Laurensius: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: Perubahan kosmetika
LaninBot (bicara | kontrib)
k namun (di tengah kalimat) → tetapi
Baris 28:
'''Santo Laurensius''' ([[225]] – [[258]]) (Latin: ''Laurentius'') adalah salah satu dari tujuh samas [[Roma kuno]] yang dimartirkan di bawah penganiyaan [[kaisar Roma]], [[Valerian (kaisar)|Valerian]] pada tahun 258.
 
Laurensius lahir pada abad III di Via Tiburtino, Roma, dari keluarga bangsawan yang kaya. Ayahnya bernama Crence dan ibunya Patience. Pada waktu itu orang Kristen sudah mempunyai banyak pengikut, namuntetapi masih menderita banyak kesukaran, terutama dari penguasa Romawi yang kejam. Kaisar Romawi pada waktu itu adalah Valerianus yang menuntut penyembahan dewa-dewa kepada semua warganya. Padahal orang-orang Kristen dengan giatnya menyebarkan Injil, yang bertentangan dengan penyembahan dewa-dewa. Maka, mereka pun menghadapi risiko yang amat besar. Banyak dari mereka yang kemudian ditangkap dan dibunuh atas perintah kaisar.
 
Ketika itu Laurensius belum dibaptis, namuntetapi ia amat tertarik kepada ajaran Kristus. Ia sering pergi ke Gereja dan mendengarkan dengan tekun khotbah dan pengajaran Katolik, sehingga ia pun layak dipermandikan. Kemudian Laurensius menjadi seorang Katolik yang amat saleh dan bersemangat untuk menyebarkan agamanya. Selain saleh, ia juga didapati amat dekat dengan rakyat jelata. Oleh karena kebaikannya ini, Paus Sixtus II (257-258) berkenan mengangkatnya menjadi diakon. Laurensius termasuk salah satu dari ketujuh diakon agung yang membantu Sri Paus di Roma. Oleh Paus Sixtus, Laurensius ditugaskan mengurus harta kekayaan Gereja dan membagi-bagikan derma kepada para fakir miskin di seluruh kota Roma. Ia menunaikan tugasnya dengan sabar, penuh cintakasih, dan halus budi. Ia berhasil menarik orang-orang tak terpelajar dan kaum miskin ke Gereja. Tentu saja Kaisar menjadi marah sekali mendengar itu semua dan semakin gigih mengejar umat Kristen. Penganiayaan dan pengejaran itu meluas ke seluruh kota Roma, hingga Yang Mulia Bapa Suci pun terpaksa berdiam di bawah tanah di dalam katakombe. Di dalam katakombe-katakombe itulah para imam mengurbankan Misa suci.
 
Pada tanggal 6 Agustus 258, katakombe Praetextatus masih gelap. Di segala penjuru sunyi senyap, pintu batu yang menganga lebar tidak pula ditembusi sinar terang. Tiba-tiba orang yang menjaga pintu melihat nyala lilin di dalam kegelapan. Ia bangkit tegak berdiri, siap dengan senjatanya. Nyala lilin makin mendekat, 8 orang tampak bersama-sama mendekati pintu “''Pax Christi'', Salam Kristus bagimu,” bisik si penjaga pintu. Serentak mereka memberikan jawaban, ''“Pax Christi.”'' Penjaga pintu pun berlutut, ketakutannya lenyap. Kedelapan orang itu lalu masuk ke bagian paling dalam dari katakombe. Di tempat itulah Sri Paus Sixtus II hendak mempersembahkan Misa.
Baris 116:
Serdadu pun menangkap Laurensius, menanggalkan bajunya, dan menariknya ke atas penggorengan. Kaki tangannya terikat erat pada sisi-sisi tempat tidur besi. Orang-orang miskin yang hadir di situ terkejut mendengar keputusan ini. Mereka berusaha membela Laurensius dan melepaskannya, tetapi tak berdaya melawan para serdadu yang bersenjata lengkap. Dengan menggerutu wali kota duduk di dekat penggorengan tempat Laurensius terentang. Di sekeliling tempat itu para pembesar kota juga telah hadir untuk menyaksikan pertunjukan yang sangat mengerikan itu.
 
Wali kota berdiri tegak dan dengan garang memandang Laurensius, “Algojo! Ambil alat penyesahmu. Cambuk orang gila ini sampai sepuasmu!” Walau tubuh Laurensius ge-etar penuh luka, namuntetapi wajahnya tetap tersenyum. “Ya Tuhan, kuatkanlah hambamu ini,” bisiknya dalam hati. Para penonton kagum, mereka menggeleng-gelengkan kepala. Wali kota semakin marah, ia merasa terhina. “Ambil kayu bakar, nyalakan api di bawah penggorengan itu!”
 
Kayu mulai menyala dan dengan perlahan membakar daging Laurensius sedikit demi sedikit. Namun, wajah Laurensius yang menatap orang-orang di sekelilingnya memancarkan sinar yang indah. Setelah penderitaan yang lama, ia berpaling kepada wali kota dan berkata dengan senyum yang gembira, “Hai, Tuan Wali kota yang mulia! Suruhlah serdadu-serdadumu ini membalikkan tubuhku ini, sebab yang sebelah bawah telah masak. Suruhlah balikkan agar yang sebelah lain masak juga!” Dengan marah dan geram wali kota berteriak, “Serdadu, besarkan api! Buat api berkobar-kobar, seganas mungkin!”