Tarekat Wetu Telu: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 18:
== Lokasi ==
Lokasi yang terkenal dengan praktik Wetu Telu di Lombok adalah daerah [[Bayan, Lombok Utara|Bayan]], yang terletak di [[Kabupaten Lombok Utara]]. Desa Bayan terletak di bagian utara Pulau Lombok yang berada di wilayah Kecamatan Bayan Kabupaten Lombok Utara. Desa yang bercurah hujan 1.200-1.500 mm dengan suhu rata-rata 28 - 300C ini berada di ketinggian 400 - 600 mdl dengan daerah pegunungan. Desa Bayan membawahi 9 (sembilan) dusun yaitu Dusun Bayan Barat, Dusun Bayan Timur, Dusun Padamangku, Dusun Tereng Genit, Dusun Dasan Tutul, Dusun Sembulan, Dusun Mendala dan Dusun Lokok Aur. Adapun batasan-batasan wilayah Desa Bayan adalah sebelah utara berbatasan dengan Desa Anyar; sebelah selatan berbatasan dengan hutan; sebelah barat berbatasan dengan Desa Senaru; sebelah timur berbatasan dengan Desa Sambi` Elen. Jumlah penduduk Desa Bayan (tahun 2010) adalah 47.705 jiwa dengan 12.470 kepala keluarga.
 
== Pola Ajaran ==
Secara umum komunitas IWT mengaku dirinya orang Islam tetapi mereka tidak pernah melakukan tugas dan kewajiban-kewajibannya selaku Muslim. Kewajiban-kewajiban tersebut hanya dibebankan kepada kiai atau guru. Kondisi demikian menimbulkan suatu pemahaman baru pada orang Sasak Desa Bayan bahwa seluruh kewajiban agama dibebankan kepada kiai atau yang sering disebut guru. Mereka inilah yang akan memikul segala resiko dan tanggung jawab di hari kemudian. Oleh karena itu, para kiai di lingkungan pemeluk IWT mempunyai status sosial yang lebih tinggi, sangat dihormati, dan disegani oleh masyarakat. Segala perintahnya harus ditaati dan dipatuhi. Barang siapa yang berani membangkang atau menyinggung perasaan seorang kiai, malapetaka akan menimpa dirinya dan seluruh anggota keluarganya. Mereka akan diasingkan dalam setiap pertemuan banjar (agama) ataupun dalam upacara-upacara adat. Hukuman atau sanksi ini bisa dihapus setelah terlebih dahulu orang yang bersangkutan mengadakan upacara selamatan. Upacara selamatan ini bukan sebagai penebus dosa, akan tetapi sebagai langkah awal untuk melakukan rehabilitasi terhadap nama baik dalam kehidupan bermasyarakat.
 
Bagi masyarakat awam yang bukan kiai, tidak ada kewajiban untuk melakukan shalat dan puasa. Mereka tidak belajar membaca al-Qur‟an, sebab orang yang membaca al-Qur‟an harus bersih dan suci, sementara mereka kotor. Orang-orang dari golongan ini yakin akan masuk surga, asal melaksanakan segala yang diperintahkan oleh kiai mereka, seperti mengadakan selamatan dan mengeluarkan sedekah kepada para kiai.
 
Dalam sistem kepercayaan IWT, membaca al-Qur‟an hanya perlu dilakukan pada waktu-waktu tertentu saja, seperti dalam bulan puasa dan upacara selamatan orang yang meninggal dunia. Selanjutnya mushaf al-Qur‟an dan kitab Hadits hanya menjadi barang keramat yang disimpan di bumbungan atap rumah. Pengertian memuliakan al-Qur‟an dan hadits, bukanlah mengamalkan isinya tetapi menempatkannya di tempat yang paling tinggi.
 
Ukuran kesucian manusia menurut sistem kepercayaan IWT adalah apabila seseorang telah memangku jabatan sebagai kiai atau guru. Oleh karenanya para kiai atau guru selalu dianggap sebagai manusia yang suci (ma’shûm). Pengangkatan dan atau penunjukan kiai baru, didasarkan atas wasiat dari kiai sebelumnya, bukan atas pemilihan atau sistem demokrasi.
 
Konsep kepemimpinan dalam sistem kepercayaan IWT kiranya dapat dianalogikan dengan konsep imâmah yang terdapat dalam kaum Syi‟ah. Bagi Syi‟ah, imam atau pemimpin merupakan suatu kepentingan agama. Tanpa adanya seorang imam, bukan saja dunia ini akan hancur bahkan dunia ini sendiri tidak pernah ada. Imam juga merupakan wakil Tuhan di bumi. Jika tidak ada imam tak akan ada penyembahan kepada Tuhan di bumi, sebab cara penyembahan kepada Tuhan haruslah belajar dari Imam. Hanya dengan perantara seorang imam sajalah, Tuhan dapat dikenal. Inilah yang mereka maksudkan dengan “tanpa kehadiran seorang imam di bumi, maka dunia ini akan hancur”. Mereka berpendapat bahwa imam adalah seorang yang ma’shûm (suci dari dosa). Estafeta kepemimpinan dalam Syi‟ah menganut teori hak legitimasi berdasarkan hak suci Tuhan (the devine right of God). Oleh karena itu, seseorang yang memangku jabatan imam haruslah berdasarkan nash dan wasiat.<ref>{{Cite web|url=http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:rkxpYYLLWKwJ:ulumuna.or.id/index.php/ujis/article/download/27/18+&cd=4&hl=id&ct=clnk&gl=id|title=ISLAM WETU TELU|website=webcache.googleusercontent.com|access-date=2019-03-21}}</ref>
 
== Acara ritual ==