Sejarah Kalimantan Timur: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: Perubahan kosmetika |
k ibukota → ibu kota |
||
Baris 23:
Maharaja [[Mulawarman]] memperluas wilayah kerajaanya dengan cara menaklukkan kerajaan-kerajaan di sekitarnya. Raja-raja yang ditaklukkannya harus menyerahkan upeti kepada raja Mulawarman<ref name="Intan Pariwara"/>.
Kerajaan Kutai berakhir saat Raja Kutai yang bernama Maharaja Dharma Setia tewas dalam peperangan di tangan Raja Kutai Kartanegara ke-13, [[Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa]]. Perlu diingat bahwa Kutai ini (Kutai Martadipura) berbeda dengan [[Kerajaan Kutai Kartanegara]] yang
Keruntuhan [[Kerajaan Kutai Martadipura]] memberikan kesempatan bagi daerah-daerah pedalaman yang sebelumnya berada dalam kekuasaan Kutai Martadipura dapat melepaskan diri, membentuk kerajaan-kerajaan sendiri selain ada pula yang menggabungkan diri dengan [[Kerajaan Kutai Kartanegara]].
Baris 37:
Pada [[abad ke-17]], agama [[Islam]] yang disebarkan '''Tuan Tunggang Parangan''' diterima dengan baik oleh Kerajaan Kutai Kartanegara yang saat itu dipimpin [[Aji Raja Mahkota Mulia Alam]]. Setelah beberapa puluh tahun, sebutan [[Monarki|Raja]] diganti dengan sebutan [[Sultan]]. Sultan [[Aji Muhammad Idris]] (1735-1778) merupakan sultan Kutai Kartanegara pertama yang menggunakan nama Islami. Dan kemudian sebutan kerajaan pun berganti menjadi [[Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura]].
Kesultanan ini sempat mengalami perpindahan
=== Kesultanan Berau ===
Baris 51:
Kemudian, kerajaan Berau diperintah secara bergantian antara keturunan Pangeran Tua dan Pangeran Dipati (hal inilah yang membuat terjadinya perbedaan pendapat yang bahkan terkadang menimbulkan insiden). Raja Alam adalah cucu dari Sultan Hasanuddin dan cicit dari Pangeran Tua, atau generasi ke-13 dari Aji Surya Nata Kesuma.
Raja Alam adalah sultan pertama di Tanjung Batu Putih, yang mendirikan
=== Kesultanan Bulungan ===
Baris 67:
Orang Belanda akhirnya mengakui perbatasan antara dua wilayah hukum pada tahun [[1915]]. Kesultanan ini dikenakan status Zelfbestuur, "administrasi sendiri", pada tahun 1928, lagi-lagi seperti banyak negara pangeran Hindia Belanda.
Penemuan minyak di BPM (Bataafse Petroleum Maatschappij) di [[pulau Bunyu]] dan Tarakan akan memberikan sangat penting bagi Bulungan untuk orang Belanda, karena Tarakan
Setelah pengakuan kemerdekaan Indonesia dari Kerajaan Belanda, wilayah menerima status Wilayah Swapraja Bulungan atau "wilayah otonom" di Republik [[Indonesia]] pada tahun [[1950]], maka Wilayah Istimewa atau "wilayah khusus "pada tahun 1955. Sultan terakhir, Jalaluddin, meninggal pada tahun [[1958]]. kesultanan itu dihapuskan pada tahun [[1959]] dan wilayah itu menjadi [[kabupaten]] yang sederhana.
|