Hamka: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 37:
Dibayangi nama besar ayahnya [[Abdul Karim Amrullah]], Hamka sering melakukan perjalanan jauh sendirian. Ia meninggalkan pendidikannya di [[Sumatra Thawalib|Thawalib]], menempuh perjalanan ke Jawa dalam usia 16 tahun. Setelah setahun melewatkan perantauannya, Hamka kembali ke Padang Panjang membesarkan Muhammadiyah. Pengalamannya ditolak sebagai guru di sekolah milik Muhammadiyah karena tak memiliki diploma dan kritik atas kemampuannya berbahasa Arab melecut keinginan Hamka pergi ke [[Mekkah]]. Dengan bahasa Arab yang dipelajarinya, Hamka mendalami [[sejarah Islam]] dan sastra secara otodidak. Kembali ke Tanah Air, Hamka merintis karier sebagai wartawan sambil bekerja sebagai guru agama di Deli. Dalam pertemuan memenuhi kerinduan ayahnya, Hamka mengukuhkan tekadnya untuk meneruskan cita-cita ayahnya dan dirinya sebagai ulama dan sastrawan. Kembali ke Medan pada 1936 setelah pernikahannya, ia menerbitkan majalah ''[[Pedoman Masyarakat]]''. Lewat karyanya ''[[Di Bawah Lindungan Ka'bah (novel)|Di Bawah Lindungan Ka'bah]]'' dan ''[[Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck]]'', nama Hamka melambung sebagai sastrawan.
 
Selama [[Revolusi Nasional Indonesia|revolusi fisik]], Hamka bergerilya bersama Barisan Pengawal Nagari dan Kota (BPNK) menyusuri hutan pengunungan di Sumatra Barat untuk menggalang persatuan menentang kembalinya Belanda. Pada 1950, Hamka membawa keluarga kecilnya ke Jakarta. Meski mendapat pekerjaan di [[Departemen Agama]], Hamka mengundurkan diri karena terjun di jalur politik. Dalam [[Pemilihan Umum 1955|pemilihan umum 1955]], Hamka dicalonkan Masyumi sebagai wakil Muhammadiyah dan terpilih duduk di [[Konstituante]]. Ia terlibat dalam perumusan kembali dasar negara. Sikap politik Masyumi menentang komunisme dan gagasan [[Demokrasi Terpimpin]] memengaruhi hubungannya dengan [[Sukarno]]. Usai Masyumi dibubarkan sesuai [[Dekret Presiden 5 Juli 1959]], Hamka menerbitkan majalah ''Panji Masyarakat'' yang berumur pendek, dibredel oleh Sukarno setelah menurunkan tulisan [[Mohammad Hatta|Hatta]]—yang telah mengundurkan diri sebagai wakil presiden—berjudul "Demokrasi Kita". Seiring meluasnya pengaruh komunis, Hamka dan karya-karyanya diserang oleh organisasi kebudayaan [[Lembaga Kebudajaan Rakjat|Lekra]]. Tuduhan melakukan gerakan subversif membuat Hamka diciduk dari rumahnya ke tahanan Sukabumi pada 1964. Ia merampungkan ''[[Tafsir Al-Azhar]]'' dalam keadaan sakit sebagai tahanan.
 
Seiring peralihan kekuasaan ke [[Suharto|Soeharto]], Hamka dibebaskan pada Januari 1966. Ia mendapat ruang pemerintah, mengisi jadwal tetap ceramah di [[Radio Republik Indonesia|RRI]] dan [[Televisi Republik Indonesia|TVRI]]. Ia mencurahkan waktunya membangun kegiatan dakwah di [[Masjid Al-Azhar]]. Ketika pemerintah menjajaki pembentukan MUI pada 1975, peserta musyawarah memilih dirinya secara aklamasi sebagai ketua. Namun, Hamka memilih meletakkan jabatannya pada 19 Mei 1981, menanggapi tekanan Menteri Agama untuk menarik fatwa haram MUI atas perayaan [[Natal]] bersama bagi umat Muslim. Ia meninggal pada 24 Juli 1981 dan jenazahnya dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta.