Sarwo Edhie Wibowo: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 72:
 
=== Transisi dari Orde Lama ke Orde Baru ===
Setelah mengambil alih Pangkalan Udara Halim, Sarwo Edhie bergabung dengan Soeharto karena keduanya dipanggil ke [[Bogor]] oleh Presiden [[Soekarno]]. Sementara Soeharto diperingatkan oleh Soekarno karena mengabaikan perintahnya, Sarwo Edhie terkejut dengan ketidakpekaan Soekarno dengan kematian enam Jenderal. Sarwo Edhi bertanya "Di mana para Jenderal?", SukarnoSoekarno menjawab "Bukankah ini hal yang normal dalam revolusi?".<ref>{{cite book|last= Dake|first= Antonie C.A|title= Sukarno File: Kronologi Suatu Keruntuhan|year= 2005|edition= 4th|publisher= Aksara Karunia|location= Jakarta|language= Indonesian|page= 194}}</ref>
 
Pada tanggal 4 Oktober 1965, pasukan Sarwo Edhie memimpin penggalian dari mayat para jenderal dari sumur [[Lubang Buaya]].
 
Pada tanggal 16 Oktober 1965, Soeharto diangkat menjadi [[KSAD|Panglima Angkatan Darat]] oleh Soekarno. Pada saat itu, [[Partai Komunis Indonesia]] (PKI) telah dituduh sebagai penyebab dari G30SG 30 S dan sentimen anti-Komunis telah membangun cukup untuk mendapatkan momentum. Sarwo Edhie diberi tugas melenyapkan anggota PKI di lahan subur komunis di [[Jawa Tengah]]. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya pembunuhan massal yang keji pada bulan Oktober-Desember 1965 di [[Jawa]], [[Bali]], dan beberapa bagian dari [[SumatraSumatera]].
 
Ada banyak perkiraan mengenai jumlah orang yang tewas selama berbulan-bulan. Jumlah perkiraan awal sedikitnya setengah juta orang dan satu juta orang paling banyak menjadi korban.<ref>{{cite book|last = Hughes|first = John|title = The End of Sukarno: A Coup That Misfired A Purge That Ran Wild|publisher = Archipelago Press|year = 2002|location = Singapore|isbn = 981-4068-65-9|page = 194 }}</ref> Pada bulan Desember 1965, angka yang diberikan kepada Soekarno adalah 78.000 meskipun setelah ia jatuh, hal itu direvisi menjadi 780.000. Angka 78.000 itu adalah sebuah cara untuk menyembunyikan jumlah korban tewas dari Soekarno.<ref name="Hughes 2002 195">{{cite book|last = Hughes|first = John|title = The End of Sukarno: A Coup That Misfired A Purge That Ran Wild|publisher = Archipelago Press|year = 2002|location = Singapore|isbn = 981-4068-65-9|page = 195 }}</ref> Spekulasi terus berlanjut sepanjang tahun, mulai dari 60.000 sampai 1.000.000. Meskipun konsensus tampaknya telah menetapkan sekitar 400.000 jiwa.<ref name="Hughes 2002 195"/> Akhirnya, pada tahun 1989, sebelum kematiannya, Sarwo Edhie memberi pengakuan kepada anggota [[Dewan Perwakilan Rakyat]] (DPR) bahwa 3 juta orang<ref>[http://www.progind.net/modules/wfsection/article.php?articleid=17 : Kolektif Info Coup d'etat 65 :. - Dokumen<!-- Bot generated title -->]</ref> tewas dalam pertumpahan darah ini.
Baris 84:
Soeharto menyadari pentingnya dalam menyelaraskan Angkatan Darat dengan para pengunjuk rasa. Selama bulan-bulan pertama tahun 1966, Sarwo Edhie bersama-sama dengan Kepala Staf Kostrad, [[Kemal Idris]] aktif menyelenggarakan dan mendukung protes sementara membuat nama untuk dirinya sendiri di antara para pengunjuk rasa KAMI dalam proses.<ref>{{cite book|last= Elson|first= Robert|title= Suharto: A Political Biography|year= 2001|publisher= The Press Syndicate of the University of Cambridge|location= UK|language=|isbn=0-521-77326-1|page= 130}}</ref> Pada 26 Februari 1966, KAMI secara resmi dilarang oleh Soekarno tetapi dengan dorongan dari Sarwo Edhie dan Kemal mereka masih terus memprotes. Dalam menunjukkan solidaritas dengan mahasiswa, Sarwo Edhie terdaftar di [[Universitas Indonesia]].<ref>{{cite book|last= Elson|first= Robert|title= Suharto: A Political Biography|year= 2001|publisher= The Press Syndicate of the University of Cambridge|location= UK|language=|isbn=0-521-77326-1|page= 134}}</ref>
 
Meskipun ia tumbuh menjadi lawan politik terbesar Soekarno, Soeharto, seorang tradisionalis Jawa yang kuat, selalu berhati-hati untuk menghindari menantang Soekarno secara langsung. Namun pada Maret 1966, ia siap untuk memaksa Soekarno. Pada awal bulan, ia memerintahkan RPKAD untuk menangkap simpatisan PKI dalam kabinet Soekarno. SuhartoSoeharto berubah pikiran di menit terakhir, berpikir bahwa keamanan Soekarno mungkin dapat dikompromikan. Namun, itu sudah terlambat untuk menarik perintah.
 
Pada pagi hari 11 Maret 1966, pada saat rapat kabinet di mana Soeharto tidak hadir, Sarwo Edhie dan pasukannya mengepung [[Istana Presiden]] tanpa identifikasi. Soekarno, takut dirinya dievakuasi ke Bogor. Kemudian pada hari itu juga ia mentransfer kekuasaan eksekutifnya kepada Soeharto melalui surat yang disebut [[Supersemar]].
 
Pada tahun 1967, Sarwo Edhie dipindahkan ke SumatraSumatera dan menjadi Panglima [[Komando Daerah Militer I/Bukit Barisan|Kodam II/Bukit Barisan]]. Di SumatraSumatera, Sarwo Edhie lanjut melemahkan kekuasaan Soekarno dengan melarang [[Partai Nasional Indonesia]] (PNI) di seluruh pulau.
 
<!--
===Orde Baru===
Sarwo Edhie dukungan tegas dengan Soeharto sebagai yang terakhir mulai membuat bergerak untuk naik ke Kepresidenan. Factionally berbicara Namun, Sarwo Edhie milik faksi dijuluki oleh para ahli sebagai "Orde Baru Radikal". Bersama dengan [[Kemal Idris]] dan [[Kodam VI III/Siliwangi|Kodam VI/Siliwangi]] Komandan [[Hartono Rekso Dharsono]], Sarwo Edhie ingin partai-partai politik harus dibongkar dan diganti dengan kelompok-kelompok non-ideologis yang menekankan pembangunan dan modernisasi.
-->
 
=== Penentuan Pendapat Rakyat ===