Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (1945): Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: Perubahan kosmetika
LaninBot (bicara | kontrib)
k namun (di tengah kalimat) → tetapi
Baris 30:
Pada tahun 1958, beberapa anggota Masyumi bergabung dengan pemberontakan [[Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia|PRRI]] terhadap Soekarno. Sebagai hasilnya, pada tahun 1960 Masyumi —bersama dengan [[Partai Sosialis Indonesia]]— dilarang.<ref name="RICKLEFS256">Ricklefs (1991) p256</ref>
 
Setelah pelarangan tersebut, para anggota dan pengikut Masyumi mendirikan Keluarga Bulan Bintang ({{lang-en|Crescent Star Family}}) untuk mengkampanyekan hukum [[syariah]] dan ajarannya. Sebuah upaya untuk membangkitkan kembali partai ini selama masa [[transisi ke Orde Baru]] sempat dilakukan, namuntetapi tidak diizinkan. Setelah [[kejatuhan Soeharto]] pada tahun 1998, upaya lain untuk membangkitkan partai ini kembali dilakukan, namuntetapi para pengikut Masyumi mendirikan [[Partai Bulan Bintang]], yang berpartisipasi dalam pemilihan legislatif tahun [[Pemilu 1999|1999]], [[Pemilu 2004|2004]], dan [[Pemilu 2009|2009]].<ref name="Partai2">' Bambang Setiawan & Bestian Nainggolan (Eds) (2004) pp54-55</ref>
 
== Sejarah ==
Baris 43:
Presiden Soekarno memberikan tanggung jawab pembentukan [[Kabinet Pemerintahan Indonesia|kabinet pemerintahan]] pertama Indonesia pasca kemerdekaan kepada Ketua Umum Masyumi, [[Mohammad Natsir]].{{sfn|Feith|1962|p=148}} Dengan 49 kursi parlemen, Masyumi merupakan partai terbesar yang menduduki kursi DPR. Sebagian besar pengamat berasumsi, bahwa kurangnya persentase mayoritas Masyumi di parlemen menghilangkan hak mereka untuk memerintah secara sepenuhnya, oleh karena itu mereka membutuhkan pragmatisme politik untuk berusaha membangun pemerintahan koalisi. [[Partai Nasional Indonesia]] (PNI) yang merupakan partai terbesar kedua di parlemen, sempat dipertimbangkan sebagai mitra koalisi Masyumi dalam kabinet.{{sfn|Lucius|2003|p=75}}
 
Sebagai formatur, pada awalnya Natsir mencoba membentuk kabinet dengan menggabungkan Masyumi bersama PNI, namuntetapi serangkaian perselisihan mengenai pembagian posisi kunci di kementerian menyebabkan upaya-upaya ini gagal. Natsir kemudian mengubah strateginya, dan dengan berani mengganti rencananya untuk mengatur kabinet dengan menempatkan para anggota Masyumi sebagai inti, ditambah dengan perwakilan non-partai dan anggota dari banyak partai kecil di parlemen, sedangkan PNI diabaikan dalam rencananya.{{sfn|Feith|1962|p=150}} Hasilnya, ia mampu membentuk kabinet dimana kader-kader Masyumi memegang jabatan [[Perdana Menteri Indonesia|Perdana Menteri]], kemudian posisi kunci seperti [[Menteri Luar Negeri Indonesia|Menteri Luar Negeri]], [[Menteri Keuangan Indonesia|Keuangan]], dan [[Menteri Agama Indonesia|Agama]]. Kelima jabatan tersebut diberikan kepada individu-individu yang tidak memiliki hubungan dengan partai tertentu, dan sembilan kursi lainnya dialokasikan ke beberapa partai kecil, masing-masing terdiri dari [[Partai Sosialis Indonesia]] (16 kursi), [[Partai Indonesia Raya]] (9 kursi), [[Parkindo]] (4 kursi), [[Persatuan Indonesia Raya]] (18 kursi), Fraksi Katolik (8 kursi), Fraksi Demokrasi (14 kursi), dan [[Partai Sarekat Islam Indonesia]] (5 kursi). Pembagian dua jabatan menteri yang relatif sederhana ke PSI memungkiri fakta bahwa kelima menteri tanpa afiliasi partai dianggap telah berbagi agenda politiknya.{{sfn|Feith|1962|p=151}}
 
Komposisi Kabinet Natsir disambut dengan penolakan secara langsung dari dalam parlemen, dan juga dari dalam Masyumi sendiri. Sebagai partai terbesar kedua di parlemen, para pimpinan PNI dengan keras menolak kenyataan bahwa mereka dikeluarkan secara sepihak dari kabinet baru ini. Di sisi lain, tokoh-tokoh senior Masyumi juga berbeda pendapat dengan keputusan Natsir yang memilih untuk mengecualikan anggota PNI dari parlemen. Secara khusus, faksi sayap modern Masyumi pimpinan [[Sukiman Wirjosandjojo]] memperingatkan Natsir terhadap ancaman polarisasi hubungan antara Masyumi dengan PNI yang tentu akan menghasilkan hubungan yang lebih dekat dengan berbagai partai oposisi lainnya, terutama yang menyukai ideologi [[Komunis]]. Sukiman dan sekutu politiknya di Masyumi memang termasuk tokoh yang paling gencar dalam menentang upaya Natsir untuk menyingkirkan PNI dari kabinet.{{sfn|Lucius|2003|p=76}}