Buddhisme di Indonesia: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
OrophinBot (bicara | kontrib)
LaninBot (bicara | kontrib)
k Menghilangkan spasi sebelum tanda koma dan tanda titik dua
Baris 46:
Pada zaman majapahit ada dua buku yang menguraikan ajaran Buddhisme Mahayana yaitu ''[[Sanghyang Kamahayanan Mantrayana]]'' yang berisi mengenai ajaran yang ditujukan kepada bhiksu yang sedang ditahbiskan, dan ''[[Sanghyang Kamahayanikan]]'' yang berisi mengenai kumpulan pengajaran bagaimana orang dapat mencapai pelepasan. Pokok ajaran dalam ''Sanghyang Kamahayanikan'' adalah menunjukan bahwa bentuk yang bermacam-macam dari bentuk pelepasan pada dasarnya adalah sama. Tampaknya, sikap sinkretisme dari penulis ''Sanghyang Kamahayanikan'' tercermin dari pengidentifikasian [[Siwa]] dengan Buddha dan menyebutnya sebagai "'''[[Siwa-Buddha]]'''", bukan lagi Siwa atau Buddha, tetapi Siwa-Buddha sebagai satu kesadaran tertinggi.
 
Pada zaman Majapahit ([[1292]]-[[1478]]), sinkretisme sudah mencapai puncaknya. Sepertinya aliran [[Hindu-Siwa]] , [[Hindu-Wisnu]] dan Agama Buddha dapat hidup bersamaan. Ketiganya dipandang sebagai bentuk yang bermacam-macam dari suatu kebenaran yang sama. Siwa dan [[Wisnu]] dipandang sama nilainya dan mereka digambarkan sebagai "[[Harihara]]" yaitu [[rupang]] ([[arca]]) setengah Siwa setengah Wisnu. Siwa dan Buddha dipandang sama. Di dalam kitab [[kakawin Arjunawijaya]] karya [[Mpu Tantular]] misalnya diceritakan bahwa ketika Arjunawijaya memasuki candi Buddha, para pandhita menerangkan bahwa para [[Jina]] dari penjuru alam yang digambarkan pada patung-patung itu adalah sama saja dengan penjelmaan Siwa. [[Vairocana]] sama dengan Sadasiwa yang menduduki posisi tengah. [[Aksobya]] sama dengan [[Rudra]] yang menduduki posisi timur. [[Ratnasambhava]] sama dengan [[Brahma]] yang menduduki posisi selatan, [[Amitabha]] sama dengan Mahadewa yang menduduki posisi barat dan [[Amogasiddhi]] sama dengan Wisnu yang menduduki posisi utara. Oleh karena itu, para bhikkhu tersebut mengatakan tidak ada perbedaan antara Agama Buddha dengan Siwa . Dalam kitab [[Kunjarakarna]] disebutkan bahwa tiada seorang pun, baik pengikut Siwa maupun Buddha yang bisa mendapat kelepasan jika ia memisahkan yang sebenarnya satu, yaitu Siwa-Buddha.
 
Pembaruan [[agama Siwa-Buddha]] pada zaman Majapahit, antara lain, terlihat pada cara mendharmakan raja dan keluarganya yang wafat pada dua candi yang berbeda sifat keagamaannya. Hal ini dapat dilihat pada raja pertama Majapahit, yaitu [[Kertarajasa]], yang didharmakan di [[Candi Sumberjati]] (Simping) sebagai wujud Siwa (Siwawimbha) dan di [[Antahpura]] sebagai Buddha; atau raja kedua Majapahit, yaitu [[Raja Jayabaya]] yang didharmakan di [[Shila Ptak]] (red. Sila Petak) sebagai Wisnu dan di [[Sukhalila]] sebagai Buddha. Hal ini memperlihatkan bahwa kepercayaan di mana Kenyataan Tertinggi dalam agama Siwa maupun Buddha tidak berbeda.
Baris 117:
== Faktor-faktor berkurangnya umat Buddha di Indonesia ==
{{Riset asli}}
Faktor-faktor yang menyebabkan kekurangan jumlah penduduk yang beragama Buddha di Indonesia antara lain :
* Ajaran Buddha sendiri yang mengajarkan bahwa kita harus melakukan ''ehipassiko'', yaitu datang, lihat dan buktikan diri sendiri. Inilah yang menyebabkan banyak orang yang tidak mengenal ajaran agama Buddha karena mereka tidak tahu kapan mereka dapat mempelajarinya.
* Banyak yang menganggap bahwa ajaran agama Buddha identik dengan [[dupa]], bunga, lilin, dan lain-lain yang membuat orang-orang berpikir mengenai modal cukup besar yang akan dikeluarkan.