Hindia Belanda: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Igho (bicara | kontrib)
k "jajahan" saya ganti "pendudukan" yang mungkin lebih netral. Mana kala suntingan saya kurang pas, silakan kembalikan. Maaf.
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
OrophinBot (bicara | kontrib)
Baris 96:
Berabad-abad sebelum orang-orang Eropa tiba, wilayah kepulauan Indonesia dihuni berbagai entitas, termasuk kerajaan-kerajaan perdagangan pesisir yang berorientasi komersial dan kerajaan agraris pedalaman (yang paling penting adalah [[Sriwijaya]] dan [[Majapahit]]).<ref>Taylor (2003)</ref> Bangsa Eropa pertama yang tiba adalah [[Portugal|Portugis]] pada tahun 1512. Setelah menemui gangguan terhadap akses rempah-rempah di Eropa,<ref name="Ricklefs 1991, p. 27">Ricklefs (1991), hlm. 27</ref> [[Belanda]] melakukan ekspedisi pelayaran pertama ke Hindia Timur pada tahun 1595 untuk mendapatkan rempah-rempah secara langsung dari [[Asia]]. Ketika mereka menghasilkan keuntungan hingga 400%, ekspedisi Belanda lainnya segera menyusul. Menyadari potensi perdagangan [[Hindia Timur]], pemerintah Belanda menggabungkan para perusahaan pesaing ke [[Perusahaan Hindia Timur Belanda]] (''Vereenigde Oost-Indische Compagnie'' atau VOC).<ref name="Ricklefs 1991, p. 27"/>
 
VOC diberikan hak istimewa untuk berperang, membangun benteng, dan membuat perjanjian di seluruh Asia.<ref name="Ricklefs 1991, p. 27"/> Ibu kota didirikan di [[Batavia]] (sekarang [[Jakarta]]), yang menjadi pusat jaringan perdagangan VOC di Asia.<ref name="Vickers 2005, p. 10">Vickers (2005), hlm. 10</ref> Untuk monopoli asli mereka seperti [[pala]], [[paprika]], [[cengkih]] dan [[kayu manis]], VOC dan kemudian pemerintah kolonial memperkenalkan tanaman asing untuk non-pribumi seperti [[kopi]], [[teh]], [[kakao]], [[tembakau]], [[karet]], [[gula]] dan [[opium]], dan menjaga kepentingan komersial mereka dengan mengambil alih wilayah sekitarnya.<ref name="Vickers 2005, p. 10"/> Penyelundupan, biaya perang, korupsi, dan kesalahan manajemen yang terus berlanjut menyebabkan kebangkrutan pada akhir abad ke-18. VOC secara resmi dibubarkan pada tahun 1800 dan barang-barangnya di kepulauan Indonesia (termasuk sebagian besar Jawa, sebagian SumateraSumatra, sebagian besar [[Kepulauan Maluku|Maluku]], dan daerah pedalaman pelabuhan seperti [[Kota Makassar|Makassar]], [[Kota Manado|Manado]], dan [[Kota Kupang|Kupang]]) dinasionalisasi di bawah Republik Belanda sebagai Hindia Belanda.<ref>Ricklefs (1991), hlm. 110; Vickers (2005), hlm. 10</ref>
 
=== Penaklukan Belanda ===
Baris 102:
 
[[Berkas:Nicolaas Pieneman - The Submission of Prince Dipo Negoro to General De Kock.jpg|jmpl|kiri|Penyerahan [[Diponegoro|Pangeran Diponegoro]] kepada [[Hendrik Merkus de Kock|Jenderal De Kock]] pada akhir [[Perang Diponegoro]] pada tahun 1830, dilukis oleh [[Nicolaas Pieneman]]]]
Pada tahun 1806, dengan Belanda di bawah dominasi [[Kekaisaran Prancis]], Kaisar [[Napoleon Bonaparte|Napoleon I]] menunjuk saudaranya [[Louis Bonaparte]] untuk menduduki tahta Belanda, yang menyebabkan penobatan Marsekal [[Herman Willem Daendels]] sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada tahun 1808.<ref>{{Cite book | last = Kumar | first = Ann | title = Java | publisher = Periplus Editions| year = 1997 | location = Hong Kong | page = 44 | isbn = 962-593-244-5}}</ref> Pada tahun 1811, Daendels digantikan oleh Gubernur Jenderal [[Jan Willem Janssens]], tetapi tidak lama setelah kedatangannya, pasukan Inggris menduduki beberapa pelabuhan Hindia Belanda termasuk Jawa, dan [[Thomas Stamford Raffles]] menjadi Letnan Gubernur. Setelah kekalahan Napoleon pada [[Pertempuran Waterloo]] tahun 1815 dan [[Kongres Wina]], kontrol Belanda atas wilayah ini dipulihkan pada tahun 1816.<ref>Ricklefs (1991), hlmn. 111–114</ref> Di bawah [[Perjanjian Inggris-Belanda 1824|Perjanjian Inggris-Belanda]] 1824, Belanda mengamankan permukiman Inggris seperti [[Bengkulu]] di SumateraSumatra, sebagai imbalan untuk menyerahkan kendali atas daerah jajahan mereka di [[Semenanjung Malaya]] ([[Malaya Britania|Malaya]]) dan [[India Belanda]]. Perbatasan antara bekas daerah jajahan milik Inggris dan Belanda pada hari ini merupakan batas modern antara Malaysia dan Indonesia.
 
Sejak berdirinya VOC pada abad ke-17, perluasan wilayah Belanda telah menjadi masalah bisnis. Gubernur Jenderal [[Graaf van den Bosch]] (1830–1835) menegaskan profitabilitas sebagai fondasi kebijakan resmi, membatasi perhatiannya hanya untuk Pulau Jawa, SumateraSumatra dan [[Pulau Bangka|Bangka]].<ref name="Rickelfs131"/> Namun, sejak sekitar tahun 1840, ekspansi nasional Belanda membuat mereka mengobarkan serangkaian perang untuk memperbesar dan mengkonsolidasikan daerah jajahan mereka di pulau-pulau terluar.<ref>Vickers (2005), hlm. 10; Ricklefs (1991), hlm. 131</ref> Motivasi mereka termasuk: perlindungan daerah yang sudah dimiliki; intervensi pejabat Belanda yang ambisius untuk kehormatan atau promosi jabatan; dan untuk membangun klaim Belanda di seluruh wilayah nusantara dalam rangka mencegah intervensi dari kekuatan Barat lainnya selama era [[Imperialisme Baru|upaya kolonialisme bangsa Eropa]].<ref name="Rickelfs131">Ricklefs (1991), hlm. 131</ref> Karena eksploitasi sumber daya Indonesia meluas di luar Jawa, sebagian besar pulau terluar berada di bawah kendali atau pengaruh langsung pemerintah Belanda.
 
[[Berkas:Het zevende bataljon tot de aanval oprukkend.jpg|jmpl|kiri|Batalyon ke–7 Belanda bergerak maju di Bali pada tahun 1846]]
Belanda menaklukkan wilayah [[Orang Minangkabau|Minangkabau]] di SumateraSumatra dalam [[Perang Padri]] (1821–1938),<ref>Ricklefs (1991), hlm. 142</ref> dan [[Perang Jawa]] (1825–1930) juga mengakhiri perlawanan masyarakat Jawa yang signifikan.<ref name="Friend p21"/> [[Perang Banjarmasin]] (1859–1863) di tenggara pulau Kalimantan berakhir dengan kekalahan Sultan.<ref>Ricklefs (1991), hlmn. 138-139</ref> Setelah ekspedisi yang gagal untuk menaklukkan Bali pada tahun [[Perang Bali I|1846]] dan [[Perang Bali II|1848]], [[Intervensi Belanda di Bali (1849)|peperangan tahun 1849]] membawa wilayah Bali bagian utara berada di bawah kendali Belanda. Ekspedisi militer yang paling berkepanjangan adalah [[Perang Aceh]], di mana invasi Belanda pada tahun 1873 dihadapi dengan perlawanan gerilya kaum pribumi dan berakhir dengan menyerahnya Aceh pada tahun 1912.<ref name="Friend p21">Friend (2003), hlm. 21</ref> Gangguan terus terjadi di Pulau Jawa dan Sumatra selama sisa abad ke-19.<ref name="LP_23-25"/> Namun, [[Pulau Lombok]] [[Intervensi Belanda di Lombok dan Karangasem|berada di bawah kendali Belanda]] pada tahun 1894,<ref>Vickers (2005), hlm. 13</ref> dan perlawanan suku Batak di SumateraSumatra Utara [[Perang Batak|ditaklukan]] pada tahun 1895.<ref name="Friend p21"/> Menjelang akhir abad ke-19, keseimbangan kekuatan militer bergeser ke arah negara Belanda dengan industri yang sedang berkembang melawan [[:en:wikt:polity|negara]] pribumi Indonesia dengan pra-industrinya, dan kesenjangan teknologi semakin melebar.<ref name="Rickelfs131"/> Para pemimpin militer dan politikus Belanda percaya bahwa mereka memiliki kewajiban moral untuk membebaskan penduduk asli Indonesia dari para penguasa pribumi yang dianggap menindas, terbelakang, atau tidak menghormati hukum internasional.<ref name="Vickers 2005, hlm. 14">Vickers (2005), hlm. 14</ref>
 
Meskipun pemberontakan di Indonesia pecah, kekuasaan pemerintah kolonial diperluas ke seluruh wilayah nusantara dari tahun 1901 hingga 1910 dan kontrol atas wilayah tersebut juga diambil dari para penguasa lokal yang tersisa.<ref name="Reid 1974, p. 1">Reid (1974), hlm. 1.</ref> [[Sulawesi]] barat daya dan [[Sulawesi Tengah|tengah]] diduduki pada tahun 1905 hingga 1906, Pulau Bali ditaklukkan dengan kampanye militer pada tahun [[Intervensi Belanda di Bali (1906)|1906]] dan [[Intervensi Belanda di Bali (1908)|1908]], begitu pula kerajaan-kerajaan lain yang tersisa di Maluku, SumateraSumatra, Kalimantan, dan [[Nusa Tenggara]].<ref name="Friend p21"/><ref name="Vickers 2005, p. 14"/> Para penguasa lain termasuk Sultan [[Kesultanan Tidore|Tidore]] di Maluku, [[Kesultanan Pontianak|Pontianak]] (Kalimantan), dan [[Palembang]] di SumateraSumatra, meminta perlindungan Belanda dari kerajaan-kerajaan tetangga sehingga membuat mereka menghindari penaklukan militer oleh Belanda dan mampu menegosiasikan kondisi yang lebih baik di bawah pemerintahan kolonial.<ref name="Vickers 2005, p. 14"/> [[Semenanjung Kepala Burung]] ([[Nugini Barat]]), sudah berada di bawah pemerintahan Belanda pada tahun 1920. Wilayah terakhir ini di kemudian hari akan menjadi wilayah Republik Indonesia.
 
=== Perang Dunia II dan kemerdekaan ===
Baris 159:
 
=== Pembagian administratif ===
Hindia Belanda dibagi menjadi tiga [[Gubernemen]], yaitu [[Groote Oost]], [[Gubernemen Borneo]] dan [[Gubernemen SumateraSumatra]], dan tiga Provinsi yang secara khusus hanya ada di Jawa. Provinsi dan Gubernemen dibagi lagi menjadi Karesidenan—untuk Karesidenan di bawah Provinsi langsung dibagi menjadi Regentschappen, sedangkan Karesidenan di bawah Gubernemen dibagi menjadi [[Afdeling]] terlebih dahulu sebelum dibagi menjadi Regentschappen.<ref>http://www.indonesianhistory.info/pages/chapter-4.html, sourced from {{Citation | author1=Cribb, R. B | title=Digital atlas of indonesian history | publication-date=2010 | publisher=Nias | isbn=978-87-91114-66-3 }} from the earlier volume {{Citation | author1=Cribb, R. B | author2=Nordic Institute of Asian Studies | title=Historical atlas of Indonesia | publication-date=2000 | publisher=Curzon ; Singapore : New Asian Library | isbn=978-0-7007-0985-4 }}</ref> Pada tahun 1942, pembagian administratif Hindia Belanda terdiri dari:
 
=== Angkatan bersenjata ===