Oerip Soemohardjo: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Rachmat-bot (bicara | kontrib) k cosmetic changes |
OrophinBot (bicara | kontrib) |
||
Baris 66:
Setahun setelah pernikahannya, Oerip dan istrinya ditempatkan di [[Ambarawa]]. Di sana, Oerip ditugaskan untuk membangun kembali unit KNIL yang telah dibubarkan sebelumnya.{{sfn|Soemohardjo-Soebroto|1973|p=59}} Sambil melatih prajurit lokal menggantikan komandan Belanda yang belum tiba, Oerip dipromosikan menjadi kapten.{{sfn|Imran|1983|p=36}} Setelah komandan Belanda tiba, pada Juli 1928 Oerip diberi cuti satu tahun, yang ia manfaatkan untuk melakukan perjalanan wisata ke seluruh Eropa bersama istrinya. Sekembalinya ke Hindia, ia ditempatkan di Meester Cornelis.{{sfn|Soemohardjo-Soebroto|1973|pp=60–62}}
Di Meester Cornelis, Oerip mulai menjalankan latihan militer; saat ditempatkan di sana, ayahnya meninggal dunia.{{sfn|Imran|1983|p=36}} Pada 1933, ia dikirim ke [[Padang Panjang]] di [[
== Warga sipil dan pendudukan Jepang ==
Baris 84:
Karena BKR tersebar di bawah pimpinan para komandan independen di seluruh negeri, angkatan perang yang baru dibentuk, Tentara Keamanan Rakyat (TKR, sekarang dikenal dengan Tentara Nasional Indonesia), berupaya untuk merangkul perwira pribumi yang berasal dari mantan anggota KNIL.{{sfn|Anderson|2005|pp=232–234}} Namun, para perwira ini dipandang dengan penuh kecurigaan oleh para [[nasionalisme|nasionalis]] Indonesia karena pernah bertugas di angkatan perang Belanda. Sementara itu, jajaran anggota TKR diambil dari sejumlah kelompok, termasuk mantan tentara PETA, para pemuda, dan BKR.{{sfn|Soemohardjo-Soebroto|1973|pp=99–100}}{{sfn|Anderson|2005|pp=235–237}} Meskipun Oerip berhasil memusatkan komando, pada kenyataannya hierarki angkatan perang bersifat kedaerahan dan sangat bergantung pada kekuatan unit daerah.{{sfn|Anderson|2005|p=240}}
Sesuai keputusan pemerintah pada tanggal 20 Oktober, Oerip menjadi bawahan dari Menteri Pertahanan Soeljoadikoesoemo dan Panglima Angkatan Perang [[Soeprijadi]]. Namun, Soeprijadi tidak muncul untuk mengemban tugas-tugasnya. Soeprijadi adalah seorang tentara PETA yang memimpin pemberontakan terhadap pasukan Jepang di [[Blitar]] pada bulan Februari 1945, dan diyakini sudah tewas.{{efn|Sejarawan Amrin Imran berpendapat bahwa pengangkatan Soeprijadi mungkin adalah cara untuk mengetahui apakah ia masih hidup atau tidak; diperkirakan bahwa ia mungkin akan menghubungi pemerintah di Jakarta untuk mengambil alih jabatan ini jika ia masih hidup.{{sfn|Imran|1983|pp=71–72}}}} Posisi Soeljohadikosomo juga tak terisi, dan pemimpin gerilya [[Moestopo]] menyatakan dirinya sebagai [[Menteri Pertahanan Republik Indonesia|Menteri Pertahanan]]. Dengan demikian, Oerip merasa agak diawasi dan ditekan untuk segera membentuk struktur militer yang stabil.{{sfn|Imran|1983|pp=71–72}} Pada tanggal 2 November, ia menunjuk komandan untuk menangani operasi militer di berbagai daerah di Indonesia: Didi Kartasasmita di Jawa Barat, Soeratman di Jawa Tengah, Muhammad di Jawa Timur, dan Soehardjo Hardjowardojo di
[[Berkas:Sudirman.jpg|jmpl|alt=Seorang pria memakai peci menatap lurus ke depan|Jenderal [[Soedirman]] terpilih sebagai pemimpin TKR pada tanggal 12 November 1945. Ia menjadikan Oerip sebagai kepala staff.]]
Pada tanggal 12 November 1945, dalam pertemuan pertama TKR, Jenderal [[Soedirman]] – komandan Divisi V [[Purwokerto]] yang hanya memiliki dua tahun pengalaman militer dan 23 tahun lebih muda dari Oerip – terpilih sebagai panglima angkatan perang setelah melalui dua tahap pemungutan suara buntu.{{sfn|Nasution|2011|p=196}} Pada tahap ketiga, Oerip meraih 21 suara, sedangkan Soedirman unggul dengan 22 suara. Komandan divisi
Setelah Soedirman dikukuhkan sebagai panglima besar TKR pada 18 Desember, ia mulai berupaya untuk mengonsolidasikan dan mempersatukan angkatan perang, sedangkan Oerip bertugas menangani masalah-masalah teknis dan organisasi.{{sfn|Anderson|2005|p=245}}{{sfn|Imran|1983|pp=74–79}} Banyak rincian-rincian, seperti pemberlakuan seragam tentara, ia limpahkan penanganannya kepada komandan daerah.{{efn|Pada saat itu, Angkatan Perang Indonesia belum memiliki sumber daya untuk memberlakukan standar seragam secara nasional.{{sfn|Imran|1983|pp=74–79}} }} Namun, untuk menangani masalah-masalah penting, ia mengeluarkan perintah yang berlaku secara nasional, misalnya perintah untuk membentuk [[polisi militer]] dan mencegah pasukan penerjun payung musuh mendarat.{{sfn|Imran|1983|pp=74–79}}
|