Arsitektur Minangkabau: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 32:
Secara tradisional, bangunan di Minangkabau berbahan kayu dan menggunakan ijuk sebagai penutup atap. Kayu masih menjadi material utama yang digunakan pada bangunan-bangunan di Minangkabau sampai abad ke-18. [[William Marsden]] dalam ''History of Sumatra'' mencatat, rumah-rumah di Minangkabau tidak dibangun dengan batu bata atau tanah liat sebagaimana di Jawa, tapi kayu. Hal ini, menurut Marsden, karena daerah Minangkabau sering dilanda gempa bumi.{{sfn|William Marsden|1810}} Selain itu, kayu digunakan sebagai upaya adaptasi terhadap iklim tropis yang panas dan lembab. Kayu dapat disusun membentuk [[kisi-kisi]] sehingga dapat berfungsi sebagai ventilasi ruangan. Adapun ijuk digunakan sebagai penutup atap karena sifatnya menyerap panas, sehingga panas sinar matahari tidak langsung masuk ke ruangan. Pada saat yang sama, ijuk menyimpan panas sehingga pada musim hujan suhu ruang tetap terjaga kehangatannya.{{sfn|Purwanita Setijanti, dkk|2012|pp=58}}
 
Dalam pengamatan Marsden, daerah-daerah dekat [[Pesisir Barat Sumatra|pantai barat Sumatra]] sampai pengujung abad ke-18 merupakan area rawa-rawa yang sulit ditinggali. Kedatangan angin puting beliung dari laut dan gempa bumi menjadi tantangan di tempat seperti ini untuk mendirikan pemukiman. Pada awalnya, dusun atau perkampungan orang Minang terletak di dekat sungai dan danau karena fungsinya sebagai jalur pengangkutan hasil bumi. Dusun-dusun biasanya dibangun di daerah ketinggian.{{sfn|William Marsden|1810}} Namun, seiring masuknya intervensi Belanda, terutama pasca-[[Perang Padri]], daerah-daerah yang dulunya rawa-rawa, seperti [[Kota Padang|Padang]], menjadi pusat aktivitas sehingga menyebabkan banyak orang Minang turun ke pesisir. Memasuki abad ke-20, terjadi peralihan penggunaan bahan bangunan, seperti penggunaan batu bata dan kapur.{{sfn|Gemala Dewi|2010|pp=25}}
 
=== Perbedaan corak ===