Pemberontakan di Aceh: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
LaninBot (bicara | kontrib)
k ibukota → ibu kota
LaninBot (bicara | kontrib)
k Perubahan kosmetik tanda baca
Baris 76:
 
=== Kesepakatan damai dan pilkada pertama ===
Setelah [[Gempa bumi Samudra Hindia 2004|bencana Tsunami dahsyat]] menghancurkan sebagian besar Aceh dan menelan ratusan ribu korban jiwa, kedua belah pihak, GAM dan pemerintah Indonesia menyatakan [[gencatan senjata]] dan menegaskan kebutuhan yang sama untuk menyelesaikan konflik berkepanjangan ini.<ref>Pengakuan yang sangat berguna dan rinci dari proses negosiasi dari pihak Indonesia dalam buku oleh negosiator kunci Indonesia , Hamid Awaludin, ''Peace in Aceh: Notes on the peace process between the Republic of Indonesia and the Aceh Freedom Movement (GAM) in Helsinki'', diterjemahkan Tim Scott, 2009, [[Centre for Strategic and International Studies (Indonesia)|Centre for Strategic and International Studies]], Jakarta. ISBN 978-979-1295-11-6.</ref> Namun, bentrokan bersenjata sporadis terus terjadi di seluruh provinsi. Karena gerakan separatis di daerah, pemerintah Indonesia melakukan pembatasan akses terhadap [[pers]] dan [[pekerja bantuan]]. Namun setelah tsunami, pemerintah Indonesia membuka daerah untuk upaya bantuan internasional.<ref>http://www.asiapacific.ca/analysis/pubs/pdfs/commentary/cac43.pdf</ref>
 
Bencana tsunami dahsyat tersebut walaupun menyebabkan kerugian manusia dan material yang besar bagi kedua belah pihak, juga menarik perhatian dunia internasional terhadap konflik di Aceh. Upaya-upaya perdamaian sebelumnya telah gagal, tetapi karena sejumlah alasan, termasuk tsunami tersebut, perdamaian akhirnya menang pada tahun 2005 setelah 29 tahun konflik berkepanjangan. Era pasca-[[Soeharto]] dan [[Sejarah Indonesia (1998-sekarang)|masa reformasi]] yang liberal-demokratis, serta perubahan dalam sistem militer Indonesia, membantu menciptakan lingkungan yang lebih menguntungkan bagi pembicaraan damai. Peran Presiden Indonesia yang baru terpilih, [[Susilo Bambang Yudhoyono]] dan Wakil Presiden [[Jusuf Kalla]] adalah sangat signifikan dalam menangnya perdamaian di Aceh.<ref>See Hamid Awaludin, op. cit.</ref> Pada saat yang sama, kepemimpinan juga GAM mengalami perubahan, dan [[militer Indonesia]] telah menimbulkan begitu banyak kerusakan pada gerakan pemberontak yang mungkin menempatkan GAM di bawah tekanan kuat untuk bernegosiasi.<ref>[http://www.atimes.com/atimes/Southeast_Asia/HH15Ae01.html Asia Times Online :: Southeast Asia news - A happy, peaceful anniversary in Aceh<!-- judul hasil Bot -->]</ref> Perundingan perdamaian tersebut difasilitasi oleh [[LSM]] berbasis [[Finlandia]], ''[[Crisis Management Initiative]]'', dan dipimpin oleh mantan Presiden Finlandia [[Martti Ahtisaari]]. Perundingan ini menghasilkan kesepakatan damai <ref>[http://www.aceh-mm.org/download/english/Helsinki%20MoU.pdf Text of the MOU] (PDF format)</ref> ditandatangani pada [[15 Agustus]] [[2005]]. Berdasarkan perjanjian tersebut, Aceh akan menerima otonomi khusus di bawah Republik [[Indonesia]], dan tentara non-organik (mis. tentara beretnis non-Aceh) akan ditarik dari provinsi Aceh (hanya menyisakan 25.000 tentara), dan dilakukannya pelucutan senjata GAM. Sebagai bagian dari perjanjian tersebut, [[Uni Eropa]] mengirimkan 300 pemantau yang tergabung dalam ''[[Aceh Monitoring Mission]]'' (Misi Pemantau Aceh). Misi mereka berakhir pada tanggal [[15 Desember]] [[2006]], setelah suksesnya [[pilkada]] atau [[Pemilihan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam 2006|pemilihan daerah gubernur Aceh]] yang pertama.
 
Aceh telah diberikan otonomi yang lebih luas melalui UU Pemerintah, meliputi hak khusus yang disepakati pada tahun 2002 serta hak masyarakat Aceh untuk membentuk partai politik lokal untuk mewakili kepentingan mereka. Namun, pendukung HAM menyoroti bahwa pelanggaran HAM sebelumnya di provinsi Aceh akan perlu ditangani.<ref>[http://hrw.org/english/docs/2005/09/19/indone11764.htm]</ref>
Baris 155:
* [[Obat terlarang]]: Pasukan keamanan mendorong petani lokal Aceh untuk menanam [[ganja]] dan membayar mereka harga yang jauh di bawah nilai [[pasar gelap]]. Salah satu contoh kasus yang disorot adalah di mana seorang polisi pilot helikopter mengakui setelah penangkapannya, bahwa ia mengangkut 40&nbsp;kg konsinyasi obat (ganja) untuk atasannya, kepala polisi [[Aceh Besar]] (perlu dicatat bahwa pada saat itu [[Kepolisian Republik Indonesia]] atau Polri berada di bawah komando militer atau [[ABRI]]). Kasus lain adalah pada bulan September 2002 di mana sebuah truk tentara dicegat oleh polisi di Binjai, [[Sumatra Utara]] dengan muatan 1.350&nbsp;kg ganja.
* [[Industri pertahanan|Penjualan senjata ilegal]]: Wawancara pada tahun 2001 dan 2002 dengan para pemimpin GAM di Aceh mengungkapkan bahwa beberapa senjata mereka sebenarnya dibeli dari oknum militer Indonesia. Metode pertama penjualan ilegal tersebut adalah: personel militer Indonesia melaporkan senjata-senjata tersebut sebagai senjata yang disita dalam pertempuran. Kedua, oknum personel militer utama Indonesia yang mempunyai otoritas akses bahkan langsung mensuplai GAM dengan pasokan senjata serta amunisi.
* [[Pembalakan liar]] : Oknum militer dan polisi [[Penyuapan|disuap]] oleh [[perusahaan penebangan]] untuk mengabaikan kegiatan penebangan yang dilakukan di luar wilayah berlisensi. Proyek Pembangunan [[Leuser]] yang didanai oleh [[Uni Eropa]] dari pertengahan 1990-an untuk memerangi pembalakan liar sebenarnya telah menemukan bahwa oknum polisi dan militer Indonesia yang seharusnya membantu mencegah pembalakan liar, pada kenyataannya malah memfasilitasi, dan dalam beberapa kasus, bahkan memulai kegiatan ilegal tersebut.
* Perlindungan liar: Oknum militer Indonesia mengelola "usaha perlindungan" liar untuk mengekstrak pembayaran besar dari perusahaan-perusahaan besar seperti [[Mobil Oil]] dan PT [[Arun NGL]] di industri minyak dan gas, serta perusahaan perkebunan yang beroperasi di Aceh. Sebagai imbalan untuk pembayaran liar tersebut, militer akan mengerahkan personelnya untuk "mengamankan" properti dan daerah operasi perusahaan tersebut.
* [[Perikanan]]: nelayan lokal Aceh dipaksa untuk menjual tangkapan mereka kepada oknum militer dengan harga jauh di bawah harga pasar. Oknum militer kemudian menjual ikan untuk bisnis lokal dengan harga yang jauh lebih tinggi. Oknum dari [[Angkatan Laut Indonesia]] mungkin juga mencegat kapal-kapal nelayan untuk memeras pembayaran dari nelayan.