Arsitektur Minangkabau: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: Perubahan kosmetika
Baris 5:
Tidak ada catatan tertulis mengenai sejarah arsitektur Minangkabau. Berbagai hal di Minangkabau hanya dijelaskan melalui petatah-petitih yang disampaikan secara turun-temurun melalui lisan, termasuk penjelasan tentang karya arsitektur berikut sistem konstruksinya. Rumah gadang adalah rumah tinggal yang dihuni sekelompok keluarga. Di halaman rumah gadang, terdapat ''[[rangkiang]]'' yang digunakan untuk menyimpan padi hasil panen. Adapun balairung adalah tempat berkumpul sekelompok kepala keluarga melakukan musyawarah. Ketiga bangunan ini dicirikan dengan atap berupa gonjong dan lantai berbentuk panggung.{{sfn|Syafwandi|1993|pp=27–34}}
 
Bangunan yang muncul setelah Islam masuk, yakni masjid, mendapatkan pengaruh dari bangunan tradisional yang terlebih dahulu hadir. Di Minangkabau, masjid hadir di tengah masyarakat yang telah memiliki konsep arsitektur bangunan tradisonal sehingga arsitektur masjid Minangkabau dipengaruhi oleh arsitektur bangunan yang telah hadir sebelumnya.{{sfn|Sudarman|2014|pp=3}}
 
Konsep arsitektur Minangkabau dirancang menyesuaikan kondisi iklim setempat yang berada di daerah tropis dan kondisi topografi.{{sfn|Syafwandi|1993|pp=35}} Bangunan tradisional Minangkabau membuktikan kemampuannya dalam menghadapi bencana seperti gempa bumi yang sering melanda wilayah Sumatra Barat. Material yang digunakan dominan menggunakan kayu. Namun, pada saat ini, sudah jarang masyarakat yang mendirikan bangunan dengan material tradisional karena keterbatasan bahan bangunan terutama kayu.{{sfn|Titin Nofita Handa Puteri|2015}}{{sfn|Antara|16 Maret 2019}}
Baris 21:
Adapun pendapat lainnya mengatakan bentuk gonjong melambangkan daun sirih bersusun karena sirih sejak lama menjadi perlembangan budaya yang sangat penting dan sakral di Minangkabau. Bagi masyarakat Minangkabau, sirih bermakna sebagai penyambung tali silaturahmi. Sampai saat ini, sirih masih digunakan dalam setiap kegiatan adat masyarakat Minangkabau.{{sfn|Beritagar.id|8 Desember 2017}}{{sfn|Minangkabaunews.com|6 Juni 2011}}
 
Di antara peninggalan tertua dari bangunan dengan atap bergonjong yakni [[Rumah Gadang Kampai Nan Panjang]] di [[Balimbing, Rambatan, Tanah Datar|Nagari Balimbiang]] dan [[Balairung Sari Tabek|Balairung Sari]] di [[Pariangan, Pariangan, Tanah Datar|Nagari Pariangan]] yang terdapat di [[Kabupaten Tanah Datar]]. Keduanya berasal dari peninggalan abad ke-17, walaupun tidak ada catatan pasti mengenai hal tersebut.{{sfn|Nurmatias|20 Februari 2019}}{{sfn|Wiwin Djuwita Sudjana Ramelan & Yoka Febriola|2013pp=1}}{{sfn|Zulfikar|2017}} Rumah Gadang Kampai Nan Panjang merupakan rumah gadang milik [[Suku Kampai]] yang telah diwariskan secara turun-temurun kepada lima generasi Suku Kampai. Adapun Balairung Sari merupakan tempat musyawarah, tempat pertemuan para pemuka masyarakat, dan tempat membicarakan segala hal berkaitan dengan [[adat Minangkabau]].{{sfn|Popi Trisna Putri|2017|pp=44–45}}{{sfn|Nurmatias|20 Februari 2019}}
 
Saat ini, kantor-kantor pemerintahan di Sumatra Barat mengadopsi desain atap gonjong.{{sfn|Andri Nur Oesman|2014|pp=2}} Di luar Sumatra Barat, atap bergonjong dipopulerkan oleh orang Minang yang [[merantau]], terutama yang membuka warung makan. Gonjong telah menjadi simbol yang digunakan pada tampilan bangunan [[rumah makan Padang]] yang tersebar di seluruh Nusantara.{{sfn|Elda Franzia, dkk|2015|pp=46}}{{sfn|Rosiana Haryanti|31 Juli 2018}} Logo-logo lembaga ataupun perkumpulan masyarakat Minangkabau banyak menggunakan ikon gonjong dengan berbagai variasinya.{{sfn|Elda Franzia, dkk|2015|pp=44}}
Baris 40:
Secara umum, corak bangunan di Minangkabau ditentukan oleh sistem adat atau kelarasan yang dianut. Terdapat dua kelarasan di Minangkabau, yakni [[Lareh Koto Piliang|Kelarasan Koto Piliang]] yang diciptakan oleh [[Datuk Ketumanggungan]] dan [[Lareh Bodi Caniago|Kelarasan Bodi Chaniago]] yang diciptakan oleh [[Datuk Perpatih Nan Sebatang]].{{sfn|Syafwandi|1993|pp=8–9}} Kelarasan Koto Piliang berciri arsitokratis, sedangkan Kelarasan Bodi Chaniago berciri demokratis.{{sfn|Syafwandi|1993|pp=30}} Semula, perbedaan kedua kelarasan hanya menyangkut aspek politik, tetapi merambat sampai kepada bentuk bangunan, terutama pada rumah adat dan balai adat.{{sfn|Esti Asih Nurdiah|2011|pp=18}}{{sfn|Sudarman|2014|pp=93}} Perbedaannya terutama terletak pada keberadaan ''[[anjung]]'', semacam panggung di kedua ujung bangunan.{{sfn|Esti Asih Nurdiah|2011|pp=38}} Rumah adat dan balai adat Koto Piliang memiliki ciri khas memiliki anjung, sedangkan rumah adat dan balai adat Bodi Caniago tidak memiliki anjung. Akan tetapi, ciri khas keduanya tetap sama, yaitu gonjong.{{sfn|Syafwandi|1993|pp=30–31}}{{sfn|Aulia Azmi|Imam Faisal Pane|pp=329}}
 
Selain itu, corak bangunan di Minangkabau ditentukan oleh wilayah tempat bangunan itu berada. Wilayah Minangkabau terbagi atas dua bagian, yaitu ''[[Dataran Tinggi Minangkabau|darek]]'' dan ''[[rantau]]''. Darek meliputi wilayah di pedalaman Minangkabau yang dikenal sebagai wilayah inti kebudayaan Minangkabau. Wilayahnya berada di sekitar tiga gunung yang dikenal dengan sebutan [[Puncak-puncak Tri Arga|Tri Arga]], yaitu [[Gunung Marapi]], [[Gunung Singgalang|Singgalang]], dan [[Gunung Sago|Sago]]. Menurut tambo, penduduk di tiga wilayah ini diyakini berasal dari [[Pariangan, Pariangan, Tanah Datar|Pariangan]], yang seiring perkembangan penduduk melakukan migrasi ke daerah-daerah di sekitar tiga gunung dan membentuk konfederasi yang disebut sebagai [[Luhak|''luhak'']], yakni [[Luhak Limo Puluah]], [[Luhak Agam]], dan [[Luhak Tanah Data]].{{sfn|Syafwandi|1993|pp=4–8}}
 
Rumah gadang di setiap luhak mempunyai perbedaan bentuk, ukuran, dan tampilan dengan nama tersendiri. Di Luhak Tanah Datar, dikenal rumah gadang yang dinamakan ''Sitinjau Lauik''. Di Luhak Agam, rumah gadang khasnya disebut ''Surambi Papek''. Di, Luhak Limo Puluh Koto, rumah gadang yang dikenal yakni ''Rajo Babandiang''.{{sfn|Antara|29 Januari 2017}}
 
Sementara itu, rantau adalah daerah yang berada di luar daerah luhak. Setidaknya, terdapat dua rantau, yakni rantau luhak dan rantau Minangkabau. Rantau luhak adalah wilayah rantau yang masih berada di daerah dataran tinggi, sementara rantau Minangkabau secara keseluruhan sudah mulai menyebar ke daerah pesisir di sebelah barat dan daerah dataran rendah di sebelah timur. Rantau ke daerah pesisir di sebelah barat meliputi daerah pesisir barat Sumatra yang berbatasan dengan [[Samudra Indonesia]] di antaranya adalah [[Air Bangis]], [[Tanjung Mutiara, Agam|Tiku]], [[Kota Pariaman|Pariaman]], [[Kota Padang|Padang]], [[Banda Sapuluh|Banda Sapuluah]], [[Air Haji, Linggo Sari Baganti, Pesisir Selatan|Air Haji]], [[Kerajaan Inderapura|Inderapura]], hingga ke daerah [[Kabupaten Mukomuko|Mukomuko]] di [[Bengkulu]]. Adapun rantau ke daerah dataran rendah di sebelah timur meliputi daerah di sekitar aliran sungai-sungai besar, seperti [[Rokan]], [[Kesultanan Siak Sri Inderapura|Siak]], [[Kabupaten Kampar|Kampar]], [[Batang Kuantan|Indragiri]], dan [[Batang Hari]].{{sfn|Gusti Asnan|2003|pp=283}}
 
Rumah gadang di wilayah pesisir memiliki bentuk dan konstruksi yang lebih sederhana daripada rumah gadang di wilayah pedalaman Minangkabau. Hal ini dipengaruhi oleh karakter masyarakat yang lebih terbuka dan praktis. Selain itu, masyarakat di wilayah pesisr yang menguasai teknik pertukangan atau konstruksi rumah gadang tradisional sudah sangat jarang, sehingga mempengaruhi bentuk rumahnya yang lebih disederhanakan. Rumah adat di pesisir salah satunya dikenal sebagai [[Rumah Gadang Kajang Padati|Rumah Kajang Padati]].{{sfn|Purwanita Setijanti, dkk|2012|pp=58}}
Baris 55:
Permukiman masyarakat Minangkabau dikenal sebagai ''[[nagari]]''. Nagari memiliki teritorial beserta batasnya serta mempunyai struktur politik dan aparat hukum tersendiri. Nagari terbentuk setelah melalui tahapan penggabungan satuan permukiman dengan lingkup yang lebih kecil. Permukiman terkecil disebut dengan ''taratak''. Taratak berasal kata dari “tatak”, yang berarti membuat daerah baru untuk dijadikan sebagai tempat tinggal. Taratak dihuni oleh beberapa keluarga dalam satu suku yang sama. Gabungan dari beberapa taratak akan membentuk ''dusun''. Dalam dusun, sudah mulai dibuka lahan pertanian. Perluasan dusun akan membentuk ''koto''. Koto dihuni oleh berbagai kelompok suku. Seiring perkembangan koto, maka muncul kebutuhan untuk membentuk nagari sebagai sistem pemerintahan.{{sfn|Gemala Dewi|2010|pp=13–14}}
 
Menurut adat Minangkabau, terdapat beberapa kriteria terbentuknya nagari, yakni adanya kelengkapan sarana seperti balai adat dan masjid.{{efn|Lengkapnya, persyaratan mendirikan nagari yakni: ''bagalanggang'' (lapangan tempat keramaian), ''bapandam bapakuburan'' (area pemakaman), ''balabuah batapian'' (akses jalan dan sumber air bersir), ''barumah batanggo'' (rumah-rumah yang dihuni), ''basawah baladang'' (lahan pertanian dan ladang perkebunan), dan ''babalai bamusajik'' (balai adat dan masjid).{{sfn|Gemala Dewi|2010|pp=14}}}}{{sfn|Syafwandi|1993|pp=19}} Balai adat merupakan tempat bermusyawarah dalam memutuskan segala urusan, terutama yang berkaitan dengan adat, sementara masjid merupakan bangunan yang digunakan sebagai tempat beribadah. Dalam perkembangannya, kebutuhan akan kedua bangunan tersebut menjadi bagian dari perjalanan arsitektur tradisional Minangkabau.{{sfn|Syafwandi|1993|pp=21–22}}
 
Pada perkampungan tradisional Minangkabau, bangunan dibuat mengarah berjajar menurut utara ke selatan untuk mencegah sinar matahari yang panas terlalu mudah memasuki terhadap bangunan, walaupun terdapat pula bangunan yang memiliki orientasi timur ke barat.{{sfn|Elfida Agus|2006|pp=5}}{{sfn|Ernaning Setiyowati|2010|pp=4}}
Baris 62:
[[Berkas:Pagaruyung.jpg|jmpl|260x260px|[[Istano Basa|Istana Pagaruyung]] sebelum terbakar pada 2007. Penggunaan material kayu yang dominan menjadikan bangunan tradisional Minangkabau rawan terbakar.|al=|kiri]]
[[Berkas:Tiang Masjid Lima Kaum.jpg|al=|kiri|jmpl|260x260px|Deretan tiang [[Masjid Raya Lima Kaum]]. Tiang-tiang yang terbuat dari [[Johar|kayu johar]] masih asli dari sejak didirikan pada abad ke-17]]
Kebanyakan material yang digunakan pada bagunan tradisional Minangkabau adalah kayu. Secara tradisional, pengambilan bahan-bahan bangunan dilakukan di hutan atau di ladang yang secara sengaja ditanam. Bahan ini dipilih sesuai dengan kriteria yang baik untuk bahan bangunan, seperti pohon yang tumbuh dengan sempurna dan memiliki kualitas kayu yang baik.{{sfn|Titin Nofita Handa Puteri|2015}} Tanaman yang biasanya digunakan untuk tiang adalah pohon [[Meranti|kayu meranti]], [[Johar|kayu johar]], [[Surian|kayu surian]], dan lain sebagainya. Selain kayu, bambu merupakan tanaman yang memiliki fungsi fisik yang digunakan sebagai dinding pada bangunan.{{sfn|Fuji Rasyid|2008|pp=58}}
 
Sementara itu, atap bangunan yang berbentuk gonjong menggunakan material yang mudah dilengkungkan seperti bambu untuk nok dan reng-reng atap. Penutup atap berupa ijuk, yakni serat kasar warna hitam yang berasal dari batang [[Aren|pohon aren]]. Ijuk disusun menggunakan teknik ikatan, yakni diikatkan dengan tali rotan pada reng-reng bambu.{{sfn|Esti Asih Nurdiah|2011|pp=50}} Atap ijuk terbukti dapat bertahan selama puluhan tahun selama mendapatkan pemeliharaan yang tepat. Selain ijuk, terkadang penutup atap menggunakan rumput sejenis [[alang-alang]]. Namun, saat ini banyak dijumpa bangunan yang menggunakan penutup atap seng. Namun, seiring berjalannya waktu keberadaan bahan ijuk dan alang-alang mulai jarang dan mahal, maka banyak rumah menggunakan seng sebagai penutup atapnya.{{sfn|Gemala Dewi|2010|pp=89–90}} Hal ini dikarenakan material tradisional membutuhkan waktu lama dalam proses pembuatannya serta semakin sedikit orang yang mampu merakitnya menjadi penutup atap. Kelebihan pemakaian seng di antaranya lebih murah, mudah secara teknis pelaksanaan, efisiensi waktu pengerjaan, dan pengaliran air hujan yang lebih baik sehingga menghindari kebocoran, sedangkan kelemahan pemakaian atap seng yakni mudah berkarat, menyerap panas saat musim panas, menyimpan dingin saat musim hujan, dan menimbulkan suara bising saat terkena air hujan.{{sfn|Purwanita Setijanti, dkk|2012|pp=58}}
Baris 90:
}}
 
Masyarakat Minangkabau hidup berkelompok dalam keluaga berdasarkan suku yang sama menurut garis keturunan [[matrilineal]] atau disebut ''kaum''. Setiap kaum mempunyai rumah gadang masing-masing yang memiliki ciri khas dan perbedaan tertentu. Hal ini bergantung pada pola dan tatanan adat yang dianut atau disebut kelarasan serta kondisi geografis atau wilayah tempat rumah gadang itu berada. Rumah gadang dimiliki oleh satu kaum dan kepemilikannya menjadi hak milik kaum tersebut sampai generasi yang akan datang. Setiap generasi saling bergantian memakainya.{{sfn|Elfida Agus|2006|pp=4}}
 
Keluarga yang mendiami rumah gadang adalah orang-orang yang seketurunan yang dinamakan ''saparuik,'' yaitu satu keluarga berasal dari satu nenek.{{sfn|Syafwandi|1993|pp=31}}{{sfn|Syafwandi|1993|pp=18}} Namun, yang tinggal di rumah gadang hanya anggota keluarga perempuan saja. Anak perempuan yang berkeluarga atau telah menikah tinggal pada bilik atau kamar rumah gadang bersama suami mereka, sedangkan anak perempuan yang belum dewasa tidur bersama saudara perempuan yang lain di ruang tengah.{{sfn|Esti Asih Nurdiah|2011|pp=17}} Suami tinggal di rumah istri, tetapi hanya boleh tinggal di dalam rumah saat malam hari, Adapun anak laki-laki yang belum menikah tidur di surau.{{sfn|Azyumardi Azra|2003|pp=50}}
Baris 99:
 
=== Bentuk dan konstruksi ===
[[Berkas:Istana Pagaruyung 2018 (5).jpg|rightka|jmpl|Sebuah rumah gadang hanya memiliki satu pintu]]
 
Tampak depan rumah gadang berbentuk trapesium terbalik. Bentuk ini dikarenakan tonggak-tonggak bangunan, kecuali tonggak tuo yang merupakan tiang yang paling tengah, dipasang tidak dengan posisi tegak lurus, tetapi mempunyai kemiringan ke arah luar.{{sfn|Syafwandi|1993|pp=27}}{{sfn|Gemala Dewi|2010|pp=43–44}} Kemiringan tonggak berkisar dua sampai empat derajat terhadap permukaan tanah.{{sfn|Esti Asih Nurdiah|2011|pp=22–23}} Jika garis dari sisi-sisi trapesium terbalik ditarik terus ke bawah, ia akan bertemu pada satu titik di pusat bumi.{{sfn|Gemala Dewi|2010|pp=46–47}}{{sfn|Mestika Zed|2012|pp=63}}
 
Sebagai rumah panggung, lantai rumah gadang ditinggikan dari permukaan tanah dan membentuk kolong. Kolong rumah dibiarkan kosong begitu saja, terkadang dijadikan sebagai kandang ternak seperti ayam dan itik atau tempat menyimpan alat-alat seperti alat pertanian dan alat bertenun. Seluruh kolong ditutup dengan ruyung yang berkisi-kisi jarang.{{sfn|Gemala Dewi|2010|pp=51}} Pada rumah gadang yang memiliki anjung, tinggi lantai ruangan sebelah ujung kiri dan kanan ditinggikan dari lantai ruangan tengah.{{sfn|Syafwandi|1993|pp=27}}
 
Sebuah rumah gadang hanya mempunyai sebuah pintu saja dan terletak pada bagian ruang yang di tengah.{{sfn|Gemala Dewi|2010|pp=40}} Hal ini disebabkan karena sebagai rumah panggung, rumah gadang membutuhkan tangga untuk memasukinya. Bukaan berupa jendela umumnya terdapat pada sisi bagian depan dan sisi samping, sedangkan sisi bagian belakang bangunan tidak mempunyai jendela sama sekali.{{sfn|Syafwandi|1993|pp=28}} Jumlah jendela bergantung pada jumlah ruangan. Jendela berfungsi sebagai sirkulasi udara serta pencahayaan. Dinding bagian belakang tidak dibuatkan jendela untuk menjaga privasi dan melindungi perempuan yang tinggal di rumah gadang.{{sfn|Gemala Dewi|2010|pp=50}}
 
[[Berkas:Istana Pagaruyung 2018 (8).jpg|jmpl|leftkiri|260x260px|Pondasi rumah gadang|al=]]
 
Struktur rumah gadang yang dibangun secara tradisional terbukti tahan terhadap getaran akibat gempa bumi. Getaran dari gempa yang diterima struktur tiang akan disalurkan ke pondasi batu tanpa merusak. Tiang tidak ditanam di dalam pondasi, tetapi hanya ditumpangkan begitu saja. Saat terjadi gempa, sambungan tiang dan pondasi tidak akan patah, melainkan bergerak mengikuti arah gempa.{{sfn|Beritagar.id|8 Desember 2017}} Begitu pula sambungan lainnya pada konstruksi rumah gadang. Balok-balok kayu disambung tidak menggunakan paku, melainkan hanya disambung dengan menggunakan berbagai teknik pengikatan maupun pasak. Bahan pengikat berupa talinya terbuat dari serat rotan, serat bambu, maupun ijuk. Teknik penyambungan ini bersifat fleksibel terhadap getaran. Saat terkena getaran, sambungan tidak akan menyebabkan material seperti kayu menjadi rusak.{{sfn|Gemala Dewi|2010|pp=47–48}}
 
Menurut penelitian [[Mestika Zed]], indikator kuatnya rumah gadang terhadap getaran terlihat pada [[Gempa bumi Sumatra Barat 2007|gempa bumi 2007]] dan [[Gempa bumi Sumatra Barat 2009|2009]]. Tidak ada rumah gadang yang dibangun secara tradisional yang runtuh.{{sfn|Mestika Zed|2012|pp=71}}
 
{{-}}
 
=== Tatar ruang ===
Ukuran panjang rumah gadang ditentukan oleh banyaknya ruang. Jumlah ruang merujuk pada jumlah bilik atau kamar.{{sfn|Gemala Dewi|2010|pp=37–39}} Adapun ukuran lebar rumah gadang ditentukan oleh lanjar. Batas lanjar dan ruang ditandai oleh tiang-tiang rumah gadang. Tiang dari ujung kiri ke ujung kanan menandai ruang, sedangkan tiang dari banjar depan ke banjar belakang menandai lanjar. Jumlah lanjar bisa tiga atau empat, sedangkan jumlah ruang mengikut bilangan ganjil: lima, tujuh, dan sembilan. Pada masa lalu, terdapat rumah gadang yang memiliki lebih dari sembilan ruang seperti [[Rumah Gadang 13 Ruang Suku Dalimo|Rumah Gadang 13 Ruang]] di Sijunjung dan [[Rumah Gadang 20 Ruang]] di Solok.{{sfn|BPCB Sumatera Barat|29 Oktober 2017}}{{sfn|BPCB Sumatera Barat|22 Juni 2015}}
 
Dalam pepatah-petitih Minangkabau, terdapat ungkapan yang menjelaskan ukuran rumah gadang, yakni ''salanja kudo balari, sapakiak budak maimbau, sajariah kubin malayang.'' Artinya, jarak antara tiang satu ke tiang dalam satu ruang bisa ditempuh oleh "seekor kuda yang berlari kencang dalam satuan waktu yang pendek". Di antara dua ruang yang terjauh, masih dapat didengar "suara seorang anak yang memanggil". Di dalam ruangan, masih dapat terbang "seekor burung kubin (sejenis burung yang dapat terbang cepat) dengan sekencang-kencangnya".{{sfn|Syafwandi|1993|pp=22–23}}{{sfn|Andri Nur Oesman|2014|pp=8}} Tidak adanya ukuran yang pasti dalam pembangunan rumah gadang membuat tidak ada rumah gadang yang sama persis antara satu dengan lainnya.{{sfn|Katherine Steffi Halim & Eveline C.S.|2009|pp=230}} Walaupun demikian, terdapat satuan yang dipakai dalam menentukan ukuran ruang, yakni "''eto''" atau hasta.{{sfn|Gemala Dewi|2010|pp=64}} Kadang-kadang untuk mencari bentuk yang baik, ukuran eto ditambah atau dikurangi satu jengkal. Menurut ukuran eto, panjang untuk satu ruang rumah gadang kira-kira 5 sampai 7 eto. Jika satu eto dikonversikan menjadi 0,5 meter, maka panjang untuk satu ruang yakni 2,5 m sampai 3,5 m. Rumah gadang terpendek yang memiliki lima ruang memiliki panjang sekitar 15 m, sedangkan rumah gadang terpanjang yang memiliki 20 ruang panjangnya sekitar 60 m. Adapun lebar rumah gadang bergantung jumlah lanjar, yang lebarnya dapat berkisar 10 m sampai 14 m.{{sfn|Syafwandi|1993|pp=23}}
 
[[Berkas:Istana Pagaruyung 2018 (10).jpg|kiri|jmpl|260x260px|Deretan tiang-tiang yang membagi lanjar. Seluruh lanjar dalam rumah gadang merupakan ruangan lepas, kecuali lanjar bilik yang digunakan untuk kamar tidur. ]]
 
Tata ruang ruang rumah gadang dibagi menurut lanjar yang terkait dengan pola kegiatan sehari-hari di rumah gadang. Rumah gadang yang ideal memiliki empat lanjar, yakni: lanjar balai, lanjar labuah, lanjar bandua, dan lanjar bilik. Tiga lanjar diperuntukkan sebagai tempat berkumpul bersama, sisanya satu lanjar diperuntukkan sebagai tempat tidur. Artinya, tiga per empat dari luas keseluruhan rumah gadang diperuntukkan sebagai ruangan komunal, dan hanya seperempat yang diperuntukkan sebagai ruang privat.{{sfn|Gemala Dewi|2010|pp=40}} Hal ini menunjukkan bahwa rumah gadang lebih mengutamakan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi. Ruang terbuka terletak pada bagian depan, sedangkan ruang tertutup terletak pada bagian belakang.{{sfn|Fuji Rasyid|2008|pp=67}}
Baris 127:
Lanjar balai lazimnya digunakan sebagai tempat tamu laki-laki bila diadakan perjamuan. Lanjar balai terletak pada bagian paling depan. Setelahnya, terdapat lanjar labuah dan lanjar bandua. Lanjar labuah berfungsi sebagai ruang peralihan dari lanjar balai ke ke lanjar bandua. Lanjar bandua digunakan sebagai tempat makan. Adapun lanjar paling belakang, yakni lanjar bilik, diperuntukkan sebagai kamar atau disebut bilik dalam bahasa Minang.{{sfn|Gemala Dewi|2010|pp=37–39}} Jumlah kamar tergantung pada jumlah perempuan yang tinggal. Bilik merupakan lambang kekuasaan perempuan yang bersifat pribadi dengan bentuk ruang tertutup, sedangkan balai, labuah, dan bandua merupakan lambang kekuasaan laki-laki yang bersifat umum dengan bentuk ruang terbuka.{{sfn|Fuji Rasyid|2008|pp=68}}
 
Pada masyarakat Minang yang matrilineal, suami hidup di rumah gadang istri. Suami hanya diperbolehkan berada di kamar istri pada waktu dan kondisi tertentu. Sebagai kamar tidur, kamar rumah gadang hanya memiliki satu pintu menghadap ke depan, yakni lanjar bandua. Bilik tidak memiliki jendela pada sisi belakang. Hal ini dimaksud untuk mejaga keamanan perempuan atau suami istri yang tidur di bilik dari gangguan yang datang dari luar.{{sfn|Fuji Rasyid|2008|pp=68}}
 
Bilik-bilik dalam rumah gadang yang berjumlah ganjil semuanya difungsikan sebagai kamar tidur anak perempuan yang sudah bersuami, kecuali bagian tengah atau pangkal yang menjadi akses ke belakang rumah.{{sfn|Andri Nur Oesman|2014|pp=7–8}} Peruntukan bilik ditentukan oleh umur perempuan yang telah menikah. Bilik pada bagian ujung rumah gadang diperuntukkan bagi anak perempuan yang baru menikah, sedangkan bilik sesudahnya ditempati oleh anggota keluarga perempuan yang telah menikah. Tata cara ini mengakibatkan terjadinya perpindahan penghuni bilik dalam rumah gadang sesuai dengan jumlah anggota keluarga perempuan yang telah berkeluarga. Setiap ada gadis yang baru menikah, maka perempuan yang sudah menikah lainnya pindah bergeser satu ruangan, makin dekat ke pangkal rumah gadang. Urutan penempatan demkian bertujuan untuk mengingatkan perempuan yang tertua bahwa pada masa yang akan datang, bila anggota keluarga rumah gadang sudah ramai sesuai dengan jumlah anggota keluarga yang telah menikah, maka saudara perempuan yang tertua harus mempersiapkan diri membangun rumah gadang baru.{{sfn|Syafwandi|1993|pp=26}}
Baris 147:
{{Multiple image|direction=vertical|align=right|image1=COLLECTIE TROPENMUSEUM Het dorpshuis in Minangkabause bouwstijl te Batipoe Sumatra`s Westkust TMnr 60003548.jpg|image2=COLLECTIE TROPENMUSEUM Sumatra gemeenschapshuis in een Minangkabau dorp TMnr 60018259.jpg|width2=230|width1=230|footer=Balai adat Koto Piliang (atas) dan balai adat Bodi Chaniago (bawah)}}
 
Balai adat di Minangkabau disebut ''balairung''. Balairung berfungsi sebagai tempat sekelompok kepala keluarga atau [[penghulu]] berkumpul musyawarah untuk menyelesaikan urusan adat. Balairung hanya dapat dibangun di permukiman yang telah menerima status nagari dan menjadi salah satu syarat berdirinya sebuah nagari. Keberadaanya biasanya terletak di tengah-tengah nagari dan berdekatan dengan masjid.{{sfn|Masoed Abidin|2005|pp=85}}{{sfn|Syafwandi|1993|pp=19}}{{sfn|Syamsidar|1991|p=49–51}}
 
Sebuah balairung memiliki bentuk yang sama seperti rumah gadang, yakni menggunakan gonjong dan dirancang sebagai rumah panggung. Tiap-tiap nagari membangun balai adat sesuai dengan sistem adat yang dianutnya. Balai Adat Koto Piliang mempunyai anjung atau lantai yang ditinggikan pada sisi kiri dan kanan, sebagai petunjuk bahwa kedudukan penghulu dalam adat Koto Piliang tidak sama. Oleh karena itu dalam musyawarah, penghulu duduk sesuai dengan kedudukannya dalam adat. Adapun balai adat Bodi Caniago lantainya datar saja dari ujung ke ujung, karena pengertian semua penghulu dalam persidangan duduk sama rendah tegak sama tinggi, yakni tidak ada penghulu yang duduknya lebih tinggi dari yang lain. Baik balai adat Koto Piliang maupun Bodi Caniago tidak mempunyai daun pintu sehingga terbuka saja. Pengertiannya adalah tidak ada yang bersifat rahasia dalam persidangan yang diadakan.{{sfn|Syafwandi|1993|pp=33}}{{sfn|Masoed Abidin|2005|pp=85}}{{sfn|Syamsidar|1991|p=49–51}}
 
Perbedaan utama antara balairung dan rumah gadang adalah terletak pada interior. Balairung dirancang sebagai sebuah ruang yang secara keseluruhan digunakan untuk fungsi komunal. Akibatnya, balairung tidak memiliki panel untuk pintu dan jendela. Banyak balairung tidak memiliki dinding. Dengan demikian, lebih banyak orang dapat bergabung dalam acara musyawarah dari luar balairung. Akses ke balairung disediakan oleh bukaan di tengah-tengah bangunan, yang dihubungkan ke tanah dengan sebuah tangga.{{sfn|Syamsidar|1991|p=49–51}}
Baris 579:
{{Arsitektur Indonesia}}
 
[[Kategori:Arsitektur Minangkabau|* ]]