanan itu bagi Musa Asy’arie, juga ada pada keteladanan berpikir. Seharusnya Rasulullah SAW., juga menjadi teladan berpikir bagi umat Islam, apalagi Rasulullah SAW dikenal mempunyai kecerdasan yang tinggi (''fathonah''), sehingga umat Islam dalam berpikirnya tidak perlu diombang-ambingkan ke barat atau ke timur. Pemikiran inilah yang kemudian dituliskan oleh Musa Asy’arie dalam bukunya "Filsafat Islam ; Sunnah Nabi dalam Berpikir".
 
== Karier dan Pekerjaan ==
Baris 261 ⟶ 93:
* Direktur Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tahun 2001 – 2005.
* Ketua Program Magister Studi Islam UMS 1995-2002.
* PenasihatPenasehat Khusus Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia, Bidang Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah, tahun 2002 – 2004
* Direktur Lembaga Studi Filsafat Islam (LESFI) Yogyakarta.
* Ketua Umum Koperasi Batur Jaya, Klaten, Jawa Tengah, tahun 1989 – 1993.
Baris 278 ⟶ 110:
'''BUKU'''
* '''''Filsafat Ekonomi Islam''''', Yogyakarta, 2015
* '''''BerpikirBerfikir Multidimensional Dalam Islam''', Yogyakarta, MBM, 2009''
* '''''BerpikirBerfikir Multidimensional Keluar Dari Krisis Bangsa''', Yogyakarta, MBM, 2009
* '''''Manusia Multidimensional Perspektif Qur'anik''', Yogyakarta, MBM, 2009
* "'''''NKRI, Budaya Politik dan Pendidikan'''''", Yogyakarta, LESFI, 2005
Baris 286 ⟶ 118:
* '''''Dialektika Agama Untuk Pembebasan Spiritual''''', Yogyakarta, LESFI, 2001
* '''''Keluar Dari Krisis Multi Dimensional''''', Yogyakarta, LESFI, 2001
* '''''Filsafat Islam Sunnah Nabi dalam Berpikir''''', Yogyakarta, LESFI, 1999
* '''''Filsafat Islam tentang Kebudayaan''''', Yogaykarta, LESFI-Institut Logam, 1997
* '''''Islam Etos Kerja dan Budaya Jawa''''', ''dalam Ruh Islam dan Budaya Bangsa: Aneka Budaya di Jawa'' Yogyakarta, LESFI, 1996
Baris 297 ⟶ 129:
* Editor, '''''Agama Kebudayaan dan Pembangunan''''', Yogyakarta; IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988
* Editor,'''''Islam, Kebebesan dan Perubahan Sosial''''',Jakarta, Sinar Harapan, 1986
 
 
'''ARTIKEL'''
Baris 304 ⟶ 137:
* "Candu Kekuasaan", Harian Kompas,16 Januari 2010.
* "Dekontruksi Sosial Idul Fitri", Harian Kompas, 29 September 2008.
* "Mas Tono, Selamat Jalan, Kita Jumpa di Jalan Spriritualitas" , Harian Kompas, 28 Januari 2003.
* "Reformasi dan Pembusukan Birokrasi Kekuasaan", Harian Kompas, 22 Januari 2002.
* "Teologi Perang, Justifikasi Kekarasan atas Nama Tuhan", Harian Kompas, 07 Februari 2003.
Baris 313 ⟶ 146:
* "Politik, Kekuasaan dan Hati Nurani", harian Kompas, 12 Agustus 2002.
* "Konstitusi dan Kemandegan Budaya Politik", harian Kompas, 24 September 2002.
* "Akar Masalah Terorisme: Dapatkah Perpu atau UU Mengatasinya" , Harian Kompas, 01 November 2002.
* "Keadaan Darurat Perang Melawan Korupsi atau Revolusi Kebudayaan", dalam Kompas, Selasa, 16 Januari 2001.
* "Megawati dan Politik Hati Nurani", dalam Kompas, Jumat, 16 Februari 2001.
Baris 322 ⟶ 155:
* “Absurditas Politik Kekuasaan”, harian Kompas, 27 Juni 2001.
* “Reformasi Sampai Mati, Telah Mati, atau Harus Mati”, dalam harian Kompas, 24 Juli, 2001.
* “Presiden Megawati dan Tantangan Negara Kesatuan”, harian Kompas ,4 September 2001
* “Gerakan Ekonomi Persyarikatan Muhammadiyah: Menguak Potensi Daerah & Peningkatan PAD” dalam Jawa Pos, Rabu Legi, 5 April 2000.”
* “Agama dan Pergeseran Politik Kekuasaan”, dalam Kompas, 14 April 2001.
Baris 368 ⟶ 201:
* [http://www.padepokanmusaasyarie.or.id/home.html]
 
 
{{Kotak_mulai}}
{{Kotak_mulai}}
{{Kotak_suksesi |jabatan = [[Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta]] |tahun = [[2010]] - |pendahulu = [[Amin Abdullah|Prof. Dr. HM. Amin Abdullah]] |pengganti=
{{Kotak_suksesi |jabatan = [[Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta]] |tahun = [[2010]] - |pendahulu = [[Amin Abdullah|Prof. Dr. HM. Amin Abdullah]] |pengganti =}}
[[Prof. Drs. H. Akh. Minhaji, MA. Ph.D]]
{{Kotak_selesai}}
 
{{DEFAULTSORT:Asy'arie, Musa}}
 
[[Kategori:Filsuf Indonesia]]
[[Kategori:Tokoh dari Pekalongan]]