Orang Peranakan: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
LaninBot (bicara | kontrib)
k namun (di tengah kalimat) → tetapi
LaninBot (bicara | kontrib)
k Perubahan kosmetik tanda baca
Baris 22:
Baik [[Bahasa Melayu]] maupun [[Bahasa Indonesia]] menggunakan kata "Peranakan" yang berarti "keturunan" - tanpa arti konotasi dari etnis keturunan apa, kecuali jika diikuti oleh kata keterangan benda berikutnya, seperti misalnya "[[orang Tionghoa|Tionghoa]]", "Belanda" atau "Jepang" / "Jepun".<ref>Harimurti Kridalaksana, ''Kamus Sinonim Bahasa Indonesia'', Nusa Indah: 1974: 213 pages</ref> ''Peranakan'' memiliki arti konotasi tersirat yang mengacu pada keturunan dari kakek-nenek buyut atau nenek moyang yang lebih jauh.<ref name="ReferenceA"/>
 
"Peranakan" kini berarti orang keturunan bukan Indonesia-asli (misalnya, [[Tionghoa]]) yang lahir di Indonesia. Akan tetapi pada abad ke-17, istilah "Cina peranakan" ditujukan bagi orang Tionghoa muslim; yang dalam istilah [[kolonial Belanda|Belanda kolonial]] disebut ''geschoren Chinees'', yakni Tionghoa yang dipotong kuncirnya.<ref name=heuken>{{aut|[[Adolf Heuken|Heuken, A.]]}} 2016. ''Tempat-tempat bersejarah di Jakarta''. Jakarta :Cipta Loka Caraka.</ref>{{rp|223}}
 
''[[Baba (sebutan kehormatan)|Baba]]'', kata dari Persia yang dipinjam oleh penutur [[bahasa Melayu]] sebagai sebutan kehormatan hanya untuk kakek-nenek, digunakan untuk menyebut laki-laki Tionghoa Selat. Istilah ini berasal dari penutur [[Bahasa Hindustani]], seperti penjaja dan pedagang, dan menjadi bagian dari bahasa pasar yang umum.<ref>Joo Ee Khoo, ''The Straits Chinese: a cultural history'', Pepin Press: 1996 ISBN 90-5496-008-6: 288 pages</ref> Di Nusantara sendiri, pengucapan "Baba" dapat berubah sesuai dialek masyarakat Pribumi setempat, seperti "Babah" oleh [[orang Jawa]] atau "Babeh" oleh [[orang Betawi]].