Hamka: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k orangtua → orang tua |
Kata Sumatra tidak baku, saya sunting menjadi Sumatera |
||
Baris 31:
}}
'''[[Profesor|Prof.]] [[Honoris Causa|DR.]] [[Haji (gelar)|H.]] Abdul Malik Karim Amrullah''' gelar '''Datuk Indomo''', pemilik [[nama pena]] '''Hamka''' ({{lahirmati|[[Sungai Batang, Tanjung Raya, Agam|Nagari Sungai Batang]], [[Tanjung Raya, Agam|Tanjung Raya]], [[Kabupaten Agam]], [[
Dibayangi nama besar ayahnya [[Abdul Karim Amrullah]], Hamka sering melakukan perjalanan jauh sendirian. Ia meninggalkan pendidikannya di [[Sumatra Thawalib|Thawalib]], menempuh perjalanan ke Jawa dalam usia 16 tahun. Setelah setahun melewatkan perantauannya, Hamka kembali ke Padang Panjang membesarkan Muhammadiyah. Pengalamannya ditolak sebagai guru di sekolah milik Muhammadiyah karena tak memiliki diploma dan kritik atas kemampuannya berbahasa Arab melecut keinginan Hamka pergi ke [[Mekkah]]. Dengan bahasa Arab yang dipelajarinya, Hamka mendalami [[sejarah Islam]] dan sastra secara otodidak. Kembali ke Tanah Air, Hamka merintis karier sebagai wartawan sambil bekerja sebagai guru agama di Deli. Dalam pertemuan memenuhi kerinduan ayahnya, Hamka mengukuhkan tekadnya untuk meneruskan cita-cita ayahnya dan dirinya sebagai ulama dan sastrawan. Kembali ke Medan pada 1936 setelah pernikahannya, ia menerbitkan majalah ''[[Pedoman Masyarakat]]''. Lewat karyanya ''[[Di Bawah Lindungan Ka'bah (novel)|Di Bawah Lindungan Ka'bah]]'' dan ''[[Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck]]'', nama Hamka melambung sebagai sastrawan.
|