Tarekat Wetu Telu: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 8:
 
== Sejarah ==
Istilah Wetu Telu'' dikenal luas oleh publik melalui buku Dr. J. Van Ball yang ditulis pada [[tahun]] 1940 dengan judul ''Pesta Alip di Bayan'' (penerjemah:Koentjaraningrat). Pesta ''Alip'' adalah [[acara]] adat yang dilaksanakan [[delapan]] tahun sekali yang bertujuan untuk memelihara keberadaan [[makam]] para leluhur [[Bayan]] di kompleks makam Masjid kuno Bayan. ''Wetu Telu'' juga sering disebut Sesepen berasal dari [[kata]] sesep atau meresap yang berarti [[pengetahuan]] atau ajaran yang diajarkan sampai tuntas. Sesepen sering disebut [[rahasia]] karena memang tidak banyak yang dapat memahaminya secara [[utuh]]. Mereka yang siap dan mempunyai daya pikir yang baik saja yang diajarkan dan diberikan pemahaman lebih awal, sehingga mereka dapat memberikan pemahaman tuntas selanjutnya kepada generasi mendatang.<ref name=":1">Budiwanti, Erni, 2000, ''Islam Sasak: Wetu Telu Versus Waktu Lima'', LkiS,Jakarta</ref> Pada masa awal kemunculannya, Islam Wetu Telu [[lahir]] di tengah masyarakat [[tradisional]] (Suku Sasak), kemudian berkembang di tengah hiruk pikuk masyarakat [[global]]. Pada satu sisi, [[globalisasi]] membentuk [[paradigma]] tentang hidup yang lebih [[modern]], dan akibatnya ajaran-ajaran leluhur melalui [[tradisi]] mulai luntur. Pandangan tentang “ketinggalan jaman” lebih mendominasi ketimbang keyakinan atas majunya kebudayaan karena menghargai apa yang telah dicapai oleh leluhur di masa lampau dan wajib dilestarikan. Islam Wetu Telu, namun demikian, melalui [[filosofi]] hidupnya: “Pantang Melupakan Leluhur” tetap bertahan di tengah derasnya arus modernitas tersebut.
 
=== Awal mula ===
Baris 20:
 
== Pola Ajaran ==
Secara umum masyarakat pemeluk ajaran Wetuk Telu mengaku sebagai [[muslim]] orang Islam tetapi mereka tidak pernah melakukan tugas dan kewajiban-kewajibannya selaku Muslim. Kewajiban-kewajiban tersebut hanya dibebankan kepada kyai atau [[guru]]. Kondisi demikian menimbulkan suatu pemahaman baru pada orang Sasak Desa Bayan bahwa seluruh kewajiban agama dibebankan kepada kyai atau yang sering disebut guru. Mereka inilah yang akan memikul segala [[resiko]] di hari akhir kelak . Oleh sebab itu, para kyai pemeluk IWT memiliki status sosial yang [[tinggi]], dihormati, dan disegani oleh ᴡarga setempat. Segala perintah yang diucapkan harus dituruti dan dipatuhi. Siapa saja yang mencoba membangkang atau menyinggung hati seorang kyai, [[malapetaka]] akan datang pada dirinya dan semua anggota keluarganya. Mereka akan diasingkan dalam pertemuan banjar (agama) atau dalam upacara adat. Hukuman atau sanksi yang telah diberikan ini bisa diampuni setelah mengadakan upacara selamatan. Upacara selamatan ini bertujuan sebagai penebus [[dosa]], akan tetapi sebagai langkah awal untuk melakukan rehabilitasi terhadap nama baik dalam kehidupan bermasyarakat.
 
Bagi masyarakat yang bukan golongan kyai, tidak ada kewajiban untuk melakukan salat dan puasa. Mereka tidak belajar membaca Al-Qur’an, sebab pembaca Al-Qur’an harus [[bersih]] dan [[suci]], sementara mereka [[kotor]]. Orang-orang dari golongan ini yakin akan masuk [[surga]], asal melaksanakan segala yang diperintahkan oleh kyai mereka, seperti mengadakan selamatan dan mengeluarkan sedekah kepada para kyai.
Baris 54:
 
== Aturan perkawinan ==
Dalam melaksanakan perkawinan, ada dua [[sistem]] yang pernah berlaku dalam ajaran Islam Wetu Telu yaitu sistem [[lama]] dan sistem [[baru]].<ref name=":2" /> Sistem lama tidak melengkapi [[rukun]] [[nikah]] sehingga ᴡalaupun tanpa [[akad]] nikah kedua mempelai sudah dapat melakukan hubungan [[suami]] [[isteri]].<ref asalkanname=":2" /> Asalkan sudah menyelesaikan proses-proses yang lain seperti ''tobat kakas''.<ref name=":2" /> Sejauh berkaitan dengan perkawinan menurut ajaran Wetu Telu sistem lama, tidak banyak mencerminkan nilai-nilai Islam karena ritualnya lebih didominasi oleh [[budaya]] [[lokal]].<ref name=":2" /> Di samping itu, sistem ini tidak menerapkan rukun nikah secara lengkap dengan ditiadakannya akad nikah.<ref name=":2" /> Ini artinya, sistem lama sudah dikenal sejak [[zaman]] pra Islam.<ref name=":2" /> Sedangkan perkawinan menurut ajaran Wetu Telu sistem baru, telah menerapkan [[syara]]t dan rukun perkawinan sesuai ajaran Islam.<ref name=":2" /> Pada sistem baru, akad nikah dijadikan sebagai proses inti dan harus dilaksanakan sebelum melakukan hubungan suami isteri.<ref name=":2" /> Upacara perkawinan di Desa Bayan langsung dipimpin oleh Kepala [[Kantor Urusan Agama]] dengan mengikuti tata cara Islam yakni pembacaan [[khutbah]] nikah dan ijab kabul yang dilakukan langsung oleh wali dari mempelai [[wanita]] di hadapan calon [[pengantin]] [[laki-laki]].<ref name=":2" /> Khutbah nikah dibacakan dengan menggunakan [[bahasa Arab]], sedangkan ijab dan kabul digunakan [[bahasa]] Sasak setempat.<ref name=":2" /> Kearifan lokal dalam tata cara perkawinan yang dilaksanakan oleh masyarakat Wetu Telu ditampakkan dari [[akulturasi ]]ajaran Islam dengan ajaran agama Siwa-Budha sebagai agama asli orang Bayan dan Hindu Bali selaku agama kerajaan Bali yang pernah menjajah daerah Pulau Lombok.<ref termasukname=":2" Bayan./> Hal ituini, ditunjukkanmenunjukan bahwa dalam perkawinan digunakan [[tiga]] cara yaitu perondongan, mepadik lamar, dan selarian dengan diselesaikan melalui prosesi seperti ''menjojak, memulang, sejati, pemuput selabar, akad nikah, sorong serah, nyongkolan dan balik onos nae''.<ref name=":2" /> Ritual yang dilakukan seperti [[bedak]] [[keramas]] dan merariq (kawin lari), adalah bagian dari ritual yang dilaksanakan oleh [[Hindu]] Bali.<ref name=":2" /> Sementara, ajaran Islam menjadi substansi acara-acara inti seperti pada syarat dan rukun nikahnya.<ref name=":2" /> Dengan demikian, prosesi perkawinan menurut ajaran Wetu Telu menunjukkan masuknya [[unsur]] nilai dari tiga agama yaitu [[Siwa-Budha]] sebagai agama asli masyarakat Bayan pra Islam, Hindu-Bali, dan Islam.<ref name=":2">{{Cite journal|last=Rachmadhani|first=Arnis|date=2011-06-03|title=Perkawinan Islam Wetu Telu Masyarakat Bayan Lombok Utara|url=https://blasemarang.kemenag.go.id/journal/index.php/analisa/article/view/124|journal=Analisa: Journal of Social Science and Religion|language=id|volume=18|issue=1|pages=59–74|doi=10.18784/analisa.v18i1.124|issn=2621-7120}}</ref>
 
== Referensi ==