Hakim bin Hizam: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
LaninBot (bicara | kontrib)
k namun (di tengah kalimat) → tetapi
Baris 16:
Hakim dibesarkan di keluarga berada. Dia pun benar-benar menikmati statusnya sebagai anak dari keluarga terpandang di Makah. Meski demikian, orangtua Hakim tidak serta merta memanjakannya, bahkan dia diberi tanggungjawab untuk melaksanakan rifadah, yakni membantu siapa saja yang membutuhkan pertolongan, terutama pada musim [[haji]]. Hakim pun benar-benar melaksanakan amanat itu dengan penuh keikhlasan bahkan tak jarang dia membantu para jamaah haji menggunakan uangnya sendiri.
 
Hakim pun bersahabat erat dengan Muhammad, jauh sebelum dia menjadi Rasul. Kendati usianya lima tahun lebih tua dari Rasulullah, namuntetapi hal tersebut tidak menghalangi hubungan keduanya. Mereka kerap berbincang serta menikmati kebersamaan sebagai sahabat. Hubungan pertemanan antara Rasulullah dan Hakim menjadi kian dekat manakala Rasul menikah dengan bibinya, [[Khadijah binti Khuwailid|Khadijah binti Khuwaylid]].
 
Patut dicatat, meski lama bersahabat dengan Rasul, tetapi Hakim tidak memeluk Islam hingga peristiwa penaklukan Makkah. Itu berarti lebih dari 20 tahun setelah Islam didakwahkan secara terang-terangan oleh Muhammad. Terhadap hal itu, Hakim sendiri merasa menyesal dengan apa yang sudah dilakukannya sebelum memeluk agama Islam. Ketika pertama kali mengucap [[syahadat|dua kalimah syahadat]], dia benar-benar amat bersalah serta menyesali setiap detik dalam hidupnya sebagai seorang musyrik dan menolak kebenaran dari Allah dan Rasul-Nya.
 
Sehari setelah dia masuk Islam, seorang anaknya melihat Hakim tampak menangis. Maka bertanyalah sang anak, "Mengapa ayah menangis?" Hakim menjawab sambil tersedu, "Banyak hal yang membuatku menangis, anakku. Yang terutama adalah begitu lamanya waktu bagi aku untuk memeluk Islam. Padahal, dengan menerima ajaran Islam banyak kesempatan dapat diraih untuk melaksanakan kebaikan, namuntetapi itulah yang nyatanya telah aku lewatkan. Hidupku tersia-sia ketika terjadi [[perang Badar]] dan [[perang Uhud]].
 
Setelah Uhud, aku berkata pada diri sendiri, bahwa aku tidak akan lagi membantu kaum kafir [[Quraisy]] melawan Muhammad, dan aku tidak ingin meninggalkan Makkah. Saat aku merasa ingin menerima Islam, aku segera berpaling dan melihat orang-orang di sekelilingku yang kebanyakan kaum kafir Quraisy, untuk kemudian bergabung kembali dengan mereka. Oh andai aku tidak berlaku seperti itu. Tidak ada yang dapat menghancurkan kita selain ketaatan buta kita terhadap nenak moyang. Jadi, kenapa aku tidak menangis, anakku?"