Hak asasi manusia: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
k Bot: Perubahan kosmetika
Baris 267:
Standar hak asasi manusia yang ditetapkan di tingkat internasional pada akhirnya perlu diimplementasikan melalui sistem hukum di tingkat nasional.{{sfn|Ando|2013|p=698}} Suatu negara dapat menerima perjanjian HAM internasional dengan cara ratifikasi, aksesi, atau suksesi. Ratifikasi merupakan tindakan yang secara resmi menyatakan persetujuan untuk terikat dengan suatu perjanjian internasional. Ratifikasi biasanya didahului oleh penandatanganan perjanjian oleh perwakilan negara, dan ratifikasi hanya dapat dilaksanakan setelah memenuhi syarat-syarat yang tercantum dalam [[hukum tata negara]].{{sfn|Ando|2013|p=699}} Sebagai contoh, [[Konstitusi Amerika Serikat]] mengatur bahwa suatu perjanjian baru dapat diratifikasi oleh [[presiden Amerika Serikat|Presiden]] setelah disetujui oleh dua pertiga suara di [[Senat Amerika Serikat|Senat]].{{sfn|Ando|2013|p=699-700}} Sementara itu, aksesi adalah pernyataan kesediaan suatu negara untuk terikat kepada suatu perjanjian setelah perjanjian tersebut sudah mulai berlaku. Suksesi sendiri adalah pewarisan perjanjian setelah dibubarkannya suatu negara, contohnya adalah [[Rusia]] yang mewarisi kewajiban ICCPR dari [[Uni Soviet]].{{sfn|Ando|2013|p=699}} Ketika suatu negara sedang meratifikasi atau melakukan aksesi terhadap suatu perjanjian, mereka dapat mengeluarkan "reservasi" yang mengesampingkan atau mengubah hak atau kewajiban yang dibebankan oleh suatu perjanjian terhadap negara tersebut. Pasal 19 Konvensi Wina tidak mengizinkan reservasi yang dilarang oleh suatu perjanjian atau reservasi yang bertentangan dengan tujuan dan maksud dari perjanjian tersebut. Sebagai contoh, Amerika Serikat ketika meratifikasi ICCPR mengeluarkan reservasi yang mengesampingkan penerapan Pasal 6(5) yang melarang pengganjaran hukuman mati terhadap seseorang yang dijatuhi hukuman tersebut sebelum mereka mencapai usia 18 tahun. Reservasi ini ditolak oleh negara-negara Eropa lainnya karena dianggap bertentangan dengan tujuan dan maksud dari ICCPR. Negara juga dapat mengeluarkan "deklarasi penafsiran" ketika meratifikasi suatu perjanjian, dan kadang-kadang muncul pertanyaan mengenai apakah "deklarasi" yang dikeluarkan oleh suatu negara hanya sekadar "deklarasi" atau merupakan sebuah "reservasi". Misalnya, Mesir mengeluarkan deklarasi bahwa mereka "menerima, mendukung, dan meratifikasi" ICCPR setelah mempertimbangkan isi dari hukum [[syariah]] dan "fakta bahwa hukum tersebut tidak bertentangan dengan ICCPR".{{sfn|Ando|2013|p=700}} Banyak anggota Komite Hak Asasi Manusia PBB yang merasa bahwa hukum Mesir terlalu timpang dengan isi dari ICCPR, dan mereka menyarankan agar deklarasinya diklarifikasi atau dicabut.{{sfn|Ando|2013|p=700-701}} Terkait dengan dampak dari reservasi itu sendiri, Pasal 21 Konvensi Wina mengatur bahwa reservasi yang ditolak oleh suatu negara dapat dianggap tidak berlaku antara negara yang mengeluarkan reservasi dengan negara yang menolak reservasi tersebut.{{sfn|VCLT|1969}} Akan tetapi, pada tahun 1994, Komite Hak Asasi Manusia menyatakan dalam Komentar Umum No. 24 bahwa mereka dapat menentukan apakah suatu reservasi itu sah atau tidak, dan mereka akan memutus reservasi yang dianggap tidak sesuai. Komite HAM PBB sendiri tidak memberikan justifikasi yang kuat, dan pernyataan ini telah dikritik oleh berbagai negara seperti Amerika Serikat, Britania Raya, dan Prancis.{{sfn|Moloney|2004|p=165}} Dari sudut pandang normatif, ada yang berpendapat bahwa reservasi perlu diizinkan agar semakin banyak negara yang mau terikat dengan perjanjian HAM. Namun, reservasi terhadap perjanjian HAM telah dikritik karena dianggap mengancam keutuhan dari perjanjian tersebut, sehingga kemampuan untuk membatalkan reservasi dirasa perlu untuk semakin memperkuat perlindungan HAM di tingkat internasional.{{sfn|Moloney|2004|p=155-156, 160}}
 
Setiap negara memiliki aturannya sendiri sehubungan dengan tata cara untuk memasukkan perjanjian HAM internasional ke dalam hukum nasional. Secara umum, terdapat dua macam cara, yaitu "penerimaan langsung" dan "penerimaan khusus" atau "individual". Penerimaan langsung berarti bahwa pasal-pasal dalam perjanjian yang telah diratifikasi dapat langsung digunakan di pengadilan nasional. Contoh negara-negara yang menggunakan pendekatan ini adalah Amerika Serikat dan Jepang. Sementara itu, Britania Raya dan negara-negara yang pernah menjadi jajahannya memiliki sistem penerimaan khusus, yang berarti bahwa isi dari suatu perjanjian HAM harus dituangkan ke dalam undang-undang nasional terlebih dahulu sebelum dapat dipakai di pengadilan nasional. Sebagai ilustrasi, Britania Raya telah menetapkan ''[[Human Rights Act 1998]]'' pada tahun 2000, sehingga rakyat Britania dapat membawa perkara mengenai pelanggaran Konvensi HAM Eropa ke pengadilan nasional.{{sfn|Ando|2013|p=702}} Terkait dengan posisi perjanjian HAM internasional dalam hierarki hukum nasional, setiap negara juga memiliki sistemnya sendiri. Negara seperti Belanda memberikan kedudukan tertinggi kepada perjanjian internasional, dan perjanjian yang bertentangan dengan undang-undang dasar tetap dianggap sah jika perjanjian tersebut disetujui oleh dua per tiga suara di [[Eerste Kamer]] dan [[Tweede Kamer]]{{sfn|Ando|2013|p=703}} Di sisi lain, terdapat negara seperti Prancis yang Jepang yang menyatakan bahwa perjanjian internasional kedudukannya lebih rendah daripada undang-undang dasar, tetapi masih lebih tinggi dibandingkan dengan hukum biasa. Sementara itu, di Amerika Serikat, perjanjian internasional memiliki kedudukan yang sama dengan hukum federal, sehingga hukum federal yang ditetapkan sesudahnya dapat mengesampingkan perjanjian yang telah diratifikasi sesuai dengan asas ''[[lex posterior derogat legi priori]]'' ("hukum terbaru mengesampingkan hukum yang lama").{{sfn|Ando|2013|p=704}}
 
== Pembatasan dan pengurangan ==