Halaman bangunan: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
mohon maaf, outline belum siap :(
Tag: Penggantian
Baris 1:
 
{{akan dikerjakan}}
[[Berkas:Taman.jpg|jmpl|ka|Pekarangan berupa taman.]]
'''Pekarangan''' adalah areal [[tanah]] yang biasanya berdekatan dan menjadi bagian tak terpisahkan dengan suatu [[bangunan]] atau terkait dengan kepemilikan dalam suatu [[persil]]. Tanah ini dapat diplester, dipakai untuk [[kebun|berkebun]], ditanami [[bunga]], atau kadang-kadang memiliki [[kolam]].
 
Pekarangan dapat berada di depan, belakang atau samping sebuah bangunan, tergantung seberapa besar sisa tanah yang tersedia setelah dipakai untuk bangunan utamanya.
 
== Sosial budaya ==
Pekarangan memainkan peran penting dalam kehidupan sosial manusia. Pekarangan dapat menjadi tempat produksi untuk penghidupan sehari-hari. Tanaman pangan yang dibudidayakan di pekarangan yang baik menghasilkan produk-produk bergizi tinggi dalam bentuk protein, mineral, dan vitamin. Selain itu, produk pangannya berkontribusi bagi ketahanan pangan, terutama pada saat paceklik{{sfn | Arifin | 2013 | pp =10}}. Karena kemampuannya menopang tanaman pangan dan hortikultura, pekarangan dijuluki sebagai “lumbung hidup” dan “warung hidup”{{sfn | Ashari | Saptana | Purwantini | p=15}}. Pekarangan juga dapat menjadi tempat produksi tanaman komersial. Budidaya tanaman pada pekarangan dapat memberi tambahan pendapatan keluarga, khususnya pada wilayah dengan akses pasar yang baik.{{sfn | Arifin | 2013 | pp =10}} Porsi pendapatan keluarga yang diperoleh dari budidaya tersebut bervariasi mulai dari 1-7% hingga lebih dari 50%.{{sfn | Kehlenbeck | Arifin | Maass | pp=298}} Selain itu, tanaman obat-obatan juga bisa ditanam dalam pekarangan, sehingga pekarangan juga disebut sebagai “apotik hidup”{{sfn | Ashari | Saptana | Purwantini | p=15}}.
 
Wanita memainkan peran penting dalam pekarangan. Anggota keluarga wanita menjadi pelaku penjualan produksi tanaman dalam pekarangan.{{sfn | Arifin | 2013 | pp =28}} Selain itu, wanita juga menjadi penjaga dari bebijian tanaman pekarangan beserta pengetahuan akan penanamannya yang diwariskan ke generasi berikutnya. Introduksi dan eksperimentasi terhadap sebuah spesies baru di pekarangan hampir selalu dijalankan wanita dan, terkadang, anak-anak.{{sfn | Galluzzi | Eyzaguirre | Negri | pp=3644}} Karena perawatannya yang, utamanya, dijalankan wanita, pekarangan lebih berkembang dalam masyarakat matriarkis.{{sfn | Soemarwoto | Conway | 1992 | pp=5}}
 
=== Indonesia ===
Jumlah pekarangan di Indonesia bertambah setiap waktu. Hal ini disebabkan oleh pembangunan perumahan dengan sistem horizontal yang selalu melibatkan pekarangan dalam pembangunannya{{sfn | Arifin | 2013 | pp =1-2}}. Namun, rata-rata luas pekarangan semakin sedikit seiring waktu. Hal ini disebabkan oleh urbanisasi, harga lahan yang semakin mahal, dan fragmentasi lahan karena sistem pewarisan{{sfn | Arifin | 2013 | pp =2}}.
 
Tanaman hias mendominasi lebih dari separuh jumlah spesies pekarangan di Indonesia{{sfn | Arifin | 2013 | pp =28}}
 
Terdapat karakteristik yang bisa ditemukan secara umum pada bagian-bagian pekarangan di Indonesia. Halaman depan sering dijumpai pada lahan pekarangan perdesaan dan perkotaan di Indonesia. Bagian tersebut memiliki banyak peran, seperti tempat berkumpul antar keluarga, tempat bermain anak, ritual agama, dan upacara budaya{{sfn | Arifin | 2013 | pp =14}}. Tanaman hias menjadi tanaman yang sering dibudidayakan di halaman depan, sedangkan praktik wanatani lebih banyak dilakukan di halaman samping dan belakang{{sfn | Arifin | 2013 | pp =14}}.
 
Posisi geografis juga menentukan karakteristik pekarangan Indonesia. Karena kondisi iklim di Jawa, pekarangan Jawa dapat mendukung pertumbuhan tanaman tahunan (‘’annual’’), bahkan pada tempat-tempat beriklim kering di Jawa Timur{{sfn | Soemarwoto | Soemarwato | Karyono | Soekartadiredja | 1977 | p=46}}. Pada umumnya, pekarangan di bagian barat Indonesia (yang curah hujannya lebih tinggi) sering memasukkan kolam ikan sebagai salah satu elemennya, sedangkan pekarangan di bagian timur Indonesia (yang memiliki curah hujan lebih rendah) lebih didominasi oleh keberadaan ternak{{sfn | Arifin | 2013 | pp =20}}.
 
Keberadaan ternak juga menjadi hal yang umum pada pekarangan di Indonesia. Ternak yang paling banyak dipelihara adalah ayam kampung, kambing, domba, dan sapi{{sfn | Arifin | 2013 | pp =29}}. Ternak-ternak ini umumnya dipelihara oleh kepala keluarga, sedangkan istri lebih berperan dalam memelihara ternak kecil seperti ayam dan itik{{sfn | Arifin | 2013 | pp =30}}. Ayam cenderung dipelihara oleh keluarga miskin dalam jumlah sedikit, sedangkan kambing dan domba dipelihara keluarga kelas menengah. Selain itu, sapi dan kerbau umumnya dipelihara oleh keluarga kaya{{sfn | Soemarwoto | Soemarwato | Karyono | Soekartadiredja | 1977 | p=45}}. Di pedesaan, ternak-ternak tersebut biasa mencari makanan di sekitar: ayam-ayam memakan sisa makanan dan apapun yang bisa dimakan di pekarangan, sedangkan hewan-hewan seperti kambing, sapi, domba, dan kerbau dibawa ke lahan umum di desa untuk memakan rerumputan di sana.{{sfn | Soemarwoto | Soemarwato | Karyono | Soekartadiredja | 1977 | p=45}}
 
Pekarangan dalam budaya Sunda memiliki nama-nama tersendiri:{{sfn | Arifin | 2013 | pp =13}} <nowiki>''</nowiki>Buruan’’ (halaman depan) untuk lumbung, tanaman hias, pohon buah, tempat bermain anak, bangku taman, serta menjemur hasil pertanian;
‘’Pipir’’ (halaman samping) untuk tempat menjemur pakaian, pepohonan penghasil kayu bakar, bedeng tanaman pangan, tanaman obat, kolam ikan, sumur, dan kamar mandi;
‘’Kebon’’ (halaman belakang) untuk bedeng tanaman sayuran, tanaman bumbu, kandang ternak, dan tanaman industri.
 
Bali memiliki karakter pekarangan tersendiri. Penataan pekarangan di Bali, seperti banyak aspek dalam kebudayaan Bali, dipengaruhi oleh konsep tri-hita-karana, yang memiliki tiga bagian: ‘’parahyangan’’ (hulu, atas), ‘’pawongan’’ (tengah, badan), dan ‘’palemahan’’ (hilir, bawah). Pada pekarangan di Bali, bagian ‘’parahyangan’’ (yang menyimbolkan kesucian) menghadap ke arah Gunung Agung sebagai tempat sembahyang (‘’sanggah’’). Bagian tersebut digunakan untuk tanaman hias yang bunga dan daunnya bisa dipetik setiap hari untuk persembahan. Bagian ‘’pawongan’’ (yang menyimbolkan kehidupan manusia) direpresentasikan oleh tanaman buah-buahan, bunga, dan daun. Bagian ‘’palemahan’’ pada pekarangan berciri bebuahan, batang, daun, dan tumbuh-tumbuhan{{sfn | Arifin | 2013 | pp =15-16}}. Halaman belakang pada pekarangan Bali disebut ‘’teba’’, yang memiliki peran penting dalam kehidupan sehari-hari karena perannya dalam memproduksi tanaman penghasil pati, sayuran, buah, bumbu, dan hasil ternak{{sfn | Arifin | 2013 | pp =17}}.
 
Pemerintah telah banyak berkontribusi dalam perkembangan pekarangan di Indonesia. Sejak akhir 1960-an, program Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK) menyebutkan pekarangan dalam salah satu programnya. Di antara 10 program PKK, butir ke-3 (tentang pangan) menyebutkan bahwa PKK melaksanakan penyuluhan dalam pemanfaatan pekarangan.{{sfn | Ashari | Saptana | Purwantini | p=18}} Pada tahun 1991, program pekarangan secara eksplisit masuk dalam Proyek Pengembangan Diversifikasi Pangan dan Gizi (DPG).Penentuan lokasi proyek DPG merujuk pada data status gizi dari Departemen Kesehatan dan data kemiskinan. Paket pekarangan dalam program tersebut berupa kombinasi dari tanaman pangan, serta tanaman hortikultura, budidaya ikan, dan ternak yang bermineral dan protein tinggi. Terdapat dua bentuk paket yang ditawarkan: Paket A untuk pekarangan lahan kering, terdiri dari tanaman pangan dan ternak; Paket B untuk pekarangan lahan basah, terdiri dari tanaman pangan dan ikan. Pemberian paket tersebut ditambah dengan penunjang aktivitas budidaya berupa sarana produksi (pupuk, pakan, kandang), serta peralatan.{{sfn | Ashari | Saptana | Purwantini | p=16-17}}
 
Kini, optimalisasi pekarangan di Indonesia dijalankan dalam program Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) dan program Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL). Program P2KP mulai digalakkan oleh Kementerian Pertanian pada tahun 2010 sebagai tindak lanjut dari Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan P2KP berbasis sumberdaya lokal. Program tersebut bertujuan untuk meningkatkan penurunan konsumsi beras Indonesia yang hanya turun 0,6% per tahun{{efn | Target penurunan konsumsi beras yang ditetapkan pemerintah adalah sebesar 1,5% per tahun{{sfn | Ashari | Saptana | Purwantini | p=17}}}}. Sebagai pendukung P2KP, Gerakan Perempuan untuk Optimalisasi Pekarangan (GPOP) pun dilaksanakan melalui Direktorat Jenderal Hortikultura. Gerakan tersebut berfokus untuk pemberdayaan perempuan perkotaan dalam optimalisasi lahan pekarangan. Komoditas utama yang dibudidayakan dalam GPOP adalah cabai keriting, cabai rawit, serta berbagai sayuran, tanaman obat, dan tanaman hias. Sementara itu, KRPL dimulai dengan pengembangan model pekarangan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian di bawah mandat Kementerian Pertanian, yang mulai diterapkan di Desa Kayen, Pacitan, Jawa Timur. Lalu, program KRPL mulai berkembang di Kabupaten Pacitan, serta mulai diterapkan di Kabupaten Mojokerto dan Kabupaten Pasuruan. Keberhasilan KRPL di Pacitan, pemerintah Provinsi Jawa Timur mulai mengembangkan KRPL secara langsung lewat program Rumah Hijau Plus-Plus. Program pengembangan ini adalah gerakan pemanfaatan lahan pekarangan pedesaan, lahan-lahan desa, serta kanan-kiri jalan desa. Dalam program ini, pemerintah provinsi bekerja sama dengan ibu-ibu Tim Penggerak PKK, dari tingkat Provinsi hingga tingkat Dasa Wisma.{{sfn | Ashari | Saptana | Purwantini | p=17}}
 
== Ekologi ==
Pekarangan adalah salah satu lahan yang memiliki potensi wanatani.{{sfn | Arifin | 2013 | pp =4}} Bahkan, pekarangan tropis dikatakan sebagai salah satu sistem wanatani paling kompleks.{{sfn | Gliessman | 1990 | pp=161}} Sebagai sebuah sistem wanatani, strata tanaman beragam pada pekarangan mampu menggunakan energi matahari secara efektif, mampu mendaur ulang energi tersebut dalam area pekarangan, mampu melindungi sistem air, mampu melindungi sistem tanah dari erosi, pencucian tanah, dan kelelahan lahan, serta memberi keindahan dan rasa nyaman.{{sfn | Arifin | 2013 | pp =6}}{{sfn | Soemarwoto | Soemarwato | Karyono | Soekartadiredja | 1977 | p=45}} Sistem wanatani pada pekarangan juga bisa menambah pasokan kayu untuk pembakaran dan bahan bangunan{{sfn | Soemarwoto | Soemarwato | Karyono | Soekartadiredja | 1977 | p=46}}.
 
Pekarangan sering dipakai sebagai tempat uji tanaman baru, tempat persemaian, atau perawatan pertama sebelum ditanam di lahan terbuka. Selain itu, pekarangan juga menjadi tempat domestikasi tumbuhan.{{sfn | Galluzzi | Eyzaguirre | Negri | pp=3639}} Terdapat tanaman-tanaman yang tidak pernah atau sudah tidak ditanam lagi di lahan terbuka, yang ternyata ditemukan di pekarangan, misalnya kacang lima di Kuba, atau tanaman belustru di Nepal{{sfn | Galluzzi | Eyzaguirre | Negri | pp=3639}}.
 
Keragaman tanaman pada pekarangan (tradisional) menjadikan pekarangan cenderung resisten terhadap hama{{sfn | Soemarwoto | Soemarwato | Karyono | Soekartadiredja | 1977 | p=45}}.
 
Ukuran minimum pekarangan yang berfungsi dengan baik secara ekologis adalah 100 m2. Hal ini didasarkan pada kapasitas minimumnya untuk menampung keragaman tinggi tanaman yang ideal, mulai dari rerumputan hingga pepohonan tinggi, serta keragaman fungsi tanaman yang ideal pula.{{sfn | Arifin | 2013 | pp =12}} Keragaman tinggi tanaman yang ideal pada pekarangan memberikan banyak manfaat: penggunaan sinar matahari yang efisien (karena diserap tumbuhan berlapis-lapis untuk fotosintesis), penyaringan penetrasi sinar matahari (sehingga udara menjadi lebih sejuk), penyerapan karbon yang baik (oleh tumbuhan yang beragam), dan pengendalian erosi yang baik (oleh sistem tajuk tanaman berlapis){{sfn | Arifin | 2013 | pp =18}}. Keragaman fungsi tanaman yang ideal terdiri dari tanaman hias, tanaman buah, tanaman sayuran, tanaman bumbu, tanaman obat, tanaman penghasil pati, tanaman bahan baku industri, dan tanaman lainnya (seperti penghasil pakan dan penghasil kayu bakar).{{sfn | Arifin | 2013 | pp =12}}{{sfn | Arifin | 2013 | pp =20}}
 
Keragaman tanaman dalam pekarangan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Luas pekarangan berbanding lurus dengan jumlah spesies tanaman dalam pekarangan.{{sfn | Arifin | 2013 | pp =21}} Elevasi pekarangan yang semakin rendah juga meningkatkan keragaman tinggi tanaman pada pekarangan.{{sfn | Arifin | 2013 | pp =19}}. Selain itu, pemanfaatan pekarangan yang mengarah pada pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan cara perawatannya yang fleksibel juga mendorong introduksi dan pemeliharaan tanaman liar, serta perkawinan silangnya dengan tanaman serupa yang telah didomestikasi, yang akhirnya menciptakan keragaman tanaman yang signifikan di pekarangan. Lebih jauh lagi, keragaman dari orientasi dan cara rawat tersebut meningkatkan kemampuan adaptasi spesies tanaman, memberi bahan yang krusial untuk perkawinan tumbuhan, serta menciptakan, melengkapi, dan menjaga koleksi plasma nutfah.{{sfn | Galluzzi | Eyzaguirre | Negri | pp=3639}} Pengaruh kesejahteraan keluarga pada keragaman tanaman dalam pekarangan masih menjadi perdebatan. Argumen di satu sisi menyatakan bahwa keluarga yang lebih sejahtera menanam lebih sedikit tanaman pangan, karena mereka biasanya membeli makanan (bukan menanam) dan lebih memilih tanaman hias. Namun, argumen di sisi lain menghubungkan keragaman yang ditemukan di pekarangan keluarga kaya dengan ukuran pekarangan yang lebih besar, sehingga mendukung keragaman tanaman.{{sfn | Kehlenbeck | Arifin | Maass | pp=303}}
 
== Catatan ==
{{notelist}}
 
== Rujukan ==
{{reflist}}
 
[[Kategori:Bangunan dan struktur]]