Pemberontakan di Aceh: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Buang wahyu (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
LaninBot (bicara | kontrib)
k ibukota → ibu kota
Baris 71:
Selama fase ini, ada dua periode penghentian konflik singkat: yaitu "Jeda Kemanusiaan" tahun 2000 dan "Cessation of Hostilities Agreement" (COHA) ("Kesepakatan Penghentian Permusuhan") yang hanya berlangsung antara Desember 2002 ketika ditandatangani dan berakhir pada Mei 2003 ketika pemerintah Indonesia menyatakan "[[darurat militer]]" di Aceh dan mengumumkan bahwa ingin menghancurkan GAM sekali dan untuk selamanya.<ref>{{cite book|last=Aspinall|first=Edward|title=The Helsinki Agreement: A More Promising Basis for Peace in Aceh?|year=2005|publisher=East-West Center Washington|location=Washington|isbn=978-1-932728-39-2|pages=vii}}</ref>
 
Dalam istirahat dari penggunaan cara-cara militer untuk mencapai kemerdekaan, GAM bergeser posisi mendukung penyelenggaraan referendum. Dalam demonstrasi pro-referendum [[8 November]] [[1999]] di [[Banda Aceh]], GAM memberikan dukungan dengan menyediakan transportasi pada para pengunjuk rasa dari daerah pedesaan ke ibukotaibu kota provinsi.<ref>{{cite web|title=Millions demand referendum in Aceh|url=http://www.greenleft.org.au/node/18871|publisher=Green Left|accessdate=23 October 2012}}</ref> Pada tanggal [[21 Juli]] [[2002]], GAM juga mengeluarkan [[Deklarasi Stavanger]] setelah pertemuan "''Worldwide Achehnese Representatives Meeting''" di [[Stavanger]], [[Norwegia]].<ref>{{cite web|title=Acheh: The Stavanger Declaration|url=http://www.unpo.org/article/747|publisher=Unrepresented Nations and Peoples Organization|accessdate=23 October 2012}}</ref> Dalam deklarasi tersebut, GAM menyatakan bahwa "Negara Aceh mempraktikkan sistem demokrasi."<ref>{{cite web|title=ibid|accessdate=23 October 2012}}</ref> Impuls hak-hak demokratis dan hak asasi manusia dalam GAM ini ini dilihat sebagai akibat dari upaya kelompok berbasis perkotaan di Aceh yang mempromosikan nilai-nilai tersebut karena lingkungan yang lebih bebas dan lebih terbuka setelah jatuhnya rezim otoriter Soeharto.<ref>{{cite book|last=Aspinall|title=Islam and Nation|page=142}}</ref>
 
Memburuknya kondisi keamanan sipil di Aceh menyebabkan tindakan pengamanan keras diluncurkan pada tahun 2001 dan 2002. Pemerintah Megawati akhirnya pada tahun 2003 meluncurkan [[Operasi militer Indonesia di Aceh 2003-2004|operasi militer]] untuk mengakhiri konflik dengan GAM untuk selamanya dan [[keadaan darurat]] dinyatakan di Provinsi Aceh. Pada bulan November 2003 darurat militer diperpanjang lagi selama enam bulan karena konflik belum terselesaikan. Menurut laporan ''[[Human Rights Watch]]'',<ref>[http://hrw.org/reports/2003/indonesia1203/5.htm#_Toc58915047 Human Rights Watch]</ref> militer Indonesia kembali melakukan pelanggaran [[hak asasi manusia]] dalam operasi ini seperti operasi sebelumnya, dengan lebih dari 100.000 orang mengungsi di tujuh bulan pertama darurat militer dan pembunuhan di luar hukum yang umum. Konflik ini masih berlangsung ketika tiba-tiba [[Gempa bumi Samudra Hindia 2004|bencana Tsunami bulan Desember 2004]] memporakporandakan provinsi Aceh dan membekukan konflik yang terjadi di tengah bencana alam terbesar dalam sejarah Indonesia tersebut.