Tarekat Wetu Telu: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
k Bot: Perubahan kosmetika |
||
Baris 7:
== Sejarah ==
Istilah Wetu Telu dikenal luas oleh publik melalui buku Dr. J. Van Ball yang ditulis pada [[tahun]] 1940 dengan judul ''Pesta Alip di Bayan'' (penerjemah:Koentjaraningrat).<ref name=":12">Budiwanti, Erni, 2000, ''Islam Sasak: Wetu Telu Versus Waktu Lima'', LkiS,Jakarta</ref> Pesta Alip adalah [[acara]] adat yang dilaksanakan [[delapan]] tahun sekali yang bertujuan untuk memelihara keberadaan [[makam]] para leluhur [[Bayan]] di kompleks makam Masjid kuno Bayan.<ref name=":1" /> Wetu Telu juga sering disebut Sesepen berasal dari [[kata]] sesep atau meresap yang berarti [[pengetahuan]] atau ajaran yang diajarkan sampai tuntas.<ref name=":1" />
=== Awal mula ===
Baris 13:
=== Setelah penjajahan ===
Lombok merdeka pada tahun 1946 sebagai bagian dari [[Indonesia]].<ref name=":0" /> Stelah itu, pada tahun 1959 Tuan Guru Zainuddin Abdul Madjid yang juga pemimpin [[nasionalis]] mendirikan [[pesantren]]nya, Nahdatul Wathan, yang sekarang merupakan salah satu pesantren tertua di Lombok.<ref name=":0" /> Kharisma dan status Tuan Guru makin berkembang seiring meningkatnya jumlah [[santri
== Lokasi ==
Baris 21:
Secara umum masyarakat pemeluk ajaran Wetuk Telu mengaku sebagai [[muslim]].<ref name=":3" /> Tapi tidak pernah melakukan kewajiban sebagai Muslim.<ref name=":3" /> Kewajiban tersebut dibebankan kepada kyai atau [[guru]].<ref name=":3" /> Kondisi ini meyebabkan sebuah pemahaman baru untuk masyarakat Sasak, Desa Bayan.<ref name=":3" /> Kedua pihak ini yang akan menanggung [[resiko]] di hari akhir kelak.<ref name=":3" /> Oleh sebab itu, para kyai pemeluk Islam Wetu Telu memiliki status sosial yang [[tinggi]], dihormati, dan disegani oleh ᴡarga setempat.<ref name=":3" /> Segala perintah yang diucapkan harus dituruti dan dipatuhi.<ref name=":3" /> Siapa saja yang mencoba membangkang atau menyinggung hati seorang kyai, [[malapetaka]] akan datang pada dirinya dan semua anggota keluarganya.<ref name=":3" /> Mereka akan diasingkan dalam pertemuan banjar (agama) atau dalam upacara adat.<ref name=":3" /> Hukuman atau sanksi yang telah diberikan ini bisa diampuni setelah diadakan sebuah upacara selamatan.<ref name=":3" /> Upacara ini memiliki tujuan sebagai penebus [[dosa]] sekaligus sebagai langkah awal rehabilitasi nama baik di kehidupan bermasyarakat. Bagi masyarakat yang bukan golongan kyai, tidak memiliki kewajiban melakukan salat dan puasa.<ref name=":3" /> Selain itu, masyarakat biasa tidak ingin belajar membaca Al-Qur’an, sebab pembaca Al-Qur’an itu disyaratkan harus [[bersih]] dan [[suci]], sementara mereka menganggap dirinya [[kotor]].<ref name=":3" /> Orang-orang yang berasal dari golongan sangat yakin akan masuk [[surga]], asal mau melaksanakan semua perintah kyai, seperti membuat acara selamatan dan bersedekah kepada para kyai itu sendiri.<ref name=":3" /> Dalam kepercayaan ini, membaca Al-Qur’an hanya dilakukan seᴡaktu-ᴡaktu saja, seperti pada bulan puasa dan pada saat ada orang yang meninggal.<ref name=":3" /> Setelah itu, [[mushaf]] Al-Qur’an dan [[kitab]] [[Hadits]] akan disimpan di bumbungan atap rumah.<ref name=":3" /> Konsep memuliakan Al-Qur’an dan hadits, bukan mengamalkan isi dalam kehidupan, tapi menyimpan di tempat yang paling [[tinggi]].<ref name=":3" />
Ukuran sucinnya manusia berdasarkan sistem kepercayaan Islam Wetu Telu adalah ketika seseorang telah menjadi kyai atau guru.<ref name=":3" /> Oleh karena itu, para kyai atau guru adalah manusia yang suci (ma’shûm).<ref name=":3" /> Pengangkatan
Konsep kepemimpinan dalam kepercayaan ini hampir sama dengan konsep imâmah kaum [[Syi’ah]]. Bagi Syi’ah, imam adalah kepentingan agama.<ref name=":3" /> Tanpa adanya
== Acara ritual ==
Baris 31:
=== Maleman Qunut dan Maleman Likuran ===
Maleman Qunut adalah acara peringatan untuk menandai sukses menginjak separuh bulan puasa.<ref name=":4">{{Cite web|url=https://nusantaranews.co/tradisi-islam-wetu-telu-dari-maleman-qunut-hingga-lebaran-tinggi/|title=Tradisi Islam Wetu Telu: Dari Maleman Qunut Hingga Lebaran Tinggi|last=Sulaiman|first=Achmad|date=2017-06-23|website=NUSANTARANEWS|language=en-US|access-date=2019-04-02}}</ref> Upacara ini diadakan pada [[malam]] ke[[enam belas]] bulan puasa.<ref name=":4" /> Apabila dibandingkan dengan Waktu Lima, pada malam keenam belas dalam [[rakaat]] terakhir salat [[witir]] setelah shalat [[tarawih]] harus disisipkan do'a [[qunut]].<ref name=":4" /> Mungkin ini menjadi dasar menyelenggarakan Maleman Qunut.<ref name=":4" /> Sedangkan Maleman Likuran adalah sebuah upacara pada malam ke-21, 23, 25, 27, dan 29 bulan puasa.<ref name=":4" /> Perayaan itu memiliki istilah
=== Maleman Pitrah dan Lebaran Tinggi ===
Maleman Pitrah identik dengan pembayaran [[zakat]] fitrah di kalangan pemeluk Waktu Lima.<ref name=":4" /> Dalam tradisi Wetu Telu memiliki beberapa perbedaan dalam tata cara pelaksanaan dengan Waktu Lima.<ref name=":4" /> Dalam tradisi Wetu Telu, maleman Pitrah merupakan saat anggota masyarakat mengumpulkan fitrah kepada para kyai yang telah melaksanakan puasa.<ref name=":4" />
=== Lebaran Topat ===
|