Aluk Todolo: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 92:
Khusus agama Islam, penganutnya di Tana Toraja bukan kelompok mayoritas seperti di daerah Indonesia lainnya. Sebelum pemekaran menjadi dua kabupaten yaitu Tana Toraja Utara dengan ibukota Rantepao dan Tana Toraja dengan ibukota Makale, penganut Islam diperkirakan hanya berjumlah 10% dari seluruh populasi Tana Toraja yang hampir 500.000 orang. Selain kaum pendatang yang mayoritas berasal dari Makassar, umat Islam Tana Toraja didominasi oleh masyarakat asli Toraja itu sendiri.
 
AdaTerdapat dua versi tentangmengenai sejarah masuknya Islam ke Tana Toraja. Versi pertama menyebutkan, Islam masuk lewat jalur perdagangan di wilayah Madandan, Kecamatan Saluputti, yang berada di sebelah barat Makale. Islam masuk lewat hubungan perdagangan dengan saudagar Bugis, yang memanfaatkan arah arus [[Sungai Madandan]], sebagai jalur perdagangan dari wilayah Selatan. Jejak tersebut dapat dilihat dengan ditemukannya sisa-sisa bangunan yang beralaskan tanah dengan ukuran 4x6 meter di daerah perbukitan sekitar Desa Madandan. Bangunan dengan kondisi setengah permanen dengan bilah bambu sebagai dindingnya itu dipercaya menjadi lokasi pertama Masjid Madandan, masjid yang dipercaya menjadi masjid pertama dan tertua di Tana Toraja tersebut menjadi tempat [[salat]] para saudagar [[Suku Bugis|Bugis]].
 
Sementara versi kedua menyebutkan, Islam diperkirakan masuk ke wilayah Toraja pada akhir abad ke-17 atau awal abad ke-18. Hal ini dibuktikan dengan adanya sebuah makam tua di Sangalla, yang terletak sekitar 10 km dari Makale. Di atas nisan makam itu terdapat tulisan yang menggunakan huruf Arab. Meskipun tahun pembuatannya tidak dinyatakan secara jelas, makam itu diperkirakan milik saudagar atau pendatang dari Bugis yang meninggal dunia di Tana Toraja sekitar 300 tahun lalu. Suku Bugis, salah satu suku di Sulawesi Selatan selain Makassar dan Toraja, diperkirakan menjadi pionir atau pelopor kedatangan Islam di wilayah Tana Toraja. Hubungan mereka dengan masyarakat Tana Toraja terjalin lewat transaksi dagang dalam bentuk barter. Masyarakat pada saat itu belum mengenal uang sebagai media atau alat tukar. Hasil pertanian terkemuka masyarakat Tana Toraja seperti kopi ditukar dengan pakaian oleh para pedagang Bugis. Bahkan di saat timbul perang antara pasukan Toraja dan pasukan Kerajaan Bone yang saat itu bertujuan ingin menguasai Tana Toraja yang kemudian dikenal dengan peristiwa Untulak Buntunna Bone, tidak hanya bahan pokok, tetapi senjata dan budak juga menjadi alat barter. Banyak warga Toraja yang dijadikan budak pada saat itu.