Hak asasi manusia: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 4:
Secara konseptual, hak asasi manusia dapat dilandaskan pada keyakinan bahwa hak tersebut "dianugerahkan secara alamiah" oleh alam semesta, Tuhan, atau [[nalar]]. Sementara itu, mereka yang menolak penggunaan unsur alamiah meyakini bahwa hak asasi manusia merupakan pengejawantahan nilai-nilai yang disepakati oleh masyarakat. Ada pula yang menganggap HAM sebagai perwakilan dari klaim-klaim kaum yang tertindas, dan pada saat yang sama juga terdapat kelompok yang meragukan keberadaan HAM sama sekali dan menyatakan bahwa hak asasi manusia hanya ada karena manusia mencetuskan dan membicarakan konsep tersebut. Dari sudut pandang hukum internasional, hak asasi manusia sendiri dapat dibatasi atau dikurangi dengan syarat-syarat tertentu. Pembatasan biasanya harus ditentukan oleh hukum, memiliki tujuan yang sah, dan diperlukan dalam suatu masyarakat demokratis. Sementara itu, pengurangan hanya dapat dilakukan dalam keadaan darurat yang mengancam "kehidupan bangsa", dan pecahnya perang pun belum mencukupi syarat ini. Selama perang, [[hukum kemanusiaan internasional]] berlaku sebagai ''[[lex specialis]]''. Walaupun begitu, sejumlah hak tetap tidak boleh dikesampingkan dalam keadaan apapun, seperti hak untuk bebas dari [[perbudakan]] maupun [[penyiksaan]].
 
Masyarakat kuno tidak mengenal konsep hak asasi manusia universal seperti halnya masyarakat modern. Pelopor sebenarnya dari wacana hak asasi manusia adalah konsep [[hak kodrati]] yang dikembangkan pada [[Abad Pencerahan]], yang kemudian memengaruhi wacana politik selama [[Revolusi Amerika]] dan [[Revolusi Prancis]]. Konsep hak asasi manusia modern muncul pada paruh kedua abad kedua puluh, terutama setelah dirumuskannya [[Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia]] (PUHAM) di [[Paris]] pada tahun 1948. Semenjak itu, hak asasi manusia telah mengalami perkembangan yang pesat dan menjadi semacam kode etik yang diterima dan ditegakkan secara global. Pelaksanaan hak asasi manusia di tingkat internasional diawasi oleh [[Dewan Hak Asasi Manusia PBB]] dan [[badan traktat PBB|badan-badan traktat PBB]] seperti [[Komite Hak Asasi Manusia PBB]] dan [[Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya]], sementara di tingkat regional, hak asasi manusia ditegakkan oleh [[Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa]], [[Pengadilan Hak Asasi Manusia Antar-Amerika]], serta [[Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Hak Penduduk Afrika]]. [[Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik]] (ICCPR) dan [[Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya]] (ICESCR) sendiri telah [[ratifikasi|diratifikasi]] oleh hampir semua negara, dandi dunia saat ini pemerintahan yang paling otoriter pun tidak akan menampik keberadaan hak-hak dasar.
 
== Sejarah ==
Baris 32:
Abad ke-19 juga dikenal dengan munculnya dorongan untuk menghapuskan perbudakan, dan gerakan [[abolisionisme]] sendiri sudah diprakarsai di Inggris pada tahun 1787 dengan didirikannya [[Society for the Abolition of Slave Trade]] oleh kaum [[Quaker]]. Pada tahun 1833, [[Imperium Britania]] membebaskan semua budaknya, dan Prancis juga mengambil langkah yang sama pada tahun 1848. Amerika Serikat sendiri baru berhasil menghapuskan perbudakan pada tahun 1865 seusai [[Perang Saudara Amerika|perang saudara]] melawan [[Konfederasi Amerika|konfederasi negara-negara bagian selatan]] yang mendukung perbudakan, sementara [[Kekaisaran Rusia|Rusia]] menghapuskan sistem [[perhambaan tani di Rusia|perhambaan tani]] pada tahun 1861.{{sfn|Hoffmann|2011|p=7}} Namun, muncul keraguan bahwa abolisionisme benar-benar dilancarkan atas dasar moral, apalagi "hak asasi manusia". Diduga Inggris mengambil tindakan tersebut demi kepentingan ekonomi, karena kelanjutan [[perdagangan budak]] dianggap akan menguntungkan jajahan negara-negara saingan Inggris.{{sfn|Tomuschat|2008|p=14}} Selain itu, Inggris juga dinilai ingin menjalankan "[[misi pemberadaban]]" yang akan membuatnya seolah memiliki moral yang lebih baik daripada negara-negara Eropa lainnya. Setelah itu, pada zaman [[Imperialisme Baru]], penolakan terhadap perbudakan sering dijadikan dalih oleh negara-negara Eropa untuk melakukan "campur tangan kemanusiaan".{{sfn|Hoffmann|2011|p=8}}
 
Konstitusi-konstitusi negara-negara Eropa pada abad ke-19 juga menghindari penyebutan konsep "hak asasi manusia" maupun "hak kodrati". Hak asasi manusia sudah tidak lagi disebutkan di dalam Konstitusi Prancis setelah tahun 1799 dan baru muncul lagi pada tahun 1946.{{sfn|Hoffmann|2011|p=8}} Di tengah bergeloranya [[Revolusi 1848]], rancangan [[Konstitusi Frankfurt]] mengandung daftar "hak-hak dasar" (''Grundrechte''). Namun, seperti konstitusi-konstitusi lainnya pada zaman itu, hak-hak tersebut hanya dapat dinikmati oleh warga negara, seperti yang dapat dilihat dari namanya, ''Grundrechte des deutschen Volkes'', sehingga hak-hak tersebut bukanlah hak yang berlaku secara universal seperti halnya hak asasi pada zaman modern. Setelah kegagalan revolusi ini, [[positivisme hukum]], atau gagasan bahwa tidak ada hukum di luar undang-undang, berhasil menyingkirkan doktrin hukum kodrati sebagai justifikasi untuk menganugerahkan hak. Hak asasi manusia sendiri tidak disebutkan di dalam [[Konstitusi Kekaisaran Jerman]] tahun 1871, dan daftar hak-hak dan kewajiban-kewajiban baru muncul lagi di dalam [[Konstitusi Republik Weimar]] tahun 1919.{{sfn|Hoffmann|2011|p=9}} Di tingkat internasional, gagasan "hak kodrati" hanya dijadikan sebagai dalih untuk melancarkan misi pemberadaban.{{sfn|Hoffmann|2011|p=11}} Sebagai contoh, Prancis memiliki konsep ''mission civilisatrice'' sebagai pembenaran untuk "membebaskan" orang-orang Afrika dari kekuasaan pemimpin penduduk asli yang "terbelakang".{{sfn|Hoffmann|2011|p=8}} Pada masa itu, bangsa Eropa memang masih membedakan antara negara-negara yang "beradab" dengan masyarakat "tidak beradab" di luar Eropa dan Amerika. Hanya negara yang dianggap "beradab" yang memiliki hak, sementara wilayah masyarakat yang "tidak beradab" dapat sewaktu-waktu dicaplok oleh negara Eropa karena dianggap sebagai ''[[terra nullius]]'' ("tanah tak bertuan").{{sfn|Hoffmann|2011|p=10-11}}
 
Pada masa seusai [[Perang Dunia I]], perlindungan hak asasi manusia sama sekali tidak masuk ke dalam cakupan [[Piagam Liga Bangsa-Bangsa]],{{sfn|Beitz|2009|p=15}} walaupun perlindungan kelompok minoritas tetap menjadi perhatian dari organisasi internasional tersebut.{{sfn|Bates|2010|p=29-31}} Meskipun begitu, di tingkat nasional, muncul pergerakan-pergerakan hak asasi manusia, seperti [[Federasi Internasional untuk Hak Asasi Manusia|Fédération Internationale des Droits de l’Homme]] yang didirikan di [[Paris]] pada tahun 1922. Organisasi tersebut menuntut dikeluarkannya deklarasi atau piagam hak asasi manusia dunia yang bersifat mengikat. Di kota yang sama, [[Académie Diplomatique Internationale]] yang didirikan oleh sejumlah pengacara internasional pada tahun 1926 merumuskan sebuah deklarasi, yang kemudian menginspirasi Deklarasi Hak Asasi Manusia Internasional yang dikeluarkan oleh Institut Hukum Internasional di New York pada tahun 1929.{{sfn|Beitz|2009|p=15-16}}
Baris 42:
Seusai perang, aspirasi ini untuk pertama kalinya diejawantahkan dalam instrumen-instrumen hukum internasional. Mukadimah [[Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa]] yang ditetapkan pada tahun 1945 mengumandangkan tekad masyarakat PBB untuk:
{{cquote2|... menyelamatkan generasi penerus dari bencana perang, yang dua kali dalam hidup kita telah membawa kesedihan yang tak terhitung kepada umat manusia, dan menegaskan kembali keyakinan akan hak asasi manusia, atas martabat dan nilai pribadi manusia, dalam persamaan hak laki-laki dan perempuan dan bangsa-bangsa besar dan kecil, (...){{sfn|Piagam PBB|1945}}}}
Dengan ini, hak asasi manusia akhirnya menjadi perhatian masyarakat internasional, walaupun hal ini dirasa masih belum cukup, karena penyebutan istilah "hak asasi manusia" sebanyak enam kali di dalam pasal-pasal Piagam PBB tidak membebankan kewajiban yang besar kepada negara-negara anggota.{{sfn|Bates|2010|p=34}} Mereka hanya diharuskan untuk mempromosikan "penghormatan hak asasi manusia seantero jagad demikian pula pengejawantahannya serta kebebasan-kebebasan dasar bagi semua, tanpa pembedaan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama."{{sfn|Piagam PBB|1945}} Sebelumnya, terdapat usulan untuk mengambil langkah lebih lanjut. [[Chile]] dan [[Kuba]] bersedia menerima pasal-pasal yang menjamin hak-hak spesifik, sementara [[Panama]] pernah mengusulkan agar piagam tersebut mencantumkan daftar hak-hak asasi. Namun, usulan-usulan ini ditolak akibat kekhawatiran bahwa hal tersebut akan berdampak buruk terhadap [[kedaulatan]] masing-masing negara.{{sfn|Bates|2010|p=34}}
 
Pada tahun 1946, [[Komisi Hak Asasi Manusia PBB]] dibentuk dengan tugas untuk merumuskan Piagam Hak-Hak Internasional yang berlaku di seluruh dunia tanpa mengecualikan siapapun. Komisi ini kemudian memutuskan agar piagam semacam ini terdiri dari tiga bagian, yaitu sebuah deklarasi, sebuah konvensi yang berisi kewajiban-kewajiban hukum, serta bagian yang berisi tentang sistem pengawasan dan pengendalian. Tugas untuk merumuskan piagam ini diberikan kepada sebuah komite yang terdiri dari delapan anggota asal [[Australia]], Chile, [[Republik Tiongkok|Tiongkok]], [[Republik Keempat Prancis|Prancis]], [[Lebanon]], [[Britania]], [[Amerika Serikat]], dan [[Uni Soviet]], dan komite ini dikepalai oleh [[Eleanor Roosevelt]], istri mendiang Franklin Roosevelt. Maka dirumuskanlah [[Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia]] (PUHAM) yang dibuat berdasarkan rancangan dari ahli hukum [[Kanada]] [[John Peters Humphrey]] serta berdasarkan sebuah rancangan dari Britania Raya. Pada tanggal 10 Desember 1948, PUHAM diproklamasikan oleh 48 negara anggota PBB di [[Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa|Majelis Umum]].{{sfn|Bates|2010|p=35}}
Baris 51:
PUHAM diterima di Majelis Umum PBB tanpa ada negara yang menentang, walaupun enam [[negara komunis]] ([[Republik Sosialis Soviet Byelorusia]], [[Cekoslowakia]], [[Republik Rakyat Polandia|Polandia]], [[Republik Sosialis Soviet Ukraina]], [[Uni Soviet]], dan [[Yugoslavia]]), [[Arab Saudi]], dan [[Uni Afrika Selatan|Afrika Selatan]] menyatakan abstain.{{sfn|Bates|2010|p=35}} Namun, deklarasi ini bukanlah sebuah perjanjian internasional dan tidak memiliki kekuatan hukum. Bahkan terdapat kemungkinan bahwa ketiadaan kekuatan hukum adalah hal yang mendorong 48 negara anggota PBB pada masa itu untuk menerima deklarasi ini.{{sfn|Bates|2010|p=36}} Walaupun begitu, seperti yang diamati oleh ahli hukum internasional asal Jerman, [[Christian Tomuschat]], "Untuk pertama kalinya dalam sejarah umat manusia, telah lahir sebuah dokumen yang menetapkan hak asasi setiap manusia, terlepas dari ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, atau kondisi lainnya. Bab baru dalam sejarah manusia telah dimulai pada hari itu."{{sfn|Tomuschat|2008|p=24}} Tahun 1948—1949 juga merupakan momen yang penting bagi upaya untuk memajukan hak asasi manusia karena [[Konvensi Genosida|Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida]] sudah dapat ditandatangani oleh negara-negara dunia pada tanggal 11 Desember 1948, dan begitu pula dengan [[Konvensi Jenewa|Konvensi-Konvensi Jenewa]] yang berkaitan dengan [[hukum kemanusiaan internasional|hukum perang]] pada tahun berikutnya.{{sfn|Bates|2010|p=35}}
 
Terkait dengan piagam hak asasi manusia yang memiliki kekuatan hukum, Komisi HAM PBB baru selesai merumuskan isi dari dokumen-dokumen yang kelak akan dikenal dengan nama [[Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik]] ({{lang-en|International Covenant on Civil and Political Rights}}, disingkat ICCPR) dan [[Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya]] ({{lang-en|International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights}}, disingkat ICESCR) pada tahun 1954. Namun, kedua perjanjian ini baru dapat ditandatangani oleh negara-negara anggota pada tahun 1966 dan mulai berlaku pada tahun 1976 setelah di[[ratifikasi]] oleh 35 negara. Sejarah perumusan kedua perjanjian ini menunjukkan banyaknya penyesuaian dan kompromi yang perlu dilakukan agar dapat diterima oleh negara-negara anggota PBB.{{sfn|Bates|2010|p=36}} Walaupun perkembangannya berlangsung lambat, kini kedua perjanjian ini telah diratifikasi oleh hampir semua negara dan menjadi bagian dari [[hukum internasional]]. Pandangan masyarakat internasional terhadap hak asasi juga telah mengalami perubahan besar.,{{sfn|Bates|2010|p=37}} Hakdan hak asasi manusia telah menjadi semacam kode etik yang diterima dan ditegakkan secara global,.{{sfn|Heyns & Killander|2013|p=670}} sampai-sampai rezim-rezim otoriter saat ini pun tidak akan membantah pernyataan bahwa warga mereka memiliki hak-hak dasar.{{sfn|Bates|2010|p=37}}
 
== Landasan konseptual ==