Sunan Gunung Jati: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
LaninBot (bicara | kontrib)
k ibukota → ibu kota
LaninBot (bicara | kontrib)
k Perubahan kosmetik tanda baca
Baris 38:
Syarif Hidayatullah adalah putera dari Syarif Abdullah Umdatuddin bin Ali Nurul Alam yang menikah dengan Nyi Mas Rara Santang puteri dari Jayadewata yang bergelar [[Sri Baduga Maharaja]] yang setelah menikah dengan Syarif Abdullah bergelar ''Syarifah Mudaim''. Ayah Syarif Hidayatullah adalah seorang penguasa Mesir, putera dari Ali Nurul Alim bin [[Jamaluddin Akbar al-Husaini]], seorang keturunan dari [[Sayyid Abdul Malik Azmatkhan]] (India) dan Alwi Ammul Faqih (Hadhramaut).
 
Pada masa lalu terdapat puluhan naskah yang menjelaskan tentang silsilah Syarif Hidayatullah yang diklaim oleh beberapa pihak dan menimbulkan kesimpangsiuran sehingga pada masa pertemuan agung para cendekiawan, sejarahwan, bangsawan dan alim ulama senusantara dan mancanegara ([[bahasa Cirebon]] : Gotra sawala) pertama yang dimulai pada tahun 1677 di [[Cirebon]] maka Pangeran Raja (PR) Nasiruddin (bergelar Wangsakerta) mengadakan penelitian dan penelusuran serta pengkajian naskah-naskah tersebut bersama para ahli-ahli dibidangnya. Hasilnya pada tahun 1680 disusunlah kitab Negara Kertabumi yang didalamnya memuat bab tentang silsilah Syarif Hidayatullah (Tritiya Sarga) yang sudah diluruskan dari kesimpangsiuran klaim oleh banyak pihak.
 
=== Pelurusan sejarah silsilah dalam Negara Kertabumi<ref name=nasiruddin>Pangeran Raja (PR) Nasiruddin. 1680. Negara Kertabumi. [[Cirebon]] : [[kesultanan Cirebon]]</ref> ===
 
Pelusuran sejarah tentang asal-usul Syarief Hidayatullah telah dilakukan oleh Pangeran Raja (PR) Nasiruddin dengan melakukan penelitian terhadap naskah naskah yang ada dengan dibantu oleh para ahli di bidangngnya dalam pertemuan agung Gotra Sawala pertama di [[Cirebon]], penelusuran tersebut menghasilkan sebuah kitab yang diberi nama Negara Kertabhumi yang memuat bab tentang silsilah Syarief Hidayatullah dalam Tritiya Sarga, isinya sebagai berikut ;
Baris 137:
* Kanjeng Sinuhun Carbon / Syarif Hidayatullah Sunan Gunungjati
 
=== versi kitab Purwaka caruban Nagari<ref>Pangeran Raja (PR) Aria Cirebon. 1720. Purwaka caruban Nagari. [[Cirebon]] : [[kesultanan Kacirebonan]]</ref> ===
 
* Nabi Muahammad SAW
Baris 213:
=== Syiar Islam ke Banten dan pendirian kesultanan Banten ===
 
Pada masa awal kedatangannya ke Cirebon, Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) bersama dengan Pangeran Walangsungsang sempat melakukan syiar Islam di wilayah Banten yang pada masa itu disebut sebagai ''Wahanten'', Syarif Hidayatullah dalam syiarnya menjelaskan bahwa arti ''jihad'' (perang) tidak hanya dimaksudkan perang melawan musuh-musuh saja namun juga perang melawan hawa nafsu, penjelasan inilah yang kemudian menarik hati masyarakat ''Wahanten'' dan ''pucuk umum'' <ref>Nafsiah, Siti. 2000. Prof. Hembing pemenang the Star of Asia Award : pertama di Asia ketiga di dunia. [[Jakarta]] : Gema Insani Press</ref>(penguasa) ''Wahanten Pasisir''. Pada masa itu di wilayah ''Wahanten'' terdapat dua penguasa yaitu Sang Surosowan (anak dari prabu Jaya Dewata atau Silih Wangi) yang menjadi ''pucuk umum'' (penguasa) untuk wilayah ''Wahanten Pasisir'' dan Arya Suranggana yang menjadi ''pucuk umum'' untuk wilayah ''Wahanten Girang''.<ref>Ekajati, Edi Suhardi, Etti R. S, Abdurrahman. 1991. Carita Parahiyangan karya Pangeran Wangsakerta : ringkasan, konteks, sejarah, isi naskah, dan peta. [[kota Bandung|Bandung]] : Yayasan Pembangunan Jawa Barat</ref>
 
Di wilayah ''Wahanten Pasisir'' Syarif Hidayatullah bertemu dengan Nyai Kawung anten (putri dari Sang Surosowan), keduanya kemudian menikah dan dikaruniai dua orang anak yaitu Ratu Winaon (lahir pada 1477 m) dan Pangeran [[Maulana Hasanuddin]] (Pangeran Sabakingkin : nama pemberian dari kakeknya Sang Surosowan) yang lahir pada 1478 m.<ref name=iskandar1>Iskandar, Yoseph. 2005. Sejarah Jawa Barat. Bandung : Geger Sunten</ref> Sang Surosowan walaupun tidak memeluk agama Islam namun sangat toleran kepada para pemeluk Islam yang datang ke wilayahnya.
 
Syarif Hidayatullah kemudian kembali ke kesultanan Cirebon untuk menerima tanggung jawab sebagai penguasa kesultanan Cirebon pada 1479 setelah sebelumnya menghadiri rapat para wali di Tuban yang menghasilkan keputusan menjadikan Sunan Gunung Jati sebagai pemimpin dari para wali.
Baris 225:
Persekutuan [[kesultanan Cirebon]] dan [[kesultanan Demak]] ini sangat mencemaskan Jaya dewata ([[Siliwangi]]) di Pakuan. Tahun 1512, ia mengutus putera mahkota Surawisesa menghubungi Panglima Portugis Afonso de Albuquerque di Malaka yang ketika itu baru saja gagal merebut Pelabuhan Pasai milik Kesultanan Samudera Pasai.<ref name=zahorka1>Zahorka, Herwig. 2007. The Sunda Kingdoms of West Java, From Tarumanagara to Pakuan Pajajaran with Royal Center of Bogor, Over 1000 Years of Propsperity and Glory. [[Jakarta]]. Yayasan Cipta Loka Caraka</ref>
 
Pada tahun 1513 m, [[Tome Pires]] pelaut Portugis menyatakan dalam catatannya bahwa sudah banyak dijumpai orang Islam di pelabuhan [[Banten]]<ref>Michrob, Drs Halwani, Drs A. Mudjahid Chudori. 1993. Catatan Masa Lalu Banten. [[kota Serang|Serang]] : Penerbit Saudara</ref>
 
Syarif Hidayatullah mengajak putranya [[Maulana Hasanuddin]] untuk berangkat ke [[Mekah]],<ref name=pudjiastuti1>Pudjiastuti, Titik. 2007. Perang, Dagang, Persahabatan: Surat-surat Sultan Banten. [[Jakarta]] : Yayasan Obor Indonesia</ref> sekembalinya dari [[Mekah]] Syarif Hidayatullah dan puteranya yaitu [[Maulana Hasanuddin]] kemudian melakukan dakwah Islam dengan sopan, ramah serta suka membantu masyarakat sehingga secara sukarela sebagian dari mereka memeluk dan taat menjalankan agama Islam, dari aktivitas dakwah ini di wilayah Banten, Syarif Hidayatullah dikenal dengan nama ''Syekh Nurullah'' (Syekh yang membawa cahaya Allah swt),<ref>Firdaus, Endang. 2009. Cerita Rakyat dari Serang. [[Jakarta]] : Grasindo</ref> aktivitas dakwah kemudian dilanjutkan oleh [[Maulana Hasanuddin]] hingga ke pedalaman ''Wahanten'' seperti gunung Pulosari di [[kabupaten Pandeglang]] dimana ia pernah tinggal selama sekitar 10 tahun untuk berdakwah kepada para ''ajar'' (pendeta), gunung Karang, gunung Lor, hingga ke Ujung Kulon dan pulau Panaitan<ref>Tim Balitbang dan Diklat Kementrian Agama Republik Indonesia. 2007. Kepemimpinan kiai-jawara: relasi kuasa dalam kepemimpinan tradisional religio-magis di pedesaan Banten. [[Jakarta]] : Kementrian Agama Republik Indonesia</ref> dengan pola syiar yang kurang lebih sama seperti yang dilakukan ayahnya.
 
Pada tahun 1521, Jaya dewata (prabu [[Siliwangi]]) mulai
Baris 234:
Pada tahun 1521 untuk merealisasikan persahabatan tersebut Jaya dewata ([[Siliwangi]]) mengirim beberapa utusan ke Malaka di bawah pimpinan Ratu ''Samiam'' (Surawisesa), mereka berusaha meyakinkan bangsa Portugis bagi suatu persahabatan yang saling menguntungkan antara [[kerajaan Sunda]] dan [[Portugis]]. Surawisesa memberikan penawaran kepada Portugis untuk melakukan perdagangan secara bebas terutama lada di pelabuhan-pelabuhan milik [[kerajaan Sunda]] sebagai imbalannya, Surawisesa mengharapkan bantuan militer dari Portugis apabila kerajaan Sunda diserang oleh [[kesultanan Demak]] dan kesultanan Cirebon dengan memberi hak kepada Portugis untuk membangun benteng.<ref name=zahorka1/>
 
Pada tahun 1522 Gubernur [[Alfonso d'Albuquerque]] yang berkedudukan di Malaka mengutus Henrique Leme untuk menghadiri undangan raja Sunda Surawisesa (dalam naskah Portugis disebut sebagai Raja Samiam)<ref>Pusat Studi Sunda. 2006. Mencari gerbang Pakuan dan kajian lainnya mengenai budaya Sunda. [[kota Bandung|Bandung]] : Pusat Studi Sunda</ref> untuk membangun benteng keamanan di Sunda Kalapa guna melawan orang-orang Cirebon yang menurutnya bersifat ekspansif
 
Pada tanggal [[21 Agustus]] [[1522]] dibuatlah suatu perjanjian yang menyebutkan bahwa orang Portugis akan membuat loji (perkantoran dan perumahan yang dilengkapi benteng) di Sunda Kelapa<ref>De Haan, Frederik. 1932. Oud Batavia. [[Den Haag]] : Antiquariaat Minerva</ref> dan Banten, sedangkan Sunda Kelapa akan menerima barang-barang yang diperlukan. Raja Sunda Surawisesa akan memberikan kepada orang-orang Portugis 1.000 keranjang lada sebagai tanda persahabatan, sebuah batu peringatan atau ''[[padraõ]]'' (dibaca : Padraun) dibuat untuk memperingati peristiwa itu. [[Prasasti Perjanjian Sunda-Portugal|Padrão dimaksud]] disebut dalam cerita masyarakat [[Sunda]] sebagai Layang Salaka Domas dalam cerita rakyat [[Mundinglaya Dikusumah]], dari pihak [[kerajaan Sunda]] perjanjian ditandatangani oleh ''Padam Tumungo'' (yang terhormat Tumenggung), ''Samgydepaty'' (Sang Depati), ''e outre Benegar'' (dan bendahara) ''e easy o xabandar'' (dan Syahbandar) <ref>Heuken, A. 1982. Historical Sites of Jakarta. [[Jakarta]]. Yayasan Cipta Loka Caraka</ref> Syahbandar Sunda Kelapa yang menandatangani bernama Wak Item dari kalangan muslim Betawi, dia menandatangani dengan membubuhkan huruf Wau dengan Khot.<ref name=eramuslim1>[http://m.eramuslim.com/berita/tahukah-anda/mengkritisi-peran-fatahillah-di-jakarta.htm Ridyasmara, Rizki. 2008. Mengkritisi Peran Fatahilah di Jakarta. [[Jakarta]] : Era Muslim]</ref>
 
==== Penguasaan [[Banten]] ====
 
Pada tahun 1522,<ref name=pudjiastuti2>Pudjiastuti, Titik 2000, 'Sadjarah Banten: suntingan teks dan terjemahan disertai tinjauan aksara dan amanat. [[Depok]] : Universitas Indonesia</ref> Maulana Hasanuddin membangun kompleks istana yang diberi nama keraton Surosowan, pada masa tersebut dia juga membangun alun-alun, pasar, masjid agung serta masjid di kawasan Pacitan.<ref>Untoro, Heriyanti Ongkodharma, 2007. Kapitalisme Pribumi Awal Kesultanan Banten 1522 - 1684. [[Depok]] : Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia</ref> Sementara yang menjadi ''pucuk umum'' (penguasa) di ''Wahanten Pasisir'' adalah Arya Surajaya (putra dari Sang Surosowan dan paman dari [[Maulana Hasanuddin]]) setelah meninggalnya Sang Surosowan pada 1519 m. Arya Surajaya diperkirakan masih memegang pemerintahan ''Wahanten Pasisir'' hingga tahun 1526 m.<ref>Effendy, Khasan. Sumanang Rana Dipaprana. 1994. Pertalian keluarga raja-raja Jawa Kulon dengan Keraton Pakungwati: Sunan Gunung Djati muara terakhir keluarga raja-raja Jawa Kulon. [[kota Bandung]] : Indra Prahasta</ref>
 
Pada tahun 1524 m, Sunan Gunung Jati bersama pasukan gabungan dari kesultanan Cirebon dan [[kesultanan Demak]] mendarat di pelabuhan [[Banten]]<ref>Hendarsyah, Amir. 2010. Cerita Kerajaan Nusantara. [[Yogyakarta]] : Great Publisher</ref> Pada masa ini tidak ada pernyataan yang menyatakan bahwa ''Wahanten Pasisir'' menghalangi kedatangan pasukan gabungan Sunan Gunung Jati sehingga pasukan difokuskan untuk merebut ''Wahanten Girang''
 
Dalam Carita Sajarah Banten dikatakan ketika pasukan gabungan [[kesultanan Cirebon]] dan [[kesultanan Demak]] mencapai ''Wahanten Girang'', ''Ki'' Jongjo (seorang kepala prajurit penting) dengan sukarela memihak kepada [[Maulana Hasanuddin]]<ref>[http://m.bantenhits.com/babad-banten/2767/banten-girang-jejak-peradaban-banten-yang-berkembang Syahdana, Darussalam Jagad. 2013. Banten Girang Jejak Peradaban Banten yang Berkembang. [[kota Tangerang]] : Banten Hits]</ref>
 
Dalam sumber-sumber lisan dan tradisional di ceritakan bahwa ''pucuk umum'' (penguasa) Banten Girang yang terusik dengan banyaknya aktivitas dakwah [[Maulana Hasanuddin]] yang berhasil menarik simpati masyarakat termasuk masyarakat pedalaman ''Wahanten'' yang merupakan wilayah kekuasaan ''Wahanten Girang'', sehingga ''pucuk umum'' Arya Suranggana meminta [[Maulana Hasanuddin]] untuk menghentikan aktivitas dakwahnya dan menantangnya ''sabung ayam'' (adu ayam) dengan syarat jika ''sabung ayam'' dimenangkan Arya Suranggana maka [[Maulana Hasanuddin]] harus menghentikan aktivitas dakwahnya. ''Sabung Ayam'' pun dimenangkan oleh [[Maulana Hasanuddin]] dan dia berhak melanjutkan aktivitas dakwahnya<ref>Sariyun, Yugo. 1991. Nilai Budaya dalam Permainan Rakyat Jawa Barat. [[Jakarta]] : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan</ref> Arya Suranggana dan masyarakat yang menolak untuk masuk Islam kemudian memilih masuk hutan di wilayah Selatan.
 
Sepeninggal Arya Suranggana, kompleks Banten Girang digunakan sebagai pesanggrahan bagi para penguasa Islam, paling tidak sampai di penghujung abad ke-17.<ref>[http://m.bantenhits.com/babad-banten/38969/gunung-pulasari-kunci-penaklukkan-banten-girang-oleh-sunan-gunung-jati Syahdana, Darussalam Jagad. 2015. Gunung Pulasari; Kunci Penaklukkan Banten Girang oleh Sunan Gunung Jati. [[kota Tangerang|Tangerang]]: Banten Hits]</ref>
Baris 252:
==== Penyatuan [[Banten]] ====
 
Atas petunjuk ayahnya yaitu Sunan Gunung Jati, [[Maulana Hasanuddin]] kemudian memindahkan pusat pemerintahan ''Wahanten Girang'' ke pesisir di kompleks Surosowan sekaligus membangun kota pesisir<ref name=depdikbud1>Tim Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 1997. Kongres Nasional Sejarah, 1996 : Sub tema dinamika sosial ekonomi. [[Jakarta]] : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia</ref>
 
Kompleks istana Surosowan tersebut akhirnya selesai pada tahun 1526.<ref name=pudjiastuti2/> Pada tahun yang sama juga Arya Surajaya ''pucuk umum'' (penguasa) ''Wahanten Pasisir'' dengan sukarela menyerahkan kekuasannya atas wilayah ''Wahanten Pasisir'' kepada Sunan Gunung Jati, akhirnya kedua wilayah ''Wahanten Girang'' dan ''Wahanten Pasisir'' disatukan menjadi ''Wahanten'' yang kemudian disebut sebagai ''Banten'' dengan status sebagai ''depaten'' (provinsi) dari [[kesultanan Cirebon]] pada tanggal 1 Muharram 933 Hijriah (sekitar tanggal 8 Oktober 1526 m),<ref>Lubis, Nina Herlina, 2004. Banten dalam pergumulan sejarah : sultan, ulama, jawara. [[Jakarta]] : LP3ES</ref> kemudian Sunan Gunung Jati kembali ke kesultanan Cirebon dan pengurusan wilayah [[Banten]] diserahkan kepada [[Maulana Hasanuddin]], dari kejadian tersebut sebagian ahli berpendapat bahwa Sunan Gunung Jati adalah Sultan pertama di Banten<ref>Ruhimat, Mamat, Nana Supriatna, Kosim. 2006. Ilmu Pengetahuan Sosial Terpadu (Sosiologi, Geografi, Ekonomi, Sejarah). [[kota Bandung|Bandung]] : Grafindo Media Pratama</ref> meskipun demikian Sunan Gunung Jati tidak mentasbihkan dirinya menjadi penguasa (sultan) di Banten<ref>Adhyatman, Sumarah. 1981. Antique ceramics found in Indonesia. [[Jakarta]] : Himpunan Keramik Indonesia</ref> Alasan-alasan demikianlah yang membuat pakar sejarah seperti Hoesein Djajadiningrat berpendapat bahwa Sunan Gunung Jatilah yang menjadi pendiri [[Banten]] dan bukannya [[Maulana Hasanuddin]].
 
menurut catatan dari Joao de Barros, semenjak [[Banten]] dan Sunda Kelapa dikuasai oleh kesultanan Islam, [[Banten]] lah yang lebih ramai dikunjungi oleh kapal dari berbagai negara.<ref name=depdikbud1/>
 
Pada tahun 1552, [[Maulana Hasanuddin]] diangkat menjadi sultan di wilayah Banten oleh ayahnya Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati)<ref name=taher1>Taher, Prof. dr. Tarmizi. 2002. Menyegarkan Akidah Tauhid Insani : Mati di Era Klenik. [[Jakarta]] : Gema Insani Press</ref>
 
Perebutan pengaruh antara [[Kerajaan Sunda Galuh]] dengan [[Kesultanan Banten]]-[[Kesultanan Cirebon|Cirebon]] segera bergeser kembali ke darat. Tetapi [[Kerajaan Sunda Galuh]] yang telah kehilangan banyak wilayah menjadi sulit menjaga keteguhan moral para pembesarnya. Satu persatu dari para Pangeran dan Putri Pakuan di banyak wilayah jatuh ke dalam pelukan agama Islam. Begitu pula sebagian Panglima Perangnya.