Wiracarita Atrahasis: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Perbaikan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 1:
[[Berkas:bm-epic-g.jpg|jmpl|Epos Atrahasis ditulis dalam huruf paku]]
 
'''Epos Atrahasis''' adalah cerita mengenai [[penciptaan]] sampai [[Air Bah (mitologi)|air bah]] yang berasal dari [[Babilonia]].<ref name="Baker">{id} David L.Baker, John J.Bimson. 2004. ''Mari Mengenal Arkeologi Alkitab''. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hlm. 69-70.</ref> Diduga ditulis sekitar [[abad ke-18]] SM dalam [[bahasa Akkadia]].<ref name="Baker"/> Merupakan salah satu dari 3 cerita air bah yang terawetkan dari zaman Babel. Salinan tertua tradisi epos mengenai Atrahasis<ref>Kisah yang berbeda bukan diterjemahkan langsung dari satu kisah asli.</ref> dapat dilacak waktu penulisannya dari bagian ''kolofon'' (catatan kaki, yang mencantumkan identifikasi pembuat prasasti) ke zaman pemerintahan cicit [[Hammurabi]], [[Ammi-Saduqa]] (1646–1626 SM), tetapi ada lagi sejumlah fragmen Babel tua; naskah ini terus disalin sampai ke milenium pertama SM. Kisah Atrahasis juga ada dalam versi [[Asyur]] yang kemudian, pertama kalinya ditemukan di perpustakaan raja [[Asyurbanipal]], tetapi karena keadaan tabletlauh yang buruk dan kata-kata yang bermakna tidak jelas, terjemahannya juga tidak dapat dipastikan. Fragmen-fragmen ini pertama-tama digabungkan dan diterjemahkan oleh pakar assyriologis George Smith sebagai ''The Chaldean Account of Genesis'' (''Kisah Kejadian dari Kasdim''); nama pahlawannya dibetulkan menjadi ''Atra-Hasis'' oleh [[:en:Heinrich Zimmern|Heinrich Zimmern]] pada tahun 1899.
Nama Atrahasis (="luarbiasa bijak"; "''exceedingly wise''") atau "Atra-Hasis" muncul dalam salah satu [[Daftar Raja Sumeria]] sebagai raja dari [[:en:Shuruppak|Shuruppak]] pada waktu sebelum air bah.
 
== Isi ==
Panjang Epos Atrahasis adalah 1245 baris.<ref name="Baker"/> Versi yang terlengkap terdiri dari 3 lempengan ''TabletLauh''. Epos ini merupakan cerita tentang air bah yang paling lengkap dibandingkan cerita-cerita air bah lainnya yang beredar di [[Mesopotamia]] selain [[Epos Gilgamesh]].<ref name="Baker"/><ref name="Wright">{en} Ernest Wrught. 1960. ''Biblical Archaelogy''. Philadelphia:The Westminster Press. Hlm. 27.</ref>
 
=== TabletLauh I ===
TabletLauh I memuat cerita penciptaan berkaitan dengan dewa-dewa Sumeria [[Anu]], [[Enlil]], dan [[:en:Enki|Enki]], yaitu dewa langit, angin dan air, “ketika dewa-dewa hidup dengan cara manusia” menurut catatan (''[[incipit]]'') itu. Berdasarkan undian (''cleromancy''; ''casting of lots''), langit diperintah oleh Anu, bumi oleh Enlil, dan lautan oleh Enki. Enlil menugaskan dewa-dewa muda (''dingir'', ''junior divines'') untuk bekerja menggali tanah untuk membuat [[irigasi]] dan bercocok tanam. Istilah determinatif bahasa Akkadia ''dingir'', yang biasanya diterjemahkan sebagai dewa (“god”) atau dewi (“goddess”) juga dapat berarti pendeta laki-laki (“priest”) atau pendeta perempuan (“priestess”),<ref>Margaret Whitney Green, ''Eridu in Sumerian Literature'', PhD dissertation, University of Chicago [1975], p. 224</ref> meskipun ada juga kata-kata Akkadia lain (misalnya ''ēnu'' dan ''ēntu'') yang diterjemahkan sebagai pendeta laki-laki dan perempuan. Kata benda “divine” memelihara kerancuan kata ''dingir''. Setelah 40 tahun, para ''dingir'' itu merasa pekerjaan itu begitu berat sehingga mereka memberontak dan menolak untuk bekerja berat semacam itu. Mereka kemudian pergi ke istana dewa [[Enlil]] sebagai sang penguasa dunia dengan tujuan membakar habis istana tersebut.<ref name="Baker"/> Ini membuat Enlil amat murka dan ia membunuh dewa yang menjadi pemimpin pemberontakan tersebut.<ref name="Baker"/> Namun Enki, yang juga merupakan penasehat bijak dan berhati baik dari para dewa itu, mengusulkan untuk tidak menghukum semua dingir, melainkan menciptakan manusia untuk melakukan pekerjaan menggantikan para dewa. Enlil lalu menyuruh dewi ibu [[Mami]] untuk menciptakan manusia dengan membentuk tanah liat yang dicampuri daging dan darah dewa yang dibunuh [[Geshtu-E]], “dewa yang memiliki kepandaian” (namanya berarti “telinga” atau “hikmat”).<ref>Pada beberapa lempengan, dewa muda [[Weila]] atau [[Aw-ilu]] adalah yang dibunuh untuk keperluan itu.</ref> Semua dewa bergantian meludah kepada tanah liat itu. Setelah 10 bulan, suatu bentuk rahim pecah dan lahirlah para manusia. Dewa-dewa menjadi senang karena manusia mau melakukan pekerjaan mereka. Akan tetapi, manusia mengalami perkembangan yang sangat pesat sehingga menjadi begitu ribut.<ref name="Baker"/> Akibatnya, banyak dewa yang terganggu istirahatnya.<ref name="Baker"/>. Atrahasis disebut-sebut di akhir TabletLauh I.
 
=== TabletLauh II ===
Mengingat jumlah manusia yang terlalu banyak maka penyakit, kelaparan dan masa kekeringan pun diberikan oleh Enlil agar keributan manusia dapat dikurangi dalam tenggang waktu 1200 tahun setiap kalinya.<ref name="Baker"/> Tampaknya dalam epos ini Enlil digambarkan sebagai dewa yang jahat, sedangkan Enki adalah dewa yang baik, mungkin karena kisah ini ditulis oleh para imam penyembah Enki. TabletLauh II rusak berat, tetapi di akhirnya dituliskan bahwa dalam persidangan para dewa, diputuskanlah bahwa seluruh manusia akan dibinasakan dengan air bah. Enki atau [[Ea]] yang rupanya senang dengan manusia diwajibkan untuk merahasiakan hal itu dari manusia.<ref name="Baker"/>
 
=== TabletLauh III ===
TabletLauh III ini memuat cerita air bah. Bagian inilah yang diadaptasi dalam [[Epos Gilgames]] TabletLauh IX. Dikisahkan bahwa manusia yang disenangi Enki adalah [[Atrahasis]] dari Shuruppak.<ref name="Baker"/> Ia memberitahukan rencana tersebut pada Atrahasis <ref name="Baker"/> Enki berbicara melalui tembok jerami (mengindikasikan suatu ramalan) untuk membongkar rumahnya dan membuat sebuah kapal besar supaya Atrahasis bersama keluarganya selamat dari bencana air bah kiriman Enlil itu. Kapal itu mempunyai atap seperti ''Apsu'' (dunia air di bawah tanah yang merupakan tempat bertahtanya Enki), lantai atas dan bawah, dan dilekatkan dengan ''bitumen''. Atrahasis memasuki kapal beserta keluarganya dan para binatang dan kemudian menutup pintu rapat-rapat. Angin ribut dan air bah mulai datang. Dewa-dewapun ketakutan. Setelah 7 hari, air bah berhenti dan Atrahasis mempersembahkan korban kepada para dewa. Enlil marah karena menganggap Enki melanggar sumpahnya untuk merahasiakan. Tetapi Enki menolak melanggar sumpah dan mengatakan bahwa: “Aku mau memastikan hidup itu terpelihara.” Enki dan Enlil sepakat untuk mengatur jumlah penduduk manusia dengan cara lain.<ref>W. G. Lambert and [[:en:Alan Millard|A. R. Millard]], ''Atrahasis: The Babylonian Story of the Flood'', Eisenbrauns, 1999, ISBN 1-57506-039-6.</ref>
 
== Perbandingan dengan cerita [[Alkitab]] ==