Kesultanan Banten: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: Perubahan kosmetika
LaninBot (bicara | kontrib)
k namun (di tengah kalimat) → tetapi
Baris 73:
 
Pada tahun 1521, Jaya dewata (prabu [[Siliwangi]]) mulai
membatasi pedagang muslim yang akan singah di pelabuhan-pelabuhan [[kerajaan Sunda]] hal ini bertujuan untuk mengurangi pengaruh Islam yang akan diterima oleh para pedagang pribumi ketika melakukan kontak perdagangan dengan para pedagang muslim, namuntetapi upaya tersebut kurang mendatangkan hasil yang memuaskan karena pada kenyataannya pengaruh Islam jauh lebih kuat dibandingkan upaya pembatasan yang dilakukan tersebut, bahkan pengaruh Islam mulai memasuki daerah pedalaman [[kerajaan Sunda]]. Pada tahun itu juga [[kerajaan Sunda]] berusaha mencari mitra koalisi dengan negara yang dipandang memiliki kepentingan yang sama dengan [[kerajaan Sunda]], Jaya dewata ([[Siliwangi]]) memutuskan untuk menjalin persahabatan dengan Portugis dengan tujuan dapat mengimbangi kekuatan pasukan [[kesultanan Demak]] dan kesultanan Cirebon.
 
Pada tahun 1521 untuk merealisasikan persahabatan tersebut Jaya dewata ([[Siliwangi]]) mengirim beberapa utusan ke Malaka di bawah pimpinan Ratu ''Samiam'' (Surawisesa), mereka berusaha meyakinkan bangsa Portugis bagi suatu persahabatan yang saling menguntungkan antara [[kerajaan Sunda]] dan [[Portugis]]. Surawisesa memberikan penawaran kepada Portugis untuk melakukan perdagangan secara bebas terutama lada di pelabuhan-pelabuhan milik [[kerajaan Sunda]] sebagai imbalannya, Surawisesa mengharapkan bantuan militer dari Portugis apabila kerajaan Sunda diserang oleh [[kesultanan Demak]] dan kesultanan Cirebon dengan memberi hak kepada Portugis untuk membangun benteng.<ref name=zahorka1/>
Baris 109:
Maulana Hasanuddin juga melanjutkan perluasan kekuasaan ke daerah penghasil lada di [[Lampung]]. Ia berperan dalam penyebaran Islam di kawasan tersebut, selain itu ia juga telah melakukan kontak dagang dengan raja ''Malangkabu'' (Minangkabau, [[Kerajaan Inderapura]]), [[Munawar Syah dari Inderapura|Sultan Munawar Syah]] dan dianugerahi [[keris]] oleh raja tersebut.<ref>Titik Pudjiastuti, (2000), ''Sadjarah Banten: suntingan teks dan terjemahan disertai tinjauan aksara dan amanat''.</ref>
 
[[Maulana Yusuf dari Banten|Maulana Yusuf]] anak dari Maulana Hasanuddin, naik tahta pada tahun 1570<ref name="Ambary"/> melanjutkan ekspansi Banten ke kawasan pedalaman Sunda dengan menaklukkan [[Pakuan Pajajaran]] tahun [[1579]]. Kemudian ia digantikan anaknya [[Maulana Muhammad dari Banten|Maulana Muhammad]], yang mencoba menguasai [[Palembang]] tahun [[1596]] sebagai bagian dari usaha Banten dalam mempersempit gerakan Portugal di [[nusantara]], namuntetapi gagal karena ia meninggal dalam penaklukkan tersebut.<ref>Keat Gin Ooi, (2004), ''Southeast Asia: a historical encyclopedia, from Angkor Wat to East Timor'', Volume 1, ABC-CLIO, ISBN 1-57607-770-5.</ref>
 
Pada masa [[Pangeran Ratu dari Banten|Pangeran Ratu]] anak dari [[Maulana Muhammad dari Banten|Maulana Muhammad]], ia menjadi [[raja]] pertama di [[Pulau Jawa]] yang mengambil gelar "[[Sultan]]" pada tahun [[1638]] dengan nama [[Bahasa Arab|Arab]] ''Abu al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir''. Pada masa ini Sultan Banten telah mulai secara intensif melakukan hubungan diplomasi dengan kekuatan lain yang ada pada waktu itu, salah satu diketahui surat Sultan Banten kepada [[Raja Inggris]], [[James I]] tahun 1605 dan tahun 1629 kepada [[Charles I dari Inggris|Charles I]].<ref name="Titik"/>
Baris 119:
 
== Perang saudara ==
Sekitar tahun 1680 muncul perselisihan dalam Kesultanan Banten, akibat perebutan kekuasaan dan pertentangan antara Sultan Ageng dengan putranya [[Sultan Haji]]. Perpecahan ini dimanfaatkan oleh ''[[Vereenigde Oostindische Compagnie]]'' (VOC) yang memberikan dukungan kepada Sultan Haji, sehingga perang saudara tidak dapat dielakkan. Sementara dalam memperkuat posisinya, Sultan Haji atau [[Abu Nashar Abdul Qahar dari Banten|Sultan Abu Nashar Abdul Qahar]] juga sempat mengirimkan 2 orang utusannya, menemui [[Raja Inggris]] di London tahun [[1682]] untuk mendapatkan dukungan serta bantuan persenjataan.<ref name="Titik"/> Dalam perang ini Sultan Ageng terpaksa mundur dari istananya dan pindah ke kawasan yang disebut dengan ''Tirtayasa'', namuntetapi pada [[28 Desember]] [[1682]] kawasan ini juga dikuasai oleh Sultan Haji bersama VOC. Sultan Ageng bersama putranya yang lain [[Pangeran Purbaya]] dan [[Syekh Yusuf]] dari [[Makasar]] mundur ke arah selatan pedalaman Sunda. Namun pada [[14 Maret]] [[1683]] Sultan Ageng tertangkap kemudian ditahan di Batavia.
 
Sementara VOC terus mengejar dan mematahkan perlawanan pengikut Sultan Ageng yang masih berada dalam pimpinan Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf. Pada [[5 Mei]] [[1683]], VOC mengirim [[Untung Surapati]] yang berpangkat ''[[letnan]]'' beserta pasukan [[Bali]]nya, bergabung dengan pasukan pimpinan Letnan Johannes Maurits van Happel menundukkan kawasan Pamotan dan Dayeuh Luhur, di mana pada [[14 Desember]] [[1683]] mereka berhasil menawan Syekh Yusuf.<ref>Azyumardi Azra, (2004), ''The origins of Islamic reformism in Southeast Asia: networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern 'Ulamā' in the seventeenth and eighteenth centuries'', University of Hawaii Press, ISBN 0-8248-2848-8.</ref> Sementara setelah terdesak akhirnya Pangeran Purbaya menyatakan menyerahkan diri. Kemudian Untung Surapati disuruh oleh Kapten Johan Ruisj untuk menjemput Pangeran Purbaya, dan dalam perjalanan membawa Pangeran Purbaya ke Batavia, mereka berjumpa dengan pasukan VOC yang dipimpin oleh Willem Kuffeler, namuntetapi terjadi pertikaian di antara mereka, puncaknya pada [[28 Januari]] [[1684]], pos pasukan Willem Kuffeler dihancurkan, dan berikutnya Untung Surapati beserta pengikutnya menjadi buronan VOC. Sedangkan Pangeran Purbaya sendiri baru pada [[7 Februari]] [[1684]] sampai di Batavia.<ref>Ann Kumar, (1976), ''Surapati: man and legend : a study of three Babad traditions'', Brill Archive, ISBN 90-04-04364-0.</ref>
 
== Penurunan ==
Baris 149:
[[Kadi]] memainkan peranan penting dalam pemerintahan Kesultanan Banten, selain bertanggungjawab dalam penyelesaian sengketa rakyat di pengadilan agama, juga dalam penegakan [[hukum]] Islam seperti ''[[hudud]]''.<ref>Euis Nurlaelawati, (2010), ''Modernization, tradition and identity: the Kompilasi hukum Islam and legal practice in the Indonesian religious courts'', Amsterdam University Press, ISBN 90-8964-088-6.</ref>
 
Toleransi umat beragama di Banten, berkembang dengan baik. Walau didominasi oleh [[muslim]], namuntetapi komunitas tertentu diperkenankan membangun sarana peribadatan mereka, di mana sekitar tahun [[1673]] telah berdiri beberapa [[klenteng]] pada kawasan sekitar pelabuhan Banten.
 
== Kependudukan ==
Baris 367:
<sup>2.</sup> <small>Pada masa Kevakuman Kesultanan Banten, rakyat Banten di bawah pimpinan para Ulama secara seporadis kerap melakukan perlawanan kepada pemerintah [[Hindia Belanda]]. Banyak perjuangan yang menyuarakan spirit kesultanan Banten dan keislaman, yang paling menonjol adalah peristiwa Geger Cilegon tahun 1888.</small>
 
<sup>3.</sup> <small>Pada masa awal kemerdekaan RI sekitar tahun 1946 - 1948, di [[Yogyakarta]] terjadi pertemuan antara pewaris takhta Kesultanan Banten: Ratu Bagus Aryo Marjojo Soerjaatmadja, [[Soekarno]], Sultan [[Hamengkubuwono IX]], dan K.H. [[Tubagus Achmad Chotib al-Bantani]] (Residen Banten). Pada pertemuan Soekarno mempersilakan pewaris takhta Kesultanan Banten untuk memimpin wilayah Banten kembali, namuntetapi pewaris takhta dikarenakan tanggung jawabnya sebagi Direktur BRI (kini setingkat [[Gubernur Bank Indonesia]]) menitipkan kepemimpinan Banten termasuk penjagaan dan pengurusan aset keluarga besar Kesultanan Banten kepada K.H. [[Tubagus Achmad Chotib al-Bantani]] selaku Residen Banten sampai saat bilamana anak atau cucu Marjono kembali ke Banten.</small>
|}