Organisasi Perdagangan Dunia: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 189:
Para pengkritik WTO juga mengemukakan pandangan bahwa keuntungan yang diperoleh dari perdagangan bebas tidak terbagi secara merata. Kritik ini biasanya ditopang dengan data yang menunjukkan bahwa jurang antara yang kaya dan miskin terus melebar, terutama di [[Republik Rakyat Tiongkok]] dan [[India]] yang semakin bertambah ketimpangan ekonominya meskipun pertumbuhan ekonominya sangat tinggi.{{sfn|Joseph|2011|pp=166-167}} Selain itu, pendekatan WTO yang ingin mengurangi hambatan perdagangan dapat merugikan negara-negara berkembang. Dengan dihapuskannya tarif, negara kehilangan salah satu sumber pendapatannya.{{sfn|Joseph|2011|pp=170}} Liberalisasi perdagangan yang terlalu dini juga ditakutkan akan memerangkap negara berkembang di sektor primer yang tidak membutuhkan tenaga kerja yang terampil.{{sfn|Joseph|2011|pp=171}} Saat negara berkembang ingin memajukan ekonominya dengan cara industrialisasi, industri yang baru lahir tidak bisa serta merta langsung meroket begitu saja, sehingga sulit bersaing dengan negara lain yang industrinya lebih maju. Konon ekonom terkemuka [[Adam Smith]] pernah memberikan nasihat kepada pemerintah Amerika Serikat yang baru merdeka saat itu agar mereka fokus pada sektor pertanian daripada mencoba menyaingi Eropa yang industrinya lebih maju, tetapi Amerika Serikat tidak menggubrisnya dan malah memasang tarif yang tinggi untuk melindungi produsen Amerika. Setelah itu barulah Amerika Serikat menjadi salah satu negara dengan industri terkuat di dunia.{{sfn|Joseph|2011|pp=173}} Hal yang sama juga berlaku untuk [[Macan Asia Timur]], dan bahkan muncul dugaan bahwa jika [[Korea Selatan]] menghapuskan tarifnya sebelum ekonomi mereka tumbuh pesat, kemungkinan besar saat ini negara tersebut hanya akan menjadi negara miskin penghasil beras.{{sfn|Joseph|2011|pp=174}}
WTO turut digempur
Ketimpangan antara negara maju dan negara berkembang terlihat jelas dalam sektor pertanian. Hukum WTO menuai kritikan pedas karena [[Perjanjian tentang Pertanian]] mengizinkan negara-negara maju untuk mempertahankan subsidi pertanian yang sangat merugikan negara-negara berkembang (contohnya adalah [[Kebijakan Pertanian Bersama]] di Uni Eropa). Akibat subsidi tersebut, negara-negara ini dapat menjual hasil yang berlebih ke pasar dunia dengan harga yang jauh lebih rendah, dan pada saat yang sama mereka menuntut agar negara-negara berkembang membuka pasar mereka. Alhasil para petani di negara-negara berkembang tidak dapat bersaing dengan produk pertanian negara-negara maju.{{sfn|Gonzalez|2002|pp=438}} Walaupun anggota-anggota WTO sudah sepakat untuk menghapuskan subsidi ekspor pertanian, negara-negara maju masih mempertahankan subsidi dan melindungi sektor pertanian mereka dengan hambatan-hambatan perdagangan, dan praktik ini menghalangi perkembangan industri pertanian di negara-negara berkembang. Pada saat yang sama, jika semua subsidi pertanian langsung dihapuskan, harga pangan bisa melejit, dan hal ini juga akan merugikan rakyat dan mengancam ketersediaan pangan. Maka dari itu, pakar hukum yang mengkritik WTO dari sudut pandang hak asasi manusia, Sarah Joseph, menyarankan agar subsidi ini dihapuskan secara bertahap agar pasar dapat menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi.{{sfn|Joseph|2011|pp=211-213}}
|