Operasi militer Indonesia di Aceh 2003–2004: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k perubahan sub-judul
LaninBot (bicara | kontrib)
k namun (di tengah kalimat) → tetapi
Baris 24:
 
== Latar belakang ==
Setelah Panglima [[Gerakan Aceh Merdeka]] ( disingkat: GAM ), Tengku [[Abdullah Syafi'i (GAM)|Abdullah Syafi'i]], tewas dalam penyergapan yang dilakukan oleh Anggota [[Batalyon Infanteri Lintas Udara 330]] Tim II/C berkekuatan 20 orang diketuai oleh Serka I. Ketut Muliastra di daerah Cubo, Aceh, pada 22 Januari 2002 pukul 09.00 WIB, maka pada [[28 April]] [[2003]], pemerintah Indonesia memberikan ultimatum untuk mengakhiri perlawanan dan menerima otonomi khusus bagi Aceh dalam waktu 2 minggu. Pemimpin GAM yang berbasis di [[Swedia]] menolak ultimatum tersebut, namuntetapi [[Amerika Serikat]], [[Jepang]], dan [[Uni Eropa]] mendesak kedua pihak untuk menghindari konflik bersenjata dan melanjutkan perundingan perdamaian di [[Tokyo]].<ref name="people"/>
 
Pada [[16 Mei]] [[2003]], pemerintah menegaskan bahwa otonomi khusus tersebut merupakan tawaran terakhir untuk GAM, dan penolakan terhadap ultimatum tersebut akan menyebabkan operasi militer terhadap GAM. Pimpinan dan negosiator GAM tidak menjawab tuntutan ini, dan mengatakan para anggotanya di Aceh ditangkap saat hendak berangkat ke Tokyo.<ref name="people"/>
Baris 36:
 
== Tuduhan pelanggaran HAM di Aceh ==
Sekalipun darurat militer telah dihentikan, operasi-operasi militer terus dilakukan oleh TNI. Diperkirakan 2.000 orang terbunuh sejak Mei 2003.<ref name="kairos"/> TNI mengatakan kebanyakan korban adalah tentara GAM, namuntetapi kelompok-kelompok HAM internasional dan setempat, termasuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia RI (Komnas HAM RI - lembaga negara yang independen), menemukan bahwa sebagian besar korban adalah warga sipil. Bukti menunjukkan bahwa TNI sering tidak membedakan antara anggota GAM dan non-kombatan. Penyelidikan-penyelidikan juga menemukan GAM turut bersalah atas kebrutalan yang terjadi di Aceh.<ref name="kairos"/>
 
Para pengungsi Aceh di Malaysia melaporkan adanya pelanggaran yang luas di Aceh, yang tertutup bagi pengamat selama operasi militer ini.<ref name="HRW refugee"/> Pengadilan terhadap anggota militer Indonesia dianggap sulit dilakukan, dan pengadilan yang telah terjadi hanyalah melibatkan prajurit berpangkat rendah yang mengklaim hanya menjalankan perintah.<ref name="kairos"/>