Kajang, Bulukumba: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
LaninBot (bicara | kontrib)
k namun (di tengah kalimat) → tetapi
LaninBot (bicara | kontrib)
k Perubahan kosmetik tanda baca
Baris 99:
'''C. Pengaruh Sosial'''
 
Masyarakat adat Kajang menerapkan ketentuan-ketentuan adat dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam pemanfaatan hutan. Ketentuan adat yang diberlakukan di wilayah adat Ammatoa Kajang diberlakukan kepada seluruh komponen masyarakat tanpa kecuali. Ketentuan ini berlandaskan pesan leluhur yang disampaikan secara turun temurun. Ketentuan adat ini dipandang sebagai sesuatu yang baku ''(lebba)'' yang diterapkan kepada setiap orang yang telah melakukan pelanggaran yang dapat merusak kelestarian lingkungan hutan. Dalam hal ini diberlakukan sikap tegas ''(gattang),'' dalam arti konsekuen dengan aturan dan pelaksanaannya tanpa ada dispensasi, sebagaimana disebutkan dalam ''pasang'' yang berbunyi: ''‘Anre na‘kulle nipinra-pinra punna anu lebba‘''Artinya : Jika sudah menjadi ketentuan, tidak bisa dirubah lagi (Restu dan Sinohadji, 2008).
 
''Pasang'' secara eksplisit melarang setiap tindakan yang mengarah pada kemungkinan rusaknya ekosistem hutan, seperti menebang kayu, memburu satwa, atau memungut hasil-hasil hutan. ''Pasang'' inilah yang memberikan ketentuan tersebut agar aturan yang ditetapkan berjalan dengan efektif. Konsekuensinya, bagi siapa saja yang melanggar aturan-aturan yang telah ditentukan akan dikenai sanksi yang tegas. Tentang bagaimana usaha agar warga masyarakat menaati aturan pelestarian hutan yang berdasarkan atas ''pasang,'' maka di bawah kepemimpinan ''Ammatoa'' sebagai Kepala Adat ''Keammatoaan'' mengadakan acara ''abborong'' (bermusyawarah) yang menetapkan bahwa pelanggaran atas ketentuan ''pasang'' yang berhubungan dengan pelestarian hutan dikenakan denda (apabila diketahui pelanggarnya) sebagai berikut: