Soedirman: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k Dikembalikan ke revisi 14825017 oleh Mimihitam (bicara).
Tag: Pembatalan
OrophinBot (bicara | kontrib)
Baris 96:
Sebagai negara yang baru merdeka dan belum memiliki militer yang professional, pada tanggal 5 Oktober 1945 Soekarno mengeluarkan dekret pembentukan [[Tentara Keamanan Rakyat]] (TKR, sekarang dikenal dengan Tentara Nasional Indonesia). Sebagian besar personelnya adalah mantan tentara KNIL, sedangkan perwira tinggi berasal dari PETA dan Heihō.{{sfn|Anderson|2005|pp=232–234}} Dekret mengangkat [[Soeprijadi]] sebagai Panglima Besar TKR, namun ia tidak muncul,{{efn|Soeprijadi, seorang tentara PETA yang memimpin pemberontakan terhadap tentara Jepang di [[Blitar]] pada Februari 1945, dianggap sudah tewas. Sejarawan Amrin Imran berpendapat bahwa pengangkatan Soeprijadi mungkin adalah cara untuk mengetahui apakah ia masih hidup atau tidak; diperkirakan bahwa ia mungkin akan menghubungi pemerintah di Jakarta untuk mengambil alih jabatan ini jika ia masih hidup {{harv|Imran|1983|pp=71–72}}. Sedangkan {{harvtxt|Said|1991|p=28}} berpendapat bahwa pengangkatan Soeprijadi menunjukkan keraguan Soekarno dalam membangun angkatan perang.}} dan kepala staff Letnan Jenderal [[Oerip Soemohardjo]] ditetapkan sebagai pemimpin sementara.{{sfn|Imran|1983|pp=71–72}} Pada bulan Oktober, pasukan Inggris, yang bertugas melucuti senjata tentara Jepang dan memulangkan [[tawanan perang]] Belanda, tiba di [[Semarang]], dan kemudian bergerak menuju [[Magelang]]. Ketika Inggris mulai mempersenjatai kembali tentara Belanda yang menjadi tawanan perang dan sepertinya sedang mempersiapkan sebuah pangkalan militer di Magelang, Soedirman –yang sekarang menjadi kolonel – mengirim beberapa pasukannya di bawah pimpinan Letnan Kolonel Isdiman untuk mengusir mereka; misi ini berhasil, dan tentara Eropa menarik diri dari [[Ambarawa]], di tengah-tengah Magelang dan Semarang.{{sfn|Imran|1980|p=28}} Pada 20 Oktober, Soedirman membawahi Divisi V{{efn|Divisi V mencakup [[Kedu]] dan Banyumas. Divisi ini adalah salah satu divisi yang dibentuk oleh Oerip {{harv|Sardiman|2008|pp=126–127}}.}} setelah Oerip membagi Pulau Jawa menjadi divisi militer yang berbeda.{{sfn|Sardiman|2008|pp=126–127}}
 
Pada tanggal 12 November 1945, dalam pertemuan pertama TKR, Soedirman terpilih sebagai pemimpin TKR setelah melalui pemungutan suara buntu dua tahap. Pada tahap ketiga, Oerip mengumpulkan 21 suara, sedangkan Soedirman unggul dengan 22 suara; para komandan divisi [[SumateraSumatra]] semuanya memilih Soedirman.{{efn|{{harvtxt|Said|1991|p=3}} menulis bahwa kurangnya bimbingan politik saat Oerip menjabat sebagai panglima sementara menyebabkan militer lebih memilih untuk menentukan pemimpinnya sendiri, bukannya melalui penunjukan. Pertemuan ini juga memilih Hamengkubuwono IX sebagai menteri pertahanan; pemilihan ini tidak diakui oleh pemerintah, yang memilih Amir Sjarifuddin {{harv|Said|1991|p=41}}.}}{{sfn|Nasution|2011|p=196}}{{sfn|Imran|1980|p=30}}{{sfn|Sardiman|2008|p=132}} Soedirman, yang saat itu berusia 29 tahun, terkejut atas hasil pemilihan dan menawarkan diri untuk melepas posisi tersebut kepada Oerip, namun para peserta rapat tidak mengizinkannya. Oerip, yang telah kehilangan kendali dalam pertemuan bahkan sebelum pemungutan suara dimulai, merasa senang karena tidak lagi bertanggung jawab atas TKR. Soedirman tetap menunjuk Oerip sebagai kepala staff. Sesuai dengan jabatan barunya, Soedirman dipromosikan menjadi Jenderal.{{sfn|Imran|1983|pp=74–79}}{{sfn|Adi|2011|p=46}}{{sfn|Setiadi|Yuliawati|2012|p=20}} Setelah pertemuan, Soedirman kembali ke Banyumas sembari menunggu persetujuan pemerintah dan mulai mengembangkan strategi mengenai bagaimana mengusir tentara Sekutu.{{sfn|Adi|2011|p=46}}{{sfn|Imran|1980|p=32}} Rakyat Indonesia khawatir bahwa Belanda, yang diboncengi oleh ''[[NICA|Nederlandsch Indië Civil Administratie]]'' (NICA), akan berupaya untuk merebut kembali nusantara. Tentara gabungan Belanda-Inggris telah mendarat di Jawa pada bulan September, dan [[Pertempuran Surabaya|pertempuran besar]] telah terjadi di [[Surabaya]] pada akhir Oktober dan awal November.{{sfn|Ricklefs|1993|p=217}} Ketidakstabilan ini, serta keraguan Soekarno atas kualifikasi Soedirman,{{efn|Soedirman pada saat itu hanya memiliki dua tahun pengalaman militer {{harv|Adi|2011|p=50}} Calon terkemuka lainnya, Oerip, telah menjadi perwira militer sejak Soedirman belum lahir {{harv|Imran|1983|p=27}}.}} menyebabkan terlambatnya pengangkatan Soedirman sebagai pemimpin TKR.{{sfn|Adi|2011|p=50}}
[[Berkas:Dharma Wiratama Museum 04.jpg|250px|jmpl|alt=A photograph of a low building with a flagpole in front; its walls are painted green.|Markas TKR pertama, terletak di Gondokusuman, Yogyakarta; saat ini menjadi [[Museum Dharma Wiratama]].]]
 
Baris 111:
Sementara itu, Sjahrir terus berusaha bernegosiasi dengan pasukan Sekutu. Pada tanggal 7 Oktober 1946, Sjahrir dan mantan Perdana Menteri Belanda, [[Wim Schermerhorn]], sepakat untuk melakukan gencatan senjata. Perundingan ini dimoderatori oleh diplomat Inggris [[Miles Lampson|Lord Killearn]], dan juga melibatkan Soedirman. Ia berangkat ke Jakarta dengan menggunakan kereta khusus pada tanggal 20 Oktober. Namun, ia diperintahkan untuk kembali ke Yogyakarta setelah tentara Belanda tidak mengizinkan dirinya dan anak buahnya memasuki Jakarta dengan bersenjata. Soedirman merasa bahwa perintah tersebut melanggar harga dirinya; Belanda kemudian meminta maaf, menyatakan bahwa peristiwa ini hanyalah kesalahpahaman. Soedirman berangkat dengan kereta lainnya pada akhir Oktober, dan tiba di [[Stasiun Gambir]] pada tanggal 1 November. Di Jakarta, ia disambut oleh kerumunan besar.{{sfn|Adi|2011|pp=60–61}}{{sfn|Sardiman|2008|p=151}} Perundingan di Jakarta berakhir dengan perumusan [[Perjanjian Linggarjati]] pada tanggal 15 November; perjanjian ini disahkan pada 25 Maret 1947, meskipun ditentang oleh para nasionalis Indonesia.{{sfn|Britannica, Linggadjati Agreement}}{{sfn|Adi|2011|p=66}} Soedirman secara lantang juga menentang perjanjian tersebut karena ia tahu bahwa perjanjian itu akan merugikan kepentingan Indonesia,{{sfn|Imran|1980|pp=38–40}} namun menganggap dirinya juga wajib mengikuti perintah.{{sfn|Sardiman|2008|p=155}}
 
Pada awal 1947, kondisi sudah relatif damai setelah Perjanjian Linggarjati. Soedirman mulai berupaya untuk mengonsolidasikan TKR dengan berbagai laskar. Dalam upayanya ini, Soedirman mulai melaksanakan reorganisasi militer; kesepakatan baru bisa tercapai pada Mei 1947, dan pada 3 Juni 1947, [[Tentara Nasional Indonesia]] (TNI) diresmikan. TNI terdiri dari TKR dan tentara dari berbagai kelompok laskar,{{sfn|Imran|1980|pp=38–40}} yang berhasil dirangkul Soedirman setelah mengetahui bahwa mereka dimanfaatkan oleh partai-partai politik.{{sfn|Said|1991|p=67}} Namun, gencatan senjata yang berlangsung pasca Perjanjian Linggarjati tidak bertahan lama. Pada tanggal 21 Juli 1947, tentara Belanda –yang telah menduduki wilayah peninggalan Inggris selama penarikan mereka – melancarkan [[Agresi Militer Belanda I|Agresi Militer]], dan dengan cepat berhasil menguasai sebagian besar Jawa dan SumateraSumatra. Meskipun demikian, pemerintahan pusat di Yogyakarta tetap tak tersentuh.{{sfn|Adi|2011|p=71}} Soedirman menyerukan kepada para tentara untuk melawan dengan menggunakan semboyan "Ibu Pertiwi memanggil!,{{efn|Asli: "''Iboe Pertiwi memanggil! Iboe Pertiwi memanggil!''" [[Ibu Pertiwi]] adalah personifikasi Indonesia.}}{{sfn|Sardiman|2008|p=157}} dan kemudian menyampaikan beberapa pidato melalui RRI, namun upayanya ini gagal mendorong tentara untuk berperang melawan Belanda.{{sfn|Adi|2011|p=73}} Terlebih lagi, tentara Indonesia sedang tidak siap dan pertahanan mereka ditaklukkan dengan cepat.{{sfn|Said|1991|p=68}}
 
[[Berkas:Van Mook.png|jmpl|250px|alt=A map of Java; parts of the map are highlighted red.|[[Garis Van Mook]], wilayah yang dikendalikan oleh Indonesia ditandai dengan warna merah;{{sfn|Kahin|1952|p=223}} pada 1947 Soedirman terpaksa menarik kembali lebih dari 35.000 tentara dari wilayah taklukan Belanda.]]
Baris 122:
Keputusan Presiden ini menimbulkan reaksi di kalangan angkatan perang. Pada tanggal 27 Februari 1948, presiden mengeluarkan Ketetapan Presiden No.9 Tahun 1948 yang membatalkan ketetapan yang lama. Dalam ketetapan yang baru ini, Staf Angkatan Perang tetap di bawah Soerjadi Soerjadarma, sedangkan Markas Besar Pertempuran tetap di bawah Soedirman, ditambah wakil panglima yaitu [[Brigadir Jenderal|Djenderal Major]]{{efn|Sebelum keluar keputusan [[KASAD]] tanggal 21 Mei 1957, pangkat Djenderal Major adalah pangkat perwira tinggi bintang satu.}} [[A.H. Nasution]]. Angkatan perang berada di bawah seorang Kepala Staf Angkatan Perang (KASAP) yang membawahi Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD), Kepala Staf Angkatan Laut (KASAL), dan Kepala Staf Angkatan Udara (KASAU). Dalam penataannya, organisasi ini dibagi menjadi 2 bagian; penataan kementerian dan pimpinan tertinggi ditangani oleh KASAP, sementara mengenai pasukan serta daerah-daerah pertahanan ditangani oleh Wakil Panglima Besar Angkatan Perang.
 
Tak lama setelah itu, Sjafruddin digulingkan dalam [[mosi tidak percaya]] atas keterlibatannya dalam Perjanjian Renville, dan perdana menteri yang baru, [[Muhammad Hatta]], berupaya untuk menerapkan program rasionalisasi.{{sfn|Pemerintah Kota Jakarta, Sudirman}}{{sfn|Imran|1980|pp=42–45}}{{sfn|Sardiman|2008|p=160}} Hal ini menimbulkan perdebatan di antara kelompok yang pro dan anti-rasionalisasi. Soedirman menjadi tempat mengadu dan pendorong semangat bagi para tentara, termasuk sejumlah komandan senior yang menentang program rasionalisasi. Soedirman secara resmi dikembalikan ke posisinya pada tanggal 1 Juni 1948. Untuk menyelesaikan penataan organisasi ini, Soedirman membentuk sebuah panitia yang anggotanya ditunjuk oleh Panglima sendiri. Anggota panitia terdiri dari Djenderal Major [[Soesalit Djojoadhiningrat]] (mantan [[PETA]] dan laskar), Djenderal Major Suwardi (mantan KNIL) dan Djenderal Major A.H. Nasution dari perwira muda. Penataan organisasi TNI selesai pada akhir tahun 1948, setelah Panglima Tentara dan Teritorium SumateraSumatra, Kolonel [[Hidajat Martaatmadja]], menyelesaikan penataan organisasi tentara di Pulau SumateraSumatra.{{sfn|Amrin Imran|1971|p=17}}
 
Setelah program rasionalisasi mereda, Sjarifuddin mulai mengumpulkan tentara dari [[Partai Sosialis Indonesia|Partai Sosialis]], [[Partai Komunis Indonesia|Partai Komunis]], dan anggota [[Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia]] untuk mengobarkan [[Revolusi komunis|revolusi proletar]] di [[Madiun]], [[Jawa Timur]], yang berlangsung pada tanggal 18 September 1948. Soedirman, yang saat itu sedang sakit, mengirim Nasution untuk memadamkan revolusi;{{sfn|Adi|2011|pp=82–84}} Soedirman juga mengirim dua perwira lainnya sebagai [[antena perdamaian]] sebelum serangan. Meskipun pemimpin revolusi, [[Muso]], telah sepakat untuk berdamai,{{sfn|Said|1991|p=77}} Nasution dan pasukannya berhasil menumpas pemberontakan pada 30 September.{{efn|Terjadi 'pembersihan' terhadap kelompok sayap kiri selama beberapa bulan. Sjarifuddin adalah salah satu di antara mereka yang dieksekusi karena terlibat dalam pemberontakan {{harv|Adi|2011|pp=82–84}}.}}{{sfn|Adi|2011|pp=82–84}} Soedirman mengunjungi Madiun tidak lama setelah pertempuran; ia mengatakan kepada istrinya bahwa ia tidak bisa tidur di sana karena pertumpahan darah yang terjadi.{{sfn|Setiadi|Yuliawati|2012|p=25}}