Faisal dari Arab Saudi: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Yamjisaka (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Yamjisaka (bicara | kontrib)
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 36:
 
== Riwayat Hidup ==
Dalam didikan keluarga dan ulama-ulama disekitarnya, Pangeran Faisal pun tumbuh sebagai anak yang baik dalam pendidikan kerohaniannya, bahkan ia sudah mampu menghafal [[Al-Qur'an]] dalam usia yang masih sangat muda. Dimasa remajanya, tepatnya diusia 16 tahun, Pangeran Faisal diangkat menjadi panglima perang dan diberi kepercayaan memimpin sebuah ekspedisi untuk memadamkan pemberontakan sebuah suku di wilayah Asir, [[Hijaz]] bagian selatan. Pengalaman militernya kembali digembleng diusia 19 tahun, ketika diberi kepercayaan mengomandani sebuah pasukan untuk merebut [[Jeddah]] dari suku Hashemit yang berhaluan Syi'ah Zaidiyah yang seringkali membuat makar melawan Pemerintah di [[Hijaz]]. Pangeran Faisal mencapai prestasi puncaknya dalam bidang militer pada tahun 1934, setelah dia berhasil merebut pelabuhan HoderidaHodeida dalam waktu yang relatif singkat dari kekuasaan Negara [[Yaman]] Sekuler yang mana waktu itu Negara [[Yaman]] Sekuler dibantu oleh militer [[Kerajaan Inggris]].
 
Pada tahun 1932, Raja 'Abdul 'Aziz pun memproklamirkan berdirinya Negara Monarki [[Arab Saudi]] dengan Raja 'Abdul 'Aziz bin 'Abdurrahman sendiri sebagai Raja pertama pasca peresmiannya ini. Pada tahun ini pula, Pangeran Faisal diberi jabatan sebagai Menteri Luar Negeri [[Arab Saudi]]. Pada sebuah pidato kenegaraannya dalam sebuah konferensi KTT Perdamaian dikota [[Versailles]], [[Prancis]], kharismanya berhasil memukau delegasi-delegasi negara asing yang hadir dalam konferensi tersebut.
 
Setelah PBB ([[Perserikatan Bangsa-Bangsa]]) mengeluarkan resolusi pemecahan [[Palestina]] untuk pendirian negara [[Israel]], Pangeran Faisal pun mendesak Raja 'Abdul 'Aziz untuk memutuskan hubungan diplomasi dengan [[Amerika Serikat]] yang menjadi salah satu pencetus resolusi tersebut, namun permintaannya ditolak oleh Raja 'Abdul 'Aziz karena masih adanya hubungan timbal balik di antara kedua negara tersebut waktu itu. Selepas kakaknya, yakni Raja Saud bin 'Abdul 'Aziz yang diangkat menggantikan Raja 'Abdul 'Aziz tersangkut kasus skandal keuangan yang menyebabkannya turun tahta, Pangeran Faisal pun dilantik menjadi pemerintah sementara menggantikan kakaknya yang tengah diasingkan keluar negeri oleh keluarganya. Pada tanggal 2 November tahun 1964, Pangeran Faisal pun resmi dilantik sebagai Raja kedua Arab Saudi menggantikan Raja Saud bin 'Abdul 'Aziz dengan gelar Malik Faisal bin 'Abdul 'Aziz as-Saud.
 
Raja Faisal dikenal sebagai pemimpin yang shalih dan sangat memperhatikan kesejahteraan rakyatnya. Ia sangat memperhatikan kepentingan rakyatnya, banyak sekali program-program baru yang dicanangkannya selepas penobatannya sebagai kepala negara. Beberapa diantaranya adalah, pada tahun 1967 Raja Faisal menggalakkan program penghapusan perbudakan, program ini ia lakukan dengan membeli seluruh budak di Arab Saudi dengan kas pribadinya hingga tak tersisa satupun budak yang dimiliki seorang majikan di negara itu, bahkan ada budak yang ia beli itu memiliki harga sangat mahal (dengan nilai mata uang dimasa itu), yaitu 2.800 dolar. Kemudian ia bebaskan budak-budak yang dibelinya tersebut dan dilanjutkan dengan pemberlakuan aturan tentang pelarangan adanya perbudakan di Arab Saudi untuk selamanya.
 
Raja Faisal juga melakukan penyederhanaan gaya hidup keluarga kerajaan serta melakukan penghematan kas kerajaan dengan menarik 500 mobil mewah [[Cadillac]] milik istana, dana dari hasil program di atas salah satunya terealisasi pada pembangunan sumur raksasa hingga sedalam 1.200 meter sebagai tambahan sumber air rakyat untuk dialirkan pada lahan-lahan tandus disemenanjung Arab.
 
Pada tahun yang sama dengan pencanangan program penghapusan perbudakan, Raja Faisal menyerukan Agresi melawan [[Israel]] dalam rangka pembelaannya terhadap tanah suci Al-Quds ([[Yerusalem]]) dan menghentikan [[Israel]] dari program pemekaran wilayah negaranya atas daerah-daerah disekitarnya. Seruan ini dijawab positif oleh [[Mesir]] dan [[Syria]] yang kemudian tiga negara ini membentuk koalisi militer melawan [[Israel]] yang pada saat itu diback-up secara besar-besaran dalam modal dan persenjataan oleh sekutunya, [[Amerika Serikat]]. Pada awalnya pasukan koalisi Arab (kaum Muslimin) berada di atas angin dan menguasai pertempuran dengan mudah, setelah pasukan koalisi Arab dari negara [[Mesir]] berhasil memukul mundur pasukan [[Israel]] dari Syam dan berencana masuk ke wilayah negara [[Israel]] untuk memperkuat Al-Quds, tiba-tiba [[Amerika Serikat]] mengumumkan pernyataan ancaman terhadap [[Mesir]] tentang akan terjadinya pembantaian besar-besaran atas rakyat [[Mesir]] oleh Amerika jika [[Mesir]] nekat masuk ke wilayah [[Israel]]. Maka dalam rangka menyelamatkan negara dan rakyatnya, [[Gamal Abdul Nasir]] selaku pemimpin [[Mesir]] waktu itu pun terpaksa menarik mundur pasukannya dan mengurungkan niatnya masuk ke wilayah [[Israel]].
 
Dalam seruan khutbah Jihadnya melawan [[Israel]], Raja Faisal berdo'a dihadapan khalayak agar Allah menetapkan kematiannya diterima Allah sebagai orang yang terbunuh dijalanNya (Syuhada). Ia juga berdo'a agar Allah bersegera mencabut nyawanya apabila ia tak mampu membebaskan tanah suci Al-Quds ([[Yerusalem]]) dari cengkeraman [[Israel]] dalam perang yang akan terjadi saat itu.<ref>Raja Faisal dari Kerajaan Arab Saudi</ref>
Raja Faisal yang mendengar intimidasi itupun marah dan menyerukan perang secara ekonomi melawan Amerika, yaitu dengan mengembargo ekspor minyak [[Arab Saudi]] ke Amerika. Negara-negara [[Pakta Pertahanan Atlantik Utara]] (N.A.T.O) yang tadinya mendukung Amerika pun berbalik diam dan meninggalkan dukungannya atas Amerika dikarenakan takut terkena embargo besar Raja Faisal tersebut. Akibat dari embargo tersebut atas [[Amerika Serikat]] adalah lumpuhnya sektor industri dan transportasi, bahkan perekonomiannya menjadi kacau hingga mengalami krisis berkepanjangan yang diperkirakan baru bisa pulih selama sepuluh tahun kedepan (sejak dimulainya embargo).
 
Pada tanggal 25 Maret 1975, Raja Faisal wafat pada tahun itu karena dibunuh. Pembunuhnya adalah keponakannya sendiri, yaitu Faisal bin Mus'ad.
Dalam seruan khutbah Jihadnya melawan [[Israel]], Raja Faisal berdo'a dihadapan khalayak agar Allah menetapkan kematiannya diterima Allah sebagai orang yang terbunuh dijalanNya (Syuhada). Ia juga berdo'a agar Allah bersegera mencabut nyawanya apabila ia tak mampu membebaskan tanah suci Al-Quds ([[Yerusalem]]) dari cengkeraman [[Israel]] dalam perang yang akan terjadi saat itu.<ref>Raja Faisal dari Kerajaan Arab Saudi</ref>
 
Pada tanggal 25 Maret 1975, Raja Faisal wafat pada tahun itu karena dibunuh. Pembunuhnya adalah keponakannya sendiri, yaitu Faisal bin Mus'ad yang baru saja pulang dari [[Amerika Serikat]]. Mus'ad menyamar sebagai delegasi [[Kuwait]] yang ingin bertemu Raja Faisal secara mendadak. Pada saat Raja Faisal berjalan kearahnya untuk menyambut, maka Faisal bin Mus'ad pun tiba-tiba mengeluarkan sepucuk pistol dan menembakkannya ketubuh Raja Faisal sebanyak tiga kali. Dari luka tembak tersebut, Raja Faisal kehabisan darah menghembuskan nafas terakhirnya tak lama setelah itu. Dari hasil penyidikan dan interogasi yang dilakukan, [[Faisal bin Musaid]] mengaku bahwa pembunuhan itu atas dasar inisiatifnya sendiri, selain teori konspirasi yang berhembus di masyarakat, petugas pun mencurigai adanya kerusakan mental pada Faisal bin Musaid. Akhirnya tak lama setalah itu, Ibnu Mus'ad (nama panggilan Faisal bin Musaid) itupun dihukum qishos (bunuh) dihadapan khalayak.
 
== Lain-lain ==